Tingkat konsumsi masyarakat akan produk peternakan yang masih rendah di satu sisi, dan produksi serta produktivitas peternakan yang masih kalah saing di sisi lain, merupakan pekerjaan rumah yang menumpuk di meja
Dalam sambutan di acara serah terima jabatan dari Suswono (27/10), Amran banyak menyinggung soal swasembada. Ia bertekad mengakselerasi ambisi pencapaian swasembada beberapa komoditas. “Lewat rapat kabinet kemarin, saya bicara ke presiden supaya men-support penuh faktor-faktor produksi penentu untuk swasembada pangan. Dan beliau setuju,” ucap Amran.
Secara khusus ia menyebut beras, kedelai, dan jagung, yang semestinya tidak perlu impor.
Kedaulatan Daging Sapi
Program swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) 2015 yang menjadi salah satu program ambisius rezim Susilo Bambang Yudhoyono, dipastikan gagal. Dan dalam salah satu kesempatan kampanyenya, Joko Widodo berkomentar adalah sulit mewujudkan swasembada daging sapi.
Kendati mengamini sulitnya swasembada daging sapi, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), Joni Liano berpandangan, pemerintahan baru tetap harus membuat program yang mengarah ke kedaulatan daging sapi.
Menurut Joni, akar masalah tidak tercapainya ambisi swasembada daging sapi adalah tidak akuratnya data yang digunakan sebagai pijakan kebijakan.
Joni mengatakan industri sapi potong tanah air bertumpu pada peternakan rakyat. “Hampir 90 % pasokan sapi yang terkonversi jadi daging berasal dari peternakan rakyat,” sebutnya. Data statistik 2013 menyebut jumlah peternak kategori ini sekitar 4,6 juta orang, dengan kepemilikan hanya 1 – 2 ekor dan tidak mungkin diharapkan efisien.
Alih-alih berfungsi sebagai komoditas, sapi di peternak rakyat ini adalah tabungan. Nilai-nilai ekonomi tidak menjadi dasar memutuskan dijual tidaknya sapi. Sapi dilepas berdasarkan kebutuhan peternak akan dana, bukan berdasarkan nilai ekonomis usaha.
Sistem produksi sapi potong yang subsistem harus dinaikkan ke skala ekonomi. Dan ini harus didorong pemerintah. “Peternak rakyat yang 4,6 juta kalau mau subsistem silakan saja, tapi sapi-sapi mereka tidak termasuk dihitung sebagai persediaan sapi yang akan menjadi daging,” ia berargumen.
Untuk industrialisasi, kendala utama selama ini adalah lahan. Meski demikian Joni mengatakan, solusinya adalah dengan mengintegrasikan peternakan sapi potong dengan perkebunan kelapa sawit. Dan payung hukumnya sudah ada, melalui Permen Pertanian. Integrasi sawit-sapi adalah masa depan industri sapi potong nasional, terbukti mampu memangkas ongkos produksi sampai 50 %.
Kebijakan Multi Prespektif untuk Perunggasan
Industri perunggasan nasional juga bermasalah dalam supply-demand. Tetapi tak seperti komoditas susu atau daging sapi yang pasokannya kurang dan harus impor, produk-produk unggas seperti daging ayam dan telur justru produksinya kerap berlebih sehingga tak jarang harga produk terbanting-banting.
Sebagaimana dikatakan Anton J. Supit, Ketua Gabungan Perusahaaan Perunggasan Indonesia (Gappi), ketidakseimbangan antara supply dan demand menjadi masalah utama bagi perunggasan. Ini menyebabkan di saat tertentu perunggasan terpuruk.
Keseimbangan supply dan demand yang tidak stabil, lanjut Anton, pada intinya disebabkan oleh daya beli masyarakat. Menurut dia, masyarakat bawah sensitif terhadap perubahan harga, terutama barang pokok. Padahal tingkat konsumsi masih rendah.
Maka yang kita perlu dilakukan adalah memberikan edukasi, terutama golongan menengah ke bawah, agar menempatkan daging ayam dan telur sebagai prioritas dalam membelanjakan uang,. Alih-alih menempatkan belanja gadget, pulsa, rokok, di prioritas atas.
Kalau secara ekonomi, bisnis perunggasan tidak diragukan lagi prospeknya. Data terakhir, dalam setahun turn over (perputaran modal) di industri ini mencapai US$ 120 miliar. Sementara secara sosial melibatkan sedikitnya 2,5 juta tenaga kerja. Sudah semestinya pemerintah mengatur dan di saat diperlukan melakukan intervensi sebagaimana langkah pengaturan produksi DOC (anak ayam) yang ditempuh pemerintah di tahun ini untuk menyangga harga agar tidak babak belur. Disamping melakukan upaya peningkatan serapan melalui promosi konsumsi.
Garap Kambing-Domba
Peternakan domba dan kambing juga mengalami hal yang hampir sama. Ketua Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HPDKI), Rachmat Priyatna, menegaskan sektor peternakan domba dan kambing belum bisa disebut industri. Komoditas ini minim perhatian dari pemerintah.
Program pembibitan saat ini, baru digarap oleh 2 peternak di Indonesia. Sementara pemerintah, kata Rachmat, tidak pernah memiliki program pembibitan domba atau kambing. Ia mengatakan, pemerintah melakukan penelitian untuk menghasilkan domba-domba unggul, tapi jumlahnya amat sedikit dan tidak mencukupi kebutuhan peternak.
Rachmat mengungkapkan, permintaan daging kambing dan domba juga datang dari negara-negara tetangga. Tetapi, tidak mampunya peternak memberikan jaminan kualitas dan kuantitas seperti asal-muasal ternak yang tidak jelas dan tidak adanya kontinuitas menyebabkan transaksi ini urung dilakukan. “Satu lagi yang terpenting adalah kita tidak punya RPH khusus domba atau kambing,” ujar Rachmat.
Ayam Kampung Siap Bersaing
Sementara di bisnis ayam kampung, menurut data dari Himpunan Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) saat ini ada sekitar 22 juta rumah tangga memelihara ayam kampung dengan skala kepemilikan 1 – 30 ekor. Dan hampir 1 juta rumah tangga yang bergerak di usaha ayam kampung dengan ukuran kepemilikan mulai dari 100 sampai puluhan ribu ekor. Skala kepemilikan ini jauh lebih tinggi ketimbang 5 tahun sebelumnya yang hanya sekitar 50 ekor. “Peternakan unggas lokal mengalami pertumbuhan signifikan dalam 5 tahun terakhir,” kata Ade Zulkarnaen, Ketua Himpuli. Kalau 10 tahun lalu produksi berkisar 60 juta ekor/tahun, sekarang berlipat menjadi 150 juta ekor/tahun. Ia menambahkan, total populasi ayam kampung nasional saat ini ada di kisaran 300 juta ekor.
Persoalan utama untuk menggenjot produksi adalah pembibitan yang tidak diurus dengan baik. Disebut Ade, saat ini baru tercatat 5 pembibit yang mampu produksi kisaran 40 ribu – 100 ribu DOC per bulan. Pembibit ini mulai mengarah pada standar pembibitan, tetapi belum mengantongi sertifikat sebagaimana diwajibkan undang-undang.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 182 / Nov 2014