Senin, 1 Oktober 2012

Manajemen Risiko untuk Biosekuriti

Analisa risiko dan manajemen risiko menjadi pintu masuk bagi peternak untuk membenahi kualitas biosekuriti di peternakan unggas

 

Catatan itu memberikan ilustrasi, kompleks kandang broiler  (ayam pedaging) dengan kapasitas 55 ribu ekor yang berlokasi di Desa Jayabaya, Cimaung,  Kabupaten Bandung Barat itu sudah menerapkan beberapa poin kaidah biosekuriti. Si pemilik, Jajang menuangkannya dalam lembar inventarisasi kondisi faktual, yang kemudian akan dianalisa risikonya.

 

Antara lain yang disebut Jajang, kandangnya telah berpagar yang berfungsi mencegah hewan liar masuk kandang dan menghindari berseliwerannya orang yang tidak berkepentingan. Poin berikutnya, tersedia footbath, sebuah fasilitas celup kaki dengan cairan disinfektan di depan kandang. Gudang khusus pakan terpisah dari kandang sehingga truk pengangkut pakan tidak masuk areal kandang, masa istirahat kandang 2 – 3 hari, dan masih banyak lagi, sehingga catatan itu menghabiskan beberapa halaman kertas.

 

Yang kemudian mendapat perhatian dan menjadi bahan diskusi adalah mekanisme keluar masuk karyawan yang masih terlalu acak dan perlu dibatasi. Yang juga krusial dan belum mampu diatasi Jajang adalah kucing yang kerap berhasil menerobos masuk kandang. Serta banyaknya burung liar yang masuk dan ikut makan pada saat ayam diberi pakan. “Yang paling susah ini burung liar. Masuk melalui monitor, atau saat cuaca panas tirai dibuka bisa menerobos lewat jeruji kawat,” ujarnya setengah mengeluh.

 

Manajemen Risiko
Jajang tengah mengikuti sebuah pelatihan biosekuriti, yang diperuntukkan bagi peternak broiler dan layer (ayam [petelur) komersil sektor 3 (skala kecil dan menengah). Kegiatan ini digagas oleh ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research). Di forum ini, Jajang diberi pemahaman untuk mampu memetakan risiko apa saja yang ada di peternakannya yang berpotensi menjadi celah masuknya dan menyebarnya penyakit di dalam kandang.

 

Menurut Ian Patrick, Team Leader ACIAR, langkah pertama dalam memahami dan menerapkan biosekuriti adalah memetakan risiko riil yang ada di kandang. Risiko tersebut selanjutnya dianalisa dan dikelola (manajemen risiko) sehingga potensinya menimbulkan kerugian bisa ditekan seminimal mungkin. “Masing-masing peternakan memiliki risiko berbeda-beda,” kata Ian.

 

Mengamankan Peternakan
Disampaikan konsultan kesehatan hewan (veterinary consultant) dari Strathdale, Victoria Australia, Tristan Jubb –yang menjadi salah satu pelatih— pelatihan ini memberikan pengetahuan dan alat bantu bagi peternak untuk mengamankan peternakannya dari hama dan penyakit. Mengamankan peternakan unggas bermakna memahami risiko, memahami cara-cara unggas terpapar penyakit, kemudian mengambil langkah-langkah untuk menekan risiko tersebut.

 

Biosekuriti, oleh Tristan dan termaktub dalam manual referensi pelatihan, didefinisikan sebagai manajemen untuk mencegah masuknya penyakit ke dalam peternakan. Dua komponen biosekuriti, pertama adalah bioeksklusi untuk menjaga agar patogen (agen penyebab penyakit) tetap berada di luar peternakan. Dan komponen dua adalah biokontainmen, untuk mencegah penyebaran patogen di dalam areal peternakan. “Langkah bioeksklusi biasanya tidak sempurna, sehingga biokontainmen menjadi penting karena masih ada kemungkinan patogen masuk ke peternakan tanpa terdeteksi,” tandasnya.

 

Satu hal digarisbawahi, vaksinasi merupakan salah satu langkah penting dalam program biosekuriti peternakan unggas dan wajib mendapat perhatian khusus. Tetapi dengan hanya mengandalkan vaksinasi tidaklah cukup, banyak vaksin tidak memberikan proteksi penuh atau sulit diberikan kepada kelompok ternak secara komprehensif. “Banyak peternak memiliki asumsi yang salah tentang vaksin. Seolah dengan vaksinasi saja sudah berarti menyediakan biosekuriti yang memadai,” kata Tristan.

 

Sifat Patogen & Transmisi
Dikatakan Tristan, manajemen risiko diawali dengan memahami sifat-sifat dasar pathogen, metode penularannya serta metode pembasmiannya. Tipe pathogen ada berbagai macam, dan sangat mungkin tidak terlihat dan menyebar tanpa diketahui, tanpa dapat disaksikan. Manusia, hewan, dan benda lain yang berinteraksi di peternakan berpotensi sebagai media penularan, bukan hanya unggas yang terinfeksi. Kemampuannya menimbulkan penyakit tergantung lingkungan, manajemen,dan faktor hospes (inang).

 

Salah satu yang dapat dijadikan prinsip adalah, sebuah peternakan dengan standar aman (biosekuriti) terhadap AI (Avian Influenza) dan ND (Newcastle Disease) mempunyai makna peternakan tersebut aman juga terhadap penyakit unggas lainnya.

 

Untuk mencegah penyebaran pathogen diperlukan pemahaman tentang bagaimana pathogen ditularkan atau ditransmisikan. Rute infeksi biasanya melalui inhalasi (terhirup), ingesti (tertelan), atau melalui kontak dengan kulit dan membran selaput lendir, dan banyak rute potensial lainnya.

 

Sebagian pathogen dapat bertahan di luar tubuh hospes, misalnya dalam pakan, air, tanah maupun menempel di benda lainnya, untuk jangka waktu tertentu. Rute transmisi bisa terjadi langsung, apabila unggas bersentuhan satu sama lain, terpapar langsung sekresi hewan sakit, kontak dengan lesi (bagian yang sakit) ataupun kontak seksual. Atau transmisi tidak langsung, terjadi ketika sekresi unggas terinfeksi menempel pada sebuah permukaan kemudian unggas sehat kontak dengan permukaan tersebut. Permukaan terkontaminasi ini diistilahkan dengan fomit.

 

Yang bisa dimasukkan sebagai fomit antara lain sekam, boks transpor, pakan dan air, peralatan, mobil, sertayang sangat potensial adalah manusia/pekerja dengan segala kelengkapannya seperti baju, alas kaki, tangan, sampai rambut. Karena itu, kontrol fomit dan lalu lintas orang di dalam areal peternakan menjadi krusial untuk diperhatikan.

 

Sementara untuk metode, transmisi dikenal istilah droplet yang menunjukkan bentukan kecil dari sekresi yang terlontar ke udara di saat hewan-terinfeksi batuk atau bersin, dan agen penyakit terselubung di dalamnya. Droplet ini sangat efektif dalam mentransmisikan agen antar hewan. Berikutnya airborne, sebuah istilah untuk menyebut cara transmisi melalui udara. Agen melekat pada debu atau dalam droplet, bertahan di luar tubuh dengan kondisi kering dan berikutnya suatu saat akan terhisap melalui saluran pernafasan hewan sehat.

 

Mekanisme lainnya  melalui jalan fecal-oral, pathogen bertransmisi ke hewan sehat melalui sistem pencernaan, biasanya karena menelan pakan dan air yang terkontaminasi tinja dari hewan terinfeksi. Air hujan maupun saluran air yang tidak terkelola dengan baik adalah media paling sering menjadi sumber kontaminasi. Metode transmisi lainnya antara lain seksual atau perkawinan, kemudian transmisi iatrogenic yang terjadi akibat prosedur veteriner seperti vaksinasi, inseminasi atau saat sexing. Dan transmisi melalui vektor atau inang perantara seperti nyamuk, kutu maupun caplak.

 

Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock edisi Oktober 2012

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain