Oleh : Muladno
Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Himpunan Ilmuwan Peternakan Indonesia (Hilpi)
Sudah sejak lama istilah “masyarakat terpinggirkan” dilekatkan pada komunitas wong cilik. Komunitas ini salah satunya mengacu pada petani atau peternak atau pekebun atau nelayan berskala kecil yang sebenarnya mendominasi penduduk Indonesia. Tapi sejak lama pula, pemerintah terkesan tidak prokomunitas wong cilik itu. Pemerintah sering hanya membanggakan perkembangan ekonomi makro dan suksesnya pembangunan fisik di kota-kota besar. Akibatnya, jurang perbedaan kaya-miskin semakin melebar.
Saya terperangah ketika Jokowi dalam kampanyenya menyatakan “Indonesia harus dibangun dari pinggir.” Pernyataan itu sangat tepat dan seharusnya demikian. Dalam konteks peternakan, daerah pinggir secara geografis berarti daerah di kecamatan terpinggir dalam satu kabupaten atau berbatasan dengan kecamatan di kabupaten lainnya. Jika kabupaten itu terletak di provinsi yang berbatasan dengan wilayah negara lain, maka daerah pinggiran itu juga berarti daerah perbatasan negara.
Daerah pinggir seperti itu biasanya paling terbelakang ditinjau dari seluruh aspek kehidupannya. Saya kaget ketika membaca laporan kegiatan Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) Institut Pertanian Bogor (IPB) di satu daerah pinggiran Kabupaten Bojonegoro. Lokasinya terisolir dan untuk mencapai daerah itu harus melintasi hutan sepanjang tujuh km. Ada akses jalan menuju ke lokasi tetapi tidak begitu bagus. Di laporan tertulis bahwa ada sekolah dasar tetapi sering kosong. Anak sekolah tidak bisa bernyanyi Indonesia Raya. Pengajian warga jarang diselenggarakan. Banyak anak putus sekolah. Banyak pula lulusan sekolah yang hanya duduk-duduk saja (pengangguran). Kondisi daerah pinggiran seperti itu rasanya masih banyak ditemukan di lokasi lainnya.
Peternakan mestinya harus dibangun dari daerah seperti itu. Ternak dapat dipelihara dimana saja termasuk di lahan marjinal. Ternak mampu mengubah lahan marjinal menjadi lahan produktif karena kotorannya. Ternak juga dapat digunakan menjadi sarana transportasi maupun digunakan tenaganya untuk membajak tanah persawahan. Kotoran ternak juga dapat diubah menjadi sumber energi seperti gas bio untuk berbagai kebutuhan hidup. Masih cukup banyak manfaat ternak bagi pengembangan manusia dan alamnya di daerah pinggiran seperti itu.
Upaya yang sedang dilakukan oleh PT Berdikari bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB di lokasi SPR tersebut dapat dijadikan teladan. Di situ akan dimulai kemitraan usaha penggemukan 100 ekor sapi dan nantinya akan dikembangkan sampai maksimum 600 ekor, tergantung kesepakatan. PT Berdikari menyediakan modal usaha dan modal kerja termasuk pengadaan sapi dan pembangunan kandang koloni. Peternak menyediakan lahan untuk lokasi kandang koloni dan setiap hari merawat dan memberi pakan ternaknya. Peternak diberi kompensasi untuk kerja hariannya dan di akhir periode usaha penggemukan, keuntungan dibagi secara proposional antara peternak dan PT Berdikari.
Sapi bakalan yang akan digemukkan nantinya disediakan oleh peternak yang tergabung dalam SPR. Ada sekitar 500 indukan sapi yang dapat menghasilkan sekitar 250 ekor sapi jantan bakalan per tahun. Konsolidasi peternak dalam mengelola ternaknya dikomandani oleh Dewan Perwakilan Pemilik Ternak (DPPT) yang terdiri atas sembilan tokoh peternak. DPPT didampingi seorang manajer berkualifikasi sarjana. Berbagai hasil penelitian IPB diterapkan di situ dan diajarkan langsung oleh para dosen yang menguasai teknologinya. Penyebarluasan hasil penelitian IPB kepada peternak dilakukan oleh sembilan anggota DPPT.
Melalui kemitraan usaha penggemukan yang dilakukan, sumber air harus disediakan, infrastruktur harus diperbaiki, dan lahan penanaman hijauan pakan ternak harus disediakan dan diperluas areanya. Dalam kemitraan ini, posisi DPPT setara dengan PT Berdikari. IPB dan Dinas Peternakan setempat berada di belakang DPPT. Komitmen masing-masing pihak yang terlibat dalam usaha kemitraan ini membuat para peternak rela meninggalkan pekerjaan lain dan fokus di usaha peternakan.
Dalam waktu empat tahun, saya yakin kondisi daerah pinggiran itu akan berubah menjadi kawasan hijau yang subur makmur. Kehidupan masyarakat akan lebih baik dan anak sekolah menatap masa depannya secara lebih optimis. Kesuksesan yang terjadi di daerah pinggiran akan lebih mudah menggema untuk memotivasi daerah lain yang lokasinya lebih ke tengah. Semoga Presiden Jokowi selalu konsisten dengan pernyataannya untuk membangun Indonesia, termasuk membangun peternakan, dari pinggir.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 183 / Des 2014