Lebah Madu untuk Masa Depan Pangan dan Kesehatan Manusia

Lebah Madu untuk Masa Depan Pangan dan Kesehatan Manusia

Foto: dok.ntr


Yogyakarta (TROBOSLIVESTOCK.COM). Semua bagian dari produksi lebah madu berguna bagi manusia tidak hanya untuk bahan pangan tetapi juga telah diakui dunia medis dapat membantu pengobatan penyakit manusia seperti tuberculosis (TB), demam berdarah dengue (DBD), malaria, dan bahkan berpeluang untuk terapi kanker serta HIV/Aids.

 

Hal itu terungkap dalam Seminar Nasional Perlebahan “Mengoptimalkan Peran Lebah Tropik dan Produknya untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kesehatan Masyarakat” yang digelar dalam rangka Lustrum X Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada di Auditorium Fapet UGM pada Rabu (25/9). Acara ini juga merupakan hasil kerjasama Fapet UGM dengan Asosiasi Perlebahan Indonesia (API).

 

Dekan Fapet UGM Prof Ali Agus menyatakan produk lebah tidak hanya madu dan bee pollen, tapi juga propolis yang mengandung banyak zat aktif yang berpeluang menggantikan antibiotik dan memperkuat daya tahan tubuh. Produk samping seperti wax (lilin), bahkan venom (racun sengat lebah) juga sangat bernilai untuk terapi medis dan kecantikan/kosmetik.

 

Pernyataan itu didukung oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Perlebahan Indonesia (API) Dr James Hutagalung, yang juga pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) yang menyatakan telah menggunakan venom lebah dan propolis untuk terapi pada klinik Apiterapi Unair dan beberapa klinik yang bekerjasama dengan API.

 

“Di Unair, venom dan propolis telah diteliti kegunaannya untuk terapi HIV/Aids dan tuberkulosis (TB) di instalasi laboratorium berstandar Biosafety Level-3 (BSL-3). Selain itu kami juga telah meneliti dan sudah mempresentasikan pada forum internasional, penggunaan propolis untuk terapi malaria. Propolis juga berpotensi untuk pengobatan demam berdarah dengue,” tuturnya. Bahkan pada hari-hari ini, lanjut James, sedang ditandatangani beberapa kerjasama dengan institusi dalam dan luar negeri untuk riset venom dan propolis ini.

 

Propolis Sebagai Obat

Dr Mahani pakar perlebahan dari Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) menyatakan zat aktif dalam propolis, terutama dari stingless bee (lebah madu tanpa sengat) salahsatunya adalah alpha D Glucopyranoside yang saat ini dikenal sebagai novel antimicrobial. Selain itu diketahui propolis memiliki kandungan antioksidan berupa flavonoid dan triterpenoid yang tinggi.

 

“Kombinasi antioksidan dan alpha D Glucopyranoside ini memiliki aktivitas antituberkulosis yang baik. Sehingga jika pengobatan TB digabungkan dengan terapi propolis, masa penyembuhan akan lebih cepat, atau dengan kata lain propolis mampu mempercepat konversi kesembuhan pasien,” urai dia.

 

Agus Salim MSc, peneliti dari Fakultas Peternakan UGM menjelaskan kandungan flavonoid dan senyawa fenolik, termasuk triterpenoid, diakui berbeda-beda diantara jenis lebah dan lokasi budidaya. Menurut penelitian dia di DI Yogyakarta dan sekitarnya, kadar flavonoid dan phenolic tertinggi ditemukan pada stingless bee yang dibudidayakan di Sleman (1,69 mg/g dan 0,9 mg/g) dan Klaten (1,21 mg/g dan 0,76 mg/g). “Aktivitas antioksidannya, masing-masing mencapai 90,5% dan 91,2%,” ujarnya.

 

Dengan komposisi zat aktif dan fungsi yang terkandung dalam propolis itu, Mahani menyebutkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatur produk propolis masuk dalam kategori obat tradisional / jamu dan obat medis. Sehingga tidak bisa sembarangan diproduksi, apalagi diedarkan. “Maka pelatihan produksi propolis hanya akan saya berikan untuk produsen yang memiliki lisensi produksi jamu tradisional, obat, atau bee keeper (peternak lebah) yang memiliki kemitraan dengan industri propolis berlisensi,” tandasnya. Sedangkan madu dan bee pollen, lanjut dia, termasuk dalam kategori produk pangan dan obat tradisional, sehingga lebih bebas untuk diproduksi dan diedarkan.

 

Perlebahan Nasional, Prihatin

Kembali Ali Agus menjelaskan, dari sisi masa depan pertanian dan produksi pangan, lebah adalah garansi sustainability lingkungan. Sebab selama lebah bisa hidup bertahan maka tandanya keseimbangan lingkungan dan tanaman di habitat itu masih terjaga. Jika suatu daerah sudah tercemar, atau suatu lahan terpapar pestisida, maka dipastikan lebah akan menurun daya jelajahnya dan akhirnya lenyap. “Maka keberadaan lebah harus dikembangkan, terlebih lebah adalah the best polinator (pembantu penyerbukan tanaman terbaik), sehingga dalam senyap lebah sudah membantu produksi pangan pertanian dan buah-buahan dari perkebunan kita,” ungkapnya.

 

Sayangnya, lanjut dia, Indonesia yang memiliki kekayaan jenis lebah yang didukung oleh kekayaan mega biodiversity tanaman sebagai pakan lebah, masih terasing dari kancah perlebahan dunia. “Indonesia masih belum tergabung dalam Apimondial, masyarakat perlebahan dunia yang sudah berdiri 100 tahun lebih. Kita kalah dalam perlebahan, pada produksi, kemajuan industri maupun riset tentang perlebahan dengan negara Rumania, Turki, Kanada, New Zealand, China, bahkan Arab Saudi yang katanya padang gurun,” ujarnya.

 

Ir Masyhud, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perlebahan Indonesia mengungkapkan pula keprihatinannya, tentang musnahnya lebah madu di hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan beberapa waktu ini karena kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). “Produksi madu kita yang sebagian masih diperoleh dari lebah madu liar dipastikan menurun drastis. Produksi madu nasional kita baru 10.000 ton, jauh tertinggal dibanding China yang mencapai 200 ribu ton, tutur dia. Maka dia berobsesi agar perlebahan nasional yang sedang terpuruk karena bencana karhutla, ini justru menjadi momen kebangkitan. Sebab, dia menegaskan, budidaya lebah kini mulai terlihat bergeliat di mana-mana mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi.ist/ntr

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain