Kemasan daging berupa plastik atau styrofoam pada umumnya hanya bermanfaat untuk melindungi produk dari kerusakan fisik dan kimia yang disebabkan oleh lingkungan. Untuk mencegah kerusakan akibat mikroorganisme, produk makanan masih memerlukan perlakuan lebih lanjut seperti penyimpanan di lemari pendingin seperti yang dilakukan di pasar swalayan atau rumah.
Evi Savitri Iriani, peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor Jawa Barat berhasil membuat terobosan dengan menciptakan kemasan plastik yang dapat memperpanjang umur simpan daging. Terobosan ini dilatarbelakangi oleh kondisi daging yang mengandung kadar lemak dan protein tinggi, asam amino dan asam lemak esensial, serta vitamin yang dibutuhkan oleh makhluk hidup, tak terkecuali mikroorganisme.
Selama proses pasca pemotongan ternak, daging dapat terkontaminasi oleh mikroorganisme melalui sisa-sisa kulit, isi perut, lantai, meja kerja, peralatan, dan perlengkapan pekerja. Kondisi itu menyebabkan daging rentan akan kerusakan. Beberapa jenis bakteri yang sering ditemukan pada daging yang terkontaminasi adalah Escherichia coli, Salmonella spp, Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus. “Kerusakan akibat kontaminasi mikroorganisme sebagian besar disebabkan tidak ada usaha mengawetkan daging. Padahal pengawetan daging dapat ditempuh dengan beberapa teknik seperti pendinginan, pembekuan, penambahan bahan pengawet, iradiasi, penggunaan tekanan tinggi, serta pengemasan,” papar Evi kepada TROBOS Livestock.
Teknologi Sederhana
Diungkapkan Evi, penelitian yang selesai pada 2013 ini terdiri atas 2 tahap, yaitu pembuatan mikroenkapsulasi bawang putih dan pembuatan plastik antimikroba. Tahap pertama dalam pembuatan kemasan aktif adalah dengan mengupas dan menghancurkan bawang putih hingga halus. Ada 3 perlakuan dalam penelitian ini, yaitu bawang putih tanpa ekstraksi (segar), bawang putih yang diekstraki dengan air, dan bawang putih yang diekstraksi dengan etanol untuk kemudian dilakukan perbandingan sifat antimikrobanya. “Karena Allicin pada bawang putih merupakan senyawa yang tidak stabil terhadap panas dan akan mengalami kehilangan kemampuan antimikrobanya jika terkena panas maka dilakukan teknik mikroenkapsulasi pada ekstrak dengan menggunakan spray dryer (pengering),” terang Evi.
Mikroenkapsulasi bawang putih yang telah dihasilkan kemudian disisipkan pada matriks polimer dengan cara dicampur dengan resin LDPE (Low Density Polyethylene) yang merupakan bahan baku pembuatan plastik. Kemudian dilakukan proses ekstruksi dengan menggunakan blown film dengan suhu yang berbeda. Suhu ekstruksi untuk kontrol, bawang putih segar, bawang putih yang diekstrak dengan air, dan bawang putih yang diekstrak dengan etanol berturut-turut adalah 120 °C, 150 °C, 170 °C, dan 170 °C. “Setelah proses itu terbentuklah plastik (film) antimikroba. Plastik yang terbuat dari bawang putih segar tanpa ekstraksi kemudian disebut Garciplast,” ungkap Evi.
Daging kemudian disimpan dalam suhu ruang dan dilakukan analisis selama beberapa hari pengamatan. Setelah dianalisis ditemukan, daging yang dikemas plastik berbahan ekstrak bawang putih sebanyak 2,5 % mengandung total bakteri sebesar 3,2 x 104 cfu (coliform per unit), sedangkan plastik yang mengandung ekstrak bawang putih sebanyak 5 % mengandung 2,2 x 104 cfu. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan populasi bakteri pada daging yang dibungkus dengan plastik tanpa ekstrak bawang putih yakni 2,6 x 107 cfu. “Kedua plastik dengan bahan ekstrak bawang putih bahkan dapat menahan bakteri lebih baik daripada etanol yang memiliki efek antibakteri. Namun, hasil terbaik adalah daging yang dikemas dengan plastik yang mengandung 5,0 % bawang putih segar dan plastik yang mengandung bawang putih 5,0 % yang diekstrak dengan air,” paparnya.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock edisi 178 / Juli 2014