Don P Utoyo
Ketua FMPI (Federasi Masyarakat Perunggasan Indonesia)
Sektor perunggasan diyakini akan terus tumbuh seiring meningkatnya konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia. Kesejahteraan masyarakat yang semakin baik akan menjadi faktor penting dalam mendorong peningkatan konsumsi daging ayam dan telur.
Guna mendukung perkembangan bisnis perunggasan dibutuhkan kerjasama antara pelaku, pedagang, dan pemerintah. Jangan sampai antar pelaku perunggasan sebagai produsen dan pedagang saling curiga.
Sebagai contoh, pedagang mengira produsen mengambil untung terlalu besar ketika harga ayam dan telur ditingkat peternak naik atau menganggap kenaikan harga karena pasokan yang berkurang. Padahal, pedagang harus tahu bahwa kenaikan harga dari peternak berdasarkan pertimbangan HPP (Harga Pokok Produksi).
Mediasi Pemerintah
Pemerintah memiliki Undang-Undang dan kewenangan untuk menetapkan suatu kebijakan. Tetapi jangan sampai kewenangan yang ditetapkan itu menjadi keliru. Sebagai contoh, kebijakan yang ditetapkan beberapa waktu lalu terkait harga DOC (ayam umur sehari) yang di bawah biaya produksi yaitu Rp 3.200 per ekor padahal biaya produksi ditingkat breeding farm (pembibitan unggas) sekitar Rp 4.200 per ekor.
Dalam penentuan harga di pasaran, pemerintah tidak bisa terlibat karena yang berlaku adalah hukum pasokan dan permintaan. Pada kondisi ini peternak berlomba-lomba untuk mencari sarana produksi ternak seperti DOC sehingga sebagai penentu harga di pasaran adalah peternak itu sendiri.
Pada saat permintaan DOC dari peternak tinggi seperti menjelang puasa membuat harga DOC menjadi meningkat. Penulis pun tidak sepakat jika harga DOC terlalu tinggi. Tetapi harus dipahami bahwa pada waktu tertentu pasar DOC pun lesu sehingga sebaiknya pada saat itu peternak tidak menawar harga terlalu murah. Paling tidak, idealnya harga DOC yang wajar itu naik turun 10 % dari biaya produksi.
Untuk pakan, jika harga bahan baku input naik maka harga pakan menjadi naik. Input yang paling utama adalah jagung karena 50 % bahan baku untuk pakan adalah jagung. Dan, di Indonesia, bahan baku jagung ini sebagian impor karena di dalam negeri tidak bisa memenuhi permintaan pelaku usaha feedmill (pabrik pakan).
Pelaku usaha di sektor perunggasan membutuhkan insentif dari pemerintah agar bisnisnya bisa berkembang. Pemerintah sudah bagus melakukannya pada komoditas sapi dengan KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi) dengan subsidi bunga kredit bank yang umumnya di atas 14 %, peternak hanya membayar 6 %.
Mestinya, pemerintah bisa melakukan hal yang sama untuk sektor perunggasan dengan memberikan skim kredit murah sehingga peternak bisa investasi ke closed house (kandang tertutup), rumah potong ayam (RPA) yang bersih dan sehat, cold storage, dan membangun rantai dingin karena tidak bisa dari cold storage dijual di pasar becek sehingga usahanya bisa lebih efisien.
Selain itu, organisasi atau asosiasi perunggasan yang ada baik yang baru maupun yang lama harus bersinergi dan tidak saling menjatuhkan atau menyalahkan. Semua harus tahu dan memahami permasalahan yang terjadi karena yang kita hadapi musuh bersamanya nanti adalah bukan masalah di dalam negeri tetapi produk unggas dari negara ASEAN lainnya setelah diberlakukannya Pasar Bebas ASEAN 2015.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock edisi 178 / Juli 2014