Menggiring Penguatan Hilir

Menurut catatan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca Panen (Kesmavet & Pasca Panen), Kementerian Pertanian, baru 34RPA (Rumah Potong Ayam) yang mengantongi NKV atau Nomor Kontrol Veteriner. Dipenuhinya prosedur sertifikasi NKV menjadi jaminan bahwa RPA tersebut di dalam menjalankan proses produksi mengindahkan kaidah-kaidah higienis dan sanitasi produksi pangan.

 

Penguatan dan pengembangan industri hilir menjadi sebuah keharusan dan keniscayaan. Dan sejatinya fakta ini disadari oleh kebanyakan pemangku kepentingan perunggasan. Memproduksi karkas ayam atau daging ayam yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) menjadi keharusan tuntutan zaman.

 

Tetapi tak dipungkiri segmen hilir merupakan bagian dari industri perunggasan yang lambat pertumbuhannya ketimbang sudara-saudaranya di bagian hulu. Bisnis pembibitan, pakan, budidaya komersial, obat dan vaksin hewan, umumnya berkembang demikian pesatnya. Sedangkan hilir kurang diminati para pelaku untuk dikembangkan. Alhasil, ketimpangan itu kerap menyebabkan terjadinya anomali di waktu-waktu tertentu yang tak jarang menimbulkan guncangan-guncangan di dalam perjalanan bisnis perunggasan.

 

Faktanya, saat ini tempat-tempat pemotongan liar yang di dalam pasar atau di pemukiman masih sering ditemukan. Hasil karkas macam apa yang diharapkan dari proses produksi asal-asalan seperti ini? Maka proses produksi yang mengacu pada SNI (Standar Nasional Indonesia) No 01-6160-1999 yang dikeluarkan pemerintah pada 1999, harus didorong, sebagai wujud penghormatan pada konsumen.

 

Persoalannya tak sekadar kesadaran masyarakat yang kian tinggi akan kebutuhan daging yang ASUH (di kota-kota besar). Tetapi terkait juga dengan perdagangan terbuka, baik regional maupun global. Salah satu peningkatan daya saing produk unggas Indonesia adalah dengan penguatan hilir, terutama RPA.

 

Yang paling diuntungkan dengan berkembangnya RPA seharusnya peternak. Akan menjadi desain yang cantik apabila usaha budidaya komersial diintegrasikan dengan RPA, sehingga peternak dapat menjangkau langsung konsumen. Tidak tersandera sebagaimana saat ini, perdagangan yang mengandalkan penjualan ayam dalam bentuk hidup menjadikan pedagang ayam atau brooker sebagai pengatur lapangan sementara peternak lebih mirip bidak yang dimainkan.

 

Tapi tidak semudah membalikkan telapak tangan bagi peternak maupun kelompok peternak untuk merintis usaha RPA. Beda dengan perusahaan besar (integrator) yang sudah punya modal pasar berupa perusahaan pengolahan pangan berbahan baku daging ayam, problem utama peternak yang akan bermain di bisnis RPA adalah tidak menguasai pasar.

 

Disinilah kemudian terbaca, fakta pelaku yang memegang pasar akan lebih mudah ”naik” ke bisnis hulu membuat RPA untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan bakunya. Pola sebaliknya, seperti peternak yang selama ini bergelut di on farm kemudian merambah ”turun” ke bisnis down stream, terlihat lebih berat.

 

Di sisi lain, penerimaan masyarakat (terutama di daerah) akan daging ayam yang didistribusikan dengan pelibatan rantai dingin masih rendah. Pemahaman yang menyebutkan ayam dengan suhu masih hangat adalah ayam sehat dan segar masih kuat diyakini. Sementara sesuai kaidah ilmiah dan mengacu pada SNI, justru ayam yang didinginkan atau bahkan ayam beku adalah cara sehat menekan pertumbuhan bakteri. Ini menjadikan pasar dari produk karkas keluaran RPA relatif membutuhkan upaya lebih untuk dipasarkan langsung. Edukasi pun menjadi tuntutan.

 

Selain itu, tak dipungkiri pula, bisnis RPA menuntut investasi yang besar. Padatnya modal membuat umumnya peternak maju-mundur untuk nyemplung di usaha RPA. Terlebih, tak sedikit peternak yang menjajal peruntungannya di bisnis ini harus berakhir dengan  buntung. Ini membuat rekan-rekan yang lain pun ciut nyali.

 

Tidak mudah tetapi harus dimulai, dan sebagian pun membuktikan mampu eksis. Dan belakangan pengembangan RPA oleh pemain lama, maupun pembangunan RPA baru mulai marak. Semoga tidak salah apabila ini menjadi asa bagi peningkatan kualitas dan daya saing perunggasan tanah air, menjelang dibukanya pasar tunggal ASEAN.

 

Pemerintah bersama Arphuin (Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia) punya tanggung jawab untuk mendorong semakin banyak RPA yang dalam produksinya mengacu pada SNI, memiliki NKV dan mengantongi sertifikat halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia). Perlu komitmen dan energi besar untuk sosialisasi, workshop, maupun pendampingan untuk menggiring ke arah tersebut. Paralel dengan itu, hukum harus pula ditegakkan untuk menertibkan tempat-tempat pemotongan liar yang jauh dari kaidah.

 

Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 180 / Sept 2014

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain