Oleh : Prof Muladno
Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB;
Ketua Himpunan Ilmuwan Peternakan Indonesia
Data statistik meyakinkan publik bahwa laju pertumbuhan ternak sapi lokal di Indonesia tidak dapat mengimbangi kebutuhan penduduk akan daging sapi. Solusi jangka pendek yang telah diambil pemerintah adalah impor daging atau impor ternak sapi bakalan, maksimum 10 % dari total kebutuhan. Namun kebijakan impor ini harus bersifat temporer jika bangsa ini tidak ingin terjebak dalam ancaman kedaulatan pangan asal ternak. Satu-satunya solusi jangka panjang untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat adalah memperbaiki kondisi peternak dan ternak sapi lokal Indonesia.
Lebih dari 98 % populasi ternak sapi lokal dimiliki peternak kecil dengan rata-rata kepemilikannya 1-3 ekor per peternak. Dengan jumlah sapi potong sekitar 14,8 juta ekor (sensus PSPK 2011), diperkirakan ada 4 juta sapi indukan. Secara teoritis, seekor sapi indukan dapat melahirkan seekor pedet setiap tahun. Dalam dua tahun pedet tumbuh dewasa menjadi sapi indukan.
Dengan rasio kelahiran 50 % jantan dan 50 % betina, maka setiap dua tahun mestinya ada penambahan sapi indukan di Indonesia sebanyak 50 % jumlah sapi indukan yang ada. Jadi, jika di 2011 ada 4 juta sapi indukan, maka di 2013 mestinya ada 6 juta sapi indukan, di 2015 ada 9 juta sapi indukan, di 2017 ada 13,5 juta sapi indukan, di 2019 ada 20,25 juta sapi indukan, dan seterusnya. Itu dengan asumsi tidak ada kematian. Namun demikian, hingga hari ini, fakta di lapangan tidak seperti itu.
Dengan pemerintahan baru nanti, saatnya semua komunitas peternakan baik pemerintah maupun swasta mewujudkan hitungan teoritis itu menjadi kenyataan melalui cara cerdas, terencana, terstruktur, dan visioner. Semua instansi pemerintah yang terlibat dalam pembangunan peternakan harus memiliki perencanaan dan strategi yang sama, memiliki program yang sama, tujuan yang sama, lokus yang sama, dan terfokus pada sasaran yang sama. Instansi swasta yang ingin berkontribusi dalam pembangunan peternakan juga harus mengikuti program yang telah dicanangkan pemerintah.
Jadi, ada semangat kerja bersama untuk tujuan yang sama tetapi masing-masing instansi mengalokasikan anggaran sendiri-sendiri. Dsan, “Orkestra” ini sebaiknya dipimpin oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian sebagai pemegang otoritas tertinggi di bidang peternakan.
Itu berbeda dengan pola penganggaran yang berjalan selama ini. Setiap instansi pemerintah memiliki program sendiri, kegiatan sendiri, strategi sendiri, dan perencanaan sendiri. Lokasi kegiatan juga berbeda, dan fokus yang dikerjakan berbeda pula. Pola kegiatannya juga bernuansa proyek yang evaluasinya lebih menekankan kesesuaian antara anggaran yang direncanakan dan keberhasilan penyerapan anggaran tersebut. Bahwa kegiatan tersebut berhasil atau gagal bukan menjadi perhatian penting. Jika pola pembangunan peternakan seperti ini tidak diakhiri, sampai kapanpun bangsa ini tidak akan dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan daging sapi karena tidak ada kebersamaan dalam perencanaan dan ekskusinya, khususnya dalam meningkatkan kemampuan peternak sebagai pemilik 98 % populasi sapi lokal di Indonesia.
Agar bisa mewujudkan perhitungan teoritis di atas, disarankan untuk memetakan secara lengkap tentang (i) peternak dan maksimum jumlah ternak yang dipelihara per peternak di setiap sentra ternak; (ii) batas kawasan untuk mendukung pengembangbiakan ternak tersebut. Ini bisa satu desa atau dua desa atau lebih; (iii) potensi pakan yang dapat dihasilkan di kawasan yang bersangkutan; (iv) jumlah maksimum ternak sapi yang dapat dipelihara di kawasan berdasarkan potensi pakan dan kemampuan peternak; (v) program pemuliaan yang dapat dilakukan berdasarkan pendekatan ilmiah di kawasan tersebut; (vi) kandang sapi milik peternak yang memenuhi standar kesehatan dan kebersihan; (vii) teknologi sederhana yang dapat diterapkan oleh peternak; (viii) wawasan peternak dalam hal berbisnis secara kolektif; dan (ix) pengelolaan ternak dalam satu manajemen sehingga memiliki posisi tawar lebih tinggi.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 180 / Sept 2014