Desember 2015 produk unggas negara tetangga sah melenggang bebas di pasar domestik, tapi belum ada satu pun yang tahu standar produk perunggasan untuk AEC. Daya saing produk lokal masih jadi soal
Fakta membuat miris pelaku perunggasan mengemuka dalam acara Indonesia Poultry Club (IPC) yang digelar TROBOS di Hotel Santika, Taman Mini, Jakarta (19/2/14). Sampai hari ini pelaku perunggasan dalam negeri belum tahu standar macam apa yang bakal berlaku di pasar bebas ASEAN untuk produk perunggasan. Bahkan, pemerintah yang seharusnya bisa memberikan informasi kepada pelaku bisnis perunggasan pun tidak tahu. “Standar produk perunggasan untuk AEC kami belum tahu,” Ninuk Rahayu, Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri, Kementrian Perdagangan seolah dipaksa mengaku di hadapan peserta IPC. Dan ia membenarkan, semestinya standar tersebut sudah disosialisasikan beberapa tahun lalu kepada pelaku usaha.
Sementara, Desember 2015 nanti produk unggas negara tetangga sah melenggang bebas di pasar domestik. Pasar bersama ASEAN atau yang biasa dikenal dengan ASEAN Economic Commmunity (AEC) ini akan menjadi ujian awal bagi daya saing produk nasional, termasuk produk perunggasan, sebelum menghadapi persaingan global yang lebih tidak mudah. Amerika Serikat (AS) dan Brazil sebagai raksasa perunggasan dunia adalah ancaman besar perunggasan dalam negeri.
Ninuk pun berjanji pihaknya akan mencari standar produk perunggasan AEC, karena kalau sudah diterapkan, arus barang ke Indonesia tidak ada penghalang lagi. Selain itu, standardisasi akan menjadi acuan pengusaha lokal untuk meningkatkan kualitas. Sehingga, sebaliknya produk unggas nasional bisa masuk pasar tetangga. Sementara ini, kata Ninuk, SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk ayam sudah ada tetapi belum diwajibkan.
Kompak Demi Daya Saing
Menghadapi pasar tunggal ASEAN semua pemangku kepentingan perunggasan harus merapatkan barisan agar produk dalam negeri tidak tergilas oleh produk negara lain di negeri sendiri. Bahkan, mampu bermain di pasar negara lain. Aturan AFTA (Asean Free Trade Area) 2015 memaksa pelaku tidak hanya berkutat di tingkat nasional. Krissantono, Ketua Umum GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas) mengibaratkan dengan sepakbola, siap tidak siap harus bertanding melawan Malaysia, Thailand, Vietnam, dan negara tetangga lainnya. “Kita harus kompak sebagai peternak Indonesia, sehingga tetap mendapatkan keuntungan,” ujarnya.
Krissantono mengajak peternak kecil, peternak rakyat atau peternak mandiri membentuk semacam integrasi. “Integrasi dari hulu – hilir adalah tuntutan, dan jangan saling menuding,” tegasnya. Berikutnya, peternak kecil dan menengah harus membentuk pola pikir yang manajemen yang efisien, dan mengindahkan biosekuriti. Di sisi lain, peternak besar harus membantu peternak kecil.
Ishana Mahisa, Ketua Umum NAMPA (National Meat Processor Association/Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia) menilai pemberlakuan AEC pada 2015 nanti cukup berat. Ia mengakui, pabrik olahan di Malaysia dan Thailand sangat efisien, dan salah satunya karena banyak fasilitas dari pemerintahnya.
Untuk perusahaan terintegrasi, diakuinya telah mempunyai daya saing yang tinggi. Sehingga jalan keluar bagi yang tidak terintegrasi adalah melakukan kerjasama agar dapat bersaing. “Tidak ada jalan lain selain kerja sama. Hilir akan mendorong kemajuan hulu dan begitu juga sebaliknya,” komentarnya.
Direktur Eksekutif NAMPA, Haniwar Syarif menambahkan, dalam pertarungan internasional semua harus kompak menghadapi ancaman yang sudah nyata. Ia menyebut misal, Malaysia punya kapasitas produksi yang melebihi konsumsi masyarakat, tak ayal produknya membutuhkan pasar. Dan Indonesia adalah pasar empuk. Tidak bisa tidak, produk lokal harus mampu bersaing. “Kita sangat ingin maju bersama,” tandasnya meyakinkan.
Inventarisasi Kelemahan
Sementara Budi Tangendjaja peneliti dari Balitnak (Balai Penelitian Ternak) Ciawi, menunjuk jagung sebagai variabel penentu tingkat daya saing perunggasan. Sebagaimana di Thailand, jagung murah dan pola integrasi vertikal berkontribusi besar pada daya saingnya yang tinggi. “Vertical integration itu keniscayaan untuk dilakukan,” terangnya.
Sudirman Ketua Umum GPMT (Asosiasi Produsen Pakan Indonesia) menyoroti kinerja pemerintah yang kurang perhatian terhadap industri perunggasan dan lebih peduli terhadap sapi. Padahal, permasalahan industri unggas banyak sekali, seperti jagung sebagai bahan baku pakan ternak yang masih impor.
Selama 40 tahun industri ayam berkembang, sudah waktunya pemerintah turun tangan untuk membimbing. Banyak hal yang perlu dilakukan terutama menyangkut globalisasi perdagangan. “Sudah waktunya tidak berbicara swasembada sapi, beras, gula dan jagung yang tidak tercapai, tetapi kita harus berpikir dan bekerja untuk meningkatkan daya saing,” jelasnya.
Masih menurut Sudirman, pemerintah harus mengubah pendekatannya dalam membantu peternak atau petani. Subsidi input harus dikurangi dan tugas pemerintah memperbaiki infrastruktur yang tidak bisa dilakukan oleh pihak kecil serta swasta. “Kita siap menghadapi AFTA, tapi butuh sokongan berupa financial cost yang rendah dan infrastruktur yang baik,” tuturnya.
Persoalan dengan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) juga disoroti Krissantono sebagai bagian mengganjal kuatnya perunggasan lokal. Menurut Krissantono, harusnya pemerintah sebagai pemimpin di barisan depan. “Apa yang ditudingkan KPPU sebagai kartel, sejatinya bagaimana menyelesaikan permasalahan banjir produksi secara bersama,” ujarnya.
Ia kemukakan, pada UU (Undang –Undang) perdagangan yang baru saja disahkan, ada pasal mengenai pengendalian barang kebutuhan pokok atau barang penting, dan ayam-telur masuk ke dalam bahan pokok. Krissantono menunjuk pasal 26 ayat 1, tertulis, dalam kondisi tertentu (over supply) yang dapat mengganggu perdagangan nasional, pemerintah wajib menjamin stabilisasi produksi dan harga. “Namun, selama ini pemerintah hanya stabilisasi harga tetapi tidak ada stabilisasi produksi,” keluhnya.
Lanjut dia, ayat 2 berbunyi, pemerintah menjaga keterjangkauan harga di konsumen dan melindungi pendapatan produsen, petani, peternak. Jadi tidak hanya melindungi konsumen. “Karena menyangkut hajat hidup peternak juga,” cetusnya. Krissantono menuntut, AFTA dapat menyadarkan pemerintah, perannya sebagai pemimpin.
Budi menambahkan, harus diidentifikasi dari awal sampai akhir titik lemah perunggasan tanah air dibandingkan asing dalam menghadapi AFTA 2015. “Salahsatunya biaya pelabuhan yang tinggi, serta infrastruktur lainnya,” tunjuk dia.
Turut berkomentar, Willie Blokvort, dari ISA. Menurut dia, biaya produksi di Indonesia terlalu tinggi, infrastruktur rendah, produksi dan efisiensi di tingkat peternak kurang. ”Thailand setiap petani mempunyai 2 ha, di Indonesia rata – rata 0,3 ha,” ia membandingkan.