Foto:
Antibiotic Growth Promotor (AGP) yang digunakan untuk pertama kalinya sekitar pertengahan abad lalu, ternyata berstatus bagai pedang bermata dua. Bagaimana tidak, disamping memberikan efek positif yang adekuat dalam hal kesehatan dan produktivitas hewan ternak, namun disisi lain juga dilaporkan menimbulkan perubahan perilaku beberapa bakteri patogen seperti Salmonella, Camphylobacter, dan Escherichia coli terhadap sediaan antibiotika yang notabene juga digunakan dalam kedokteran manusia untuk menghadang laju kasus penyakit bakterial atau patogen lainnya. Tulisan singkat ini mencoba menelisik mengapa produk asal tumbuhan (herbal) dalam bentuk imbuhan pakan (PFA = phytogenic feed additive) dapat digunakan sebagai produk alternatif AGP dalam pakan ternak.
Mengenal Preparat Herbal
Herbal atau phytochemicals adalah senyawa bioaktif organik dan merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan dari metabolisme normal suatu tumbuhan dengan senyawa awal berupa suatu karbohidrat sederhana hasil dari fotosintesis. Merupakan suatu hidrokarbon yang dapat mempunyai nilai nutrisi ataupun tidak (Hashemi dan Davoodi, 2010, 2011). Bagi tumbuhan itu sendiri, senyawa bioaktif organik tersebut disamping mempunyai peran dalam banyak proses selama pertumbuhannya, juga bertujuan untuk menghadang laju serangan insekta, mikroorganisme patogen dan parasit lainnya (Devappa et al., 2015; Kamboh et al., 2015).
Walaupun penggunaan preparat herbal pada manusia sudah dimulai lebih dari 2000 tahun lalu dan merupakan bentuk nyata suatu kearifan kuno, namun sampai hari ini tumbuhan masih tetap jadi primadona sebagai subjek dari pelbagai penelitian ataupun penemuan baru, terutama dalam dunia teknologi nutrisi dan kedokteran modern. Bagian-bagian tanaman seperti akar, kulit kayu, bunga, biji, dan dedaunan yang diprediksi mengandung senyawa bioaktif organik yang tersebar menutupi hutan belantara, dasar sungai atau laut, perbukitan, atau bahkan pada area yang belum terjamahkan di planet bumi inipun mulai dieksplorasi (Wynn dan Fougère, 2007).
Bagian atau komponen tanaman tertentu bisa mengandung beberapa senyawa kimia aktif (bioaktif) yang beberapa diantaranya dapat memberikan efek farmakologis yang unik bagi hewan ataupun manusia. Disamping itu, juga dapat mengandung asam amino, mineral, gula-gula sederhana, vitamin, saponin, alkaloid, karotinoid, ataupun flavonoid tertentu. Itulah sebabnya pada suatu preparat herbal tertentu terdapat lebih dari satu efek yang umumnya bersifat saling melengkapi (complimentary effects). Jadi tegasnya, suatu preparat herbal terdiri dari beberapa senyawa bioaktif yang kompleks dengan struktur kimiawi yang juga kompleks dan dapat memberikan multi-efek pada fisiologis baik pada hewan maupun manusia alias efek yang polivalen (Williamson et al., 2000; Butterweck et al., 2003).
Keunikan Bioaktif Dalam Herbal
Suatu sediaan herbal dengan kandungan bioaktif yang kompleks tersebut juga variatif tergantung dari iklim, komposisi unsur hara tanah serta umur tanaman itu sendiri. Dengan kondisi inilah mengapa senyawa bioaktif utama pada suatu herbal umumnya sangat jarang diisolasi dan dimurnikan. Ada beberapa argumentasi mendasarinya (Stowe et al., 1999), yaitu:
1) Sediaan bagian tanaman atau ekstraknya yang utuh sudah dipahami dan dibuktikan via sejarah penggunaannya ataupun uji klinis yang sudah dilakukan.
2) Komponen bioaktif suatu sediaan herbal faktanya kompleks, baik jenisnya maupun struktur kimiawinya, yang dapat bersifat aditif, sinergistik, antagonistik maupun saling melengkapi antara satu jenis bioaktif dengan senyawa bioaktif lainnya.
3) Beberapa senyawa bioaktif suatu preparat herbal mungkin tidak stabil ketika dimurnikan.
4) Ada beberapa kandungan bioaktif tertentu yang belum diketahui secara pasti dan dapat mempengaruhi efek biologis senyawa bioaktif utama.
Efek Terhadap Pertumbuhan dan Kesehatan
Hasil-hasil penelitian terkait efek beberapa preparat herbal sebagai promotor pertumbuhan dan atau kesehatan pada ayam tampaknya belum menunjukkan hasil yang betul-betul konsisten (Hashemi dan Davoodi, 2010). Pada beberapa penelitian preparat herbal menunjukkan efek positif yang signifikan pada performa broiler (ayam pedaging) (Ertas et al., 2005; Cross et al., 2007; Peric et al., 2008; Hashemi et al., 2009), sedangkan penelitian lainnya menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap performa (Cross et al., 2007; Ocak eet al., 2008). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian tersebut, misalnya umur dan bagian tanaman yang diambil sebagai sumber bioaktif utama dan metode preparasi preparat herbal tersebut, apakah melalui proses ekstraksi atau merupakan sediaan komponen aslinya (Hashemi et al., 2008; Yang et al., 2009).
Efek Terhadap Sistem Imunitas
Pada dasarnya, preparat herbal yang secara potensial memberikan efek imunomodulator pada hewan dan manusia dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok besar, yaitu: kelompok senyawa bioaktif dengan berat molekul rendah (misalnya: kelompok terpenoid, fenol, dan alkaloid) dan senyawa bioaktif dengan berat molekul besar yang didominasi oleh kelompok polisakarida (Wagner et al., 1999).
Kelompok terpenoid yang mempunyai efek sebagai imunomodulator umumnya berupa essential oil yang dapat dicermati dalam gambar 6 terlampir. Sedangkan dari kelompok fenol yang terkenal adalah (a) cucurmin yang dapat meningkatkan aktivitas fagositosis (baik phagocytic capacity maupun phagocytic capability) dan mengurangi reaksi peradangan yang berlebihan (Ranjan et al., 1998; Yadav et al., 2005), dan (b) asam galat (gallic acid) yang dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit B dan menghambat degranulasi sel mast yang dapat mengurangi reaksi peradangan akut (Hu et al., 1992; Serano et al., 1998).
Dari kelompok alkaloid misalnya senyawa bioaktif piperine yang terdapat dalam cabe besar (Piper longum). Senyawa ini mempunyai efek terhadap peningkatan jumlah sel-sel darah putih (white blood cells count) dan produksi antibodi terlarut atau humoral antibody (Sunila et al., 2004).
Contoh Suatu Herbal
EO (Essential Oil) adalah senyawa alami yang mudah menguap dan berbau harum yang diperoleh dari tumbuhan-tumbuhan semak (perdu) atau bagian dari akar, batang (termasuk kulit kayu), daun, bunga (termasuk kelopak bunga) serta biji dari suatu tumbuhan tingkat tinggi. Senyawa bioaktif tersebut umumnya diperoleh melalui proses distilasi uap, hidrodistilasi atau ekstraksi dingin dengan tekanan tertentu terhadap komponen tumbuhan yang mengandung EO.
Ditinjau dari sudut bangun kimiawinya, suatu EO adalah sediaan alami yang kompleks yang terdiri atas ratusan senyawa kimia yang berbeda dan unik sebagai unsur pokok pembentuknya (bioconstituents). Sebuah sediaan EO rata-rata terdiri dari 200-500 unsur-unsur pokok yang dapat memberikan efek biologis yang sangat variatif pada manusia maupun hewan. Jadi, kekuatan alias efek biologis dari suatu EO sangat tergantung pada jumlah, jenis (variasi), serta efek sinergistik antar “bioconstituents” yang membentuknya. Itulah sebabnya mengapa sediaan EO umumnya sangat unik sekaligus variatif dalam bentuk sediaan maupun efek biologisnya. Tak satupun EO mirip satu sama lainnya. Inilah salah satu keajaiban alam dengan segenap keragamannya.
Contoh, minyak atsiri Lavender mengandung kira-kira 200 unsur pokok yang unik dan berbeda satu sama lainnya. Senyawa linalyl acetate, linalool, cis-beta-ocimene, trans-beta-ocimene, dan terpinene-4-ol adalah unsur-unsur pokok utama yang terkandung dalam minyak atsiri Lavender. Dapat digunakan untuk luka bakar, iritasi akibat gigitan serangga, sakit kepala, insomnia, anti-stres, dan stimulasi pertumbuhan rambut.
EO mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk melakukan penetrasi via membran sel selaput lendir (mukosa) ataupun sel kulit (epidermis), dan selanjutnya bersirkulasi melalui sistem peredaran darah untuk mencapai organ target. Komponen larut dalam lemak yang unik dari EO sangat mirip dengan struktur yang membentuk membran sel jaringan tubuh hewan dan atau manusia. Disamping itu, molekul EO yang relatif kecil memberikan keuntungan yang lain saat melakukan penetrasi ke dalam sel. Oleh sebab itu, EO dapat diaplikasikan secara topikal pada jaringan yang lunak, per-inhalasi ataupun per-oral.
Introduksi kembali EO dalam ilmu kedokteran modern terjadi pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Selama perang dunia pertama, penggunaan EO yang multi-guna di rumah sakit militer maupun sipil berkembang sangat pesat karena keterbatasan preparat antibakterial dan sediaan untuk membantu penyembuhan luka dalam bentuk oinment alias salep.
Dalam dunia kedokteran hewan, EO sudah banyak digunakan untuk pet atau companion animals (hewan kesayangan), love birds, termasuk food producing animals (hewan ternak). Di era pakan non-AGP, pada unggas modern sediaan EO banyak digunakan dengan tujuan stimulasi pertumbuhan villus saluran cerna, stimulasi produksi mucin dalam mekanisme pertahanan sistem gastro-intestinal, stimulasi sekresi enzim-enzim pencernaan terutama enzim pankreas via aktivasi sistem syaraf otonom pankreas, antikoksidial, antibakterial dan sebagai imunomodulator yang mencengangkan (Si et al., 2006; Brenes et al., 2010; Wareth et al., 2012; Kattak et al., 2014; Muthamilselvan et al., 2016; Micciche et al., 2019; Ugarte et al., 2019; Herman et al., 2019; Sandner et al, 2020). TROBOS
Tony Unandar
Anggota Dewan Pakar ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia)