Jumat, 1 Pebruari 2013

Baby Chick Feeder: Cara Baru Beri Pakan DOC

Aplikasinya sederhana, memudahkan kerja dan menghemat waktu operasional di kandang, serta mampu mendongkrak performa dan efisiensi

 

Belakangan ada yang berbeda dengan manajemen brooding  di kandang-kandang peternakan komersial broiler yang tergabung di bawah bendera PT Ciomas Adisatwa. Istilah brooding dikenal luas untuk menamai kandang pemeliharaan DOC (anak ayam umur sehari) sampai umur 10 – 14 hari, yang dilengkapi pemanas dan lampu penerangan.

 

Alih-alih menggunakan wadah pakan serupa baki atau nampan (feeding tray) yang jamak ditemui di peternakan di Indonesia, peternakan kemitraan grup ini kini banyak menggunakan baby chick feeder (BCF). Perbedaan nyata yang tampak secara visual, anak-anak ayam itu tidak nyemplung di wadah pakan sebagaimana yang terjadi bila menggunakan feeding tray. Anak-anak ayam itu dengan sendirinya terkondisi, secara tertib makan di sekeliling tepian baby chick feeder saja. Sehingga pakan tidak terinjak-injak.

 

 

Mochamad Zunaiydi, Head of Region Jawa Timur PT Ciomas Adisatwa mengungkapkan, sejak diintroduksi pada 2011, kini hampir 95% peternak mitra perusahaannya sudah menggunakan BCF. “Peternak merespon positif penggunaan BCF, terutama dengan produk ukuran 3 kg. Kalaupun ada yang belum memakai, lebih dikarenakan peternak baru,” ujarnya.

 

Bermula dari Keluhan
Alasan utama teknologi sederhana ini cepat diadopsi peternak, karena sifatnya yang memudahkan kerja dan menghemat waktu operasional di kandang, serta punya nilai ekonomi alias mendongkrak keuntungan.

 

Dijelaskan oleh Teddy Chandra, praktisi perunggasan, pengembangan BCF tak lepas bermula dari banyaknya keluhan peternak atas penggunaan wadah pakan berupa nampan. Bentuk nampan yang terbuka memudahkan akses DOC masuk saat makan. “Otomatis DOC menginjak-injak pakan, dan mengeluarkan kotoran di tempat yang sama. Akibatnya pakan jadi tidak higienis, basah, lembap serta menggumpal dan berdebu. DOC pun enggan memakan pakan ini karena tidak segar lagi,” paparnya runut.

 

Lanjut Teddy, untuk menghindari kerugian, peternak menyiasati dengan tidak memberikan pakan dalam jumlah banyak sekaligus. Biasanya pakan diberikan di kisaran tipis, sekitar 0,5 – 1 kg per nampan. “Padahal, di masa brooding DOC makan terus, sehingga tempat pakan akan cepat kosong. Jadi harus sering mengisi kembali,” katanya.

 

Rutinitas inilah yang banyak dikeluhkan peternak dan tenaga kandang. Ini antara lain diakui Ujang, peternak mitra Sierad Industries yang kandangnya berlokasi di daerah Parung, Bogor. Ia menyebut, seringnya pemberian pakan ini menyita waktu para tenaga kandang. “Anak kandang harus bolak-balik mengisi nampan. Kadang, pemberian pakan baru mencapai setengah kandang, yang di ujung awal tadi sudah habis lagi,” ujarnya bernada kesal.

 

 

Keluhan lain berkaitan dengan kerugian dan kesehatan anak ayam, disebutkan oleh Desmon Osber Lumanbatu, Manajer Area Jawa Tengah-DIY, PT Sumber Unggas Jaya. Ia menunjuk, pakan yang tercampur dengan air atau kotoran, selain tidak higienis juga berpotensi meningkatkan kadar amonia di dalam kandang. Efek berikutnya, kadar amonia yang tinggi membuat kandang menjadi bau dan menekan nafsu makan DOC, bahkan dapat memicu kejadian penyakit. “Belum lagi, tercampurnya sekam ke dalam pakan juga memungkinkan termakan oleh DOC sehingga sekam berpotensi melukai saluran cerna,” jelasnya rigid.

 

Boros Waktu & Tenaga
Untuk menjamin kualitas asupan pakan, peternak harus sering menambahkan pakan sekaligus membersihkan nampan. Tindakan yang juga umum dilakukan peternak adalah mengayak pakan yang kotor. Tujuannya, menyelamatkan pakan yang kotor tidak terbuang, sekaligus pakan yang dimakan ayam terjaga kualitasnya. Alhasil, tenaga kandang harus rutin mengontrol pakan, dan bila pakan banyak tercampur kotoran, pakan pun harus diayak, lalu dibersihkan dan ditambahkan pakan baru. “Selain itu, proses pengayakan dan pembersihan sudah pasti menyebabkan banyak pakan yang terbuang,” ucap Teddy.

Pengayakan, pembersihan, hingga pemberian pakan pun dilakukan berkali-kali. Menurut Desmon, rata-rata peternak harus memberikan pakan hingga 7 kali dalam sehari. “Bahkan ada yang mencapai 9 – 12 kali, dengan selang pemberian pakan 2 – 3 jam sekali,” ujarnya.

 

BCF Tawarkan Solusi
Penggunaan BCF menawarkan jalan keluar bagi keluhan peternak tersebut. Pakan terjaga kebersihannya, bebas kotoran dan sekam, tidak banyak terbuang, waktu kerja tenaga kandang pun tidak banyak tersita.

 

Desmon mengisahkan, sistem wadah yang dinilai mampu meningkatkan efisiensi pakan DOC ini  mulai dikenalkan sekitar 2008. Sebagian menyebutnya dengan baby chick feeder. Semula modelnya macam-macam dengan ukuran 1 liter dan 3 kg. Bentuknya seperti kaleng dan botol minuman yang dibalik, kemudian di bagian bawah diberi semacam tampungan. “Dengan ramainya peternak yang mencoba ini, maka pada peternak kemitraan kami mulai diterapkan,” ucap Desmon.

 

Memasuki 2011 pengembangan BCF makin marak. Banyak perusahaan menyediakan produk sejenis. Salah satunya PT Sierad Industries yang memasarkan BCF sejak Januari 2011 dengan 2 model, 1 liter dan 3 kg. Menurut Senior Sales Manager PT Sierad Industries, Agus Wahyu Supriyadi, produk BCF ini merupakan modifikasi dari tempat minum 1 liter yang diubah menjadi baby chick feeder 1 liter. Sementara BCF 3 kg merupakan modifikasi dari wadah pakan 3 kg yang pasarnya sudah tidak jalan. Alat terbuat dari bahan plastik PP (Polyprophylene).

 

Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock edisi Februari 2013

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain