Cetak Biru Persusuan Nasional, Antara Mimpi dan Realita

Cetak Biru Persusuan Nasional, Antara Mimpi dan Realita

Foto: ist/dok.pixabay/ilustrasi


Jakarta (TROBOSLIVESTOCK.COM). Blue print (cetak biru) persusuan memuat target produksi susu segar dalam negeri (SSDN) mencapai 60 % pada 2025. Artinya dibutuhkan 1,8 juta ekor sapi perah, masih sangat jauh dari realita populasi sapi perah 585 ribu ekor.

 

Fini Murfiani, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menerangkan, cetak biru persusuan di Indonesia selama jangka waktu 2013-2025 disusun sebagai dasar koordinasi penyusunan kebijakan nasional di bidang persusuan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Sedangkan kegiatan operasional dilaksanakan oleh masing-masing kementerian/lembaga (K/L) terkait dengan melibatkan pemangku kepentingan, termasuk para peternak, pelaku usaha, lembaga keuangan, asosiasi serta organisasi profesi bidang peternakan dan veteriner.

 

“Artinya untuk mengembangkan persusuan di Tanah Air tidak hanya menyangkut satu kementerian saja yaitu Kementerian Pertanian melainkan K/L terkait seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah serta Kementerian Perindustrian. Sehingga tujuan penyusunan cetak biru persusuan merupakan acuan pemerintah, K/L, perguruan tinggi, asosiasi, dalam menyusun kebijakan, program dan kegiatan masing-masing. Yaitu dengan mensinkronisasi pelaksanaan kebijakan yang lebih fokus dan terpadu lintas sektoral dari hulu-hilir,” urainya dalam webinar online beberapa waktu yang lalu.

 

Fini menegaskan adanya cetak biru persusuan menjadi pedoman keberhasilan dalam upaya mewujudkan penyediaan pangan susu dalam jumlah cukup, berkualitas, terjangkau, dan berkelanjutan menuju masyarakat Indonesia sehat, cerdas, kuat, mandiri, maju, berdaulat, sejahtera, dan bermartabat. Selain itu, memberikan target dan tahapan pencapaian yang komprehensif sebagai indikator keberhasilan.

 

“Dengan disertai kepastian usaha kepada peternak dalam mengelola ternak perah yang berkelanjutan dan terintegrasi. Begitu pun dengan IPS (Industri Pengolahan Susu) dalam mengembangkan usahanya dengan bahan baku lokal yang berkelanjutan mendapatkan kepastian,” tuturnya.

 

Kendati demikian, ia mengutarakan jika cetak biru persusuan 2013-2025 merupakan rencana jangka panjang bagi pembangunan bangsa Indonesia yang memiliki beberapa tahapan. Diantaranya tahapan Persiapan dan Pemantapan (2013 – 2014). Yaitu dimulai dengan koordinasi perencanaan dan sinkronisasi kebijakan. Yang tertuang dalam RJPM (Rencana Jangka Panjang Menengah) dan Renstra (Rencana Strategis).

 

Berikutnya, tahapan Persusuan Maju (2015-2020) berupa peningkatan konsumsi susu terutama (SSDN), peningkatan populasi ternak perah, terbentuknya klaster pembibitan ternak perah serta peningkatan produksi susu segar dalam negeri yang disertai dengan pertumbuhan IPS dan meningkatnya kemampuan dan pendapatan peternak.

 

Dia melanjutkan, tahapan terakhir yaitu tahapan Persusuan Tangguh (2021 – 2025). Harapannya ialah terwujudnya jaminan keamanan dan kemandirian pangan asal susu Indonesia. Di sisi lain, jaminan atas tersedianya produk susu yang cukup, aman, sehat, utuh, halal, berkualitas, dan berdaya saing dengan harga yang kompetitif. Sehingga mampu memenuhi kecukupan gizi yang akan mengarah terhadap peningkatan kecerdasan generasi bangsa.

 

Indikator Kerberhasilan

Fini mengatakan, beberapa indikator keberhasilan adanya cetak biru persusuan di Tanah Air diharapkan target pada 2025 diantaranya terpenuhinya kebutuhan susu untuk konsumsi dari hasil produksi dalam negeri mencapai 60% yang dibarengi dengan peningkatan produktivitas berupa sapi perah dengan menghasilkan 20 liter/ekor/hari atau 6.000 liter per ekor per laktasi.

 

“Artinya dibutuhkan populasi sapi perah sebesar 1,8 juta ekor. Sedangkan saat ini masih dikisaran 585 ribu ekor,” ungkapnya.

 

Indikator lainnnya, menurut Fini ialah meningkatnya jumlah konsumsi masyarakat Indonesia yaitu 30 liter per kapita per tahun dengan jumlah populasi betina laktasi menjadi 50 % dari populasi sapi betina produktif. Sedangkan untuk IPS ditargetkan terjadi pertumbuhan jumlah dan kapasitas dengan rata-rat 10 % per tahun.

 

 

Tak hanya itu, Fini juga menyampaikan jika pendapatan peternak yang meningkat dengan minimal Rp 244 juta per kapita per tahun dengan asumsi kepemilikan 10 ekor sapi per peternak juga merupakan bagian indikator keberhasilan penyusunan cetak biru persusuan. Terakhir ialah jumlah kapasitas kelembagaan dalam penerapan good corporate governance meningkat menjadi 80% dari kelembagaan yang ada. Yang akhirnya akan mencipatkan tumbuhnya investasi baru peternakan perah, industri pengolahan, dan distribusi dan logistik sebesar 10 %.

 

Dia berharap, komiditi susu kembali lagi menjadi Bapokting (Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting) mengingat pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020 menjelaskan bahwa susu bukan lagi termasuk bapokting.

 

Walhasil Dirjen PKH telah menyurati Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian yang disertai dengan naskah kajian kualitatif yang telah diserahkan berupa surat penyampaian naskah kajian usulan pengajuan susu sebagai Bapokting. “Namun setelah dilakukan rapat koordinasi sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya,” beber Fini.ed/zul

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain