Bambang Suwignyo:Alfalfa: Bahan Pakan Fungsional

Bambang Suwignyo:Alfalfa: Bahan Pakan Fungsional

Foto: 


Kacang ratu BW atau alfalfa tropik adalah varian baru dari alfalfa yang sudah dikembangkan melalui persilangan induk beberapa alfalfa (Medicago sativa L) di Indonesia yang awalnya didapatkan dari impor. Untuk penulisan menurut kaidah saintifik secara internasional maka biasanya menjadi Medicago sativa cv kacang ratu BW. Nama kacang ratu BW ini sudah resmi diterima dan sah terdaftar sebagai varietas Indonesia (alfalfa tropik) dengan keluarnya persetujuan dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perijinan Pertanian (PPVT), Kementerian Pertanian RI pada Oktober 2021. Secara genetik, alfalfa tropik sudah dilakukan pengukuran variasi genetik dengan metode ISSR dan hasilnya didapatkan perbedaan yang secara saintifik dapat disimpulkan sebagai varietas baru alfalfa karena berbeda dengan induknya (Suwignyo et al, 2021a).  
 
Riset yang terkait dengan alfalfa tropik ini sudah lumayan banyak, baik berkaitan dengan karakter perkembangan vegetatif (pertumbuhan), generatif (perkembangbiakan), kandungan nutrisi maupun sampai implementasinya pada ternak. Kandungan nutrisi alfalfa tropik ini antara lain bahan kering antara 19-20 %, bahan organik 87-89 %, dan protein kasar 22-32 % (Suwignyo et al., 2020b). Alfalfa mengandung kadar saponin yang tinggi yaitu 2-3 % bahan kering dan berfungsi sebagai hipokolesterolemik, antikarsinogenik, antiinflamasi, dan antioksidan (Klita et al., 1996; Sen et al., 1998). Alfalfa merupakan hijauan yang tinggi protein dan kaya akan kandungan mineral dan juga vitamin (Ensminger, 1992). Secara spesifik memiliki kandungan vitamin A, D, E, K, C, B1, B2, B6, B16, niacin, asam pantotanik, inositol, biotin, dan asam folat. Alfalfa juga mengandung beberapa mineral yaitu fosfor, kalsium, potasium, sodium, klorin, sulfur, magnesium, tembaga, mangan, besi, kobalt, boron, dan molybdenum. Tanaman ini juga memiliki kandungan asam amino yang kaya akan karotenoid, xantofil yang memberikan warna kuning pada karkas (Sen et al., 1998; Ponte et al., 2004).
 
Indonesia juga kaya akan biodiversitas tanaman yang dapat dijadikan bahan pakan dengan kandungan protein kasar 20 % atau lebih. Namun demikian biasanya berbeda jika sudah sampai pada kandungan asam amino dan mineral tertentu, disinilah bedanya. Oleh karena itulah alfalfa ini di dunia internasional mendapat julukan queen of forage (ratunya hijauan pakan) dan kini sudah ada varietas alfalfa tropik di Indonesia dengan nama kacang ratu BW. Adanya alfalfa tropik di Indonesia dengan nama kacang ratu BW ini maka ada tugas besar untuk pengembangbiakan dengan perbanyakan biji agar kacang ratu BW dapat ditanam oleh seluruh peternak di Indonesia. Pakan berkualitas tinggi tentu saja berpotensi menghasilkan produktivitas tinggi juga pada ternak, dan pada akhirnya turut memajukan dunia peternakan Indonesia. 
 
Alfalfa untuk Itik Pedaging
Pada riset yang dilakukan Suwignyo et al. (2020a) yang dipublikasikan dalam American Journal of Animal and Veterinary Science telah dilaporkan bahwa tanaman alfalfa tropik ini memiliki potensi untuk menjadi pakan bagi ternak unggas. Hal ini tentu saja tidak hanya karena pertimbangan kadar protein kasar yang bisa mencapai 30 %, namun juga karena kandungan 17 asam amino di dalamnya. Ada beberapa asam amino yang diperlukan oleh unggas, salah satunya yang wajib ada adalah Lysin, dan ini juga ada dalam alfalfa. Untuk membuktikan apakah alfalfa tropik ini benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak unggas atau hanya secara teori, maka satu-saunya cara adalah dengan dipraktikkan. Untuk selanjutnya maka telah dilakukan riset dengan menggunakan alfala tropik ini sebagai pakan ternak (suplementasi) pada itik. Pemilihan itik ini karena itik merupakan jenis ternak unggas yang memiliki tingkat tolerasi tinggi terhadap pakan berserat. Pada beberapa literatur dilaporkan bahwa itik dapat menerima pakan yang di dalamnya terdapat bahan pakan berserat hingga pada level 10 % dan ada juga yang melaporkan dapat menerima sampai level 15 %.
 
Alfalfa meskipun memiliki kadar protein kasar yang tinggi dan asam amino yang lengkap, namun karena berupa tanaman maka termasuk bahan pakan berserat. Oleh karena itu, penggunaan alfalfa sebagai komponen pakan bagi unggas perlu mempertimbangkan rekomendasi terkait tingkat tolerasi terhadap kandungan serat dalam pakan. Populasi itik di Indonesia juga mengalami peningkatan dari 2016 hingga 2018. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian 2019 pada 2016 total populasi ternak itik adalah 47,4 juta ekor lalu mengalami peningkatan sebesar 3,44 % pada 2017 dengan total 49 juta ekor dan terus meningkat hingga 2018 dengan total populasi itik 51,2 juta ekor. Hal ini merupakan sinyalemen bahwa potensi agribsinis terkait itik mengalami perkembangan yang baik. 
 
Riset pada itik dengan menggunakan alfalfa sebagai bahan suplementasi pada pakan (secara subtitusi) dengan level 3 % (97 % pakan komersial) dan 6 % (94 % pakan komersial) telah dilaporkan oleh Suwignyo et al. (2020c). Pada penggunaan alfalfa sampai level 6 % ternyata tidak mempengaruhi performa ternak itik, dalam makna tidak menurunkan produktivitas. Itik hibrida yang dipelihara selama 35 hari dengan menggunakan alfalfa sebagai suplementasi dalam pakan sampai level 6 % bahkan dapat menurunkan angka FCR (Rasio Konversi Pakan) dibanding dengan itik yang diberikan pakan komersial 100 %. Angka FCR itik yang diberi pakan dengan adanya 6 % alfalfa dalam pakan adalah 2,63 + 0,37, sementara itik dengan 100 % pakan komersial didapatkan FCR 3,33 + 0,39 dengan status berbeda secara signifikan. Selisih FCR sampai angka 0,7 tersebut tentu bukan hal yang kecil, kalau di konversi ke dalam rupiah jika dalam standar pakan itik pada angka Rp 9.000 per kg akan setara dengan Rp 6.300.
 
Penggunaan alfalfa sampai level 6 % tidak menurunkan produksi (diantaranya adalah bobot potong sekitar 1,2 kg dan karkas sekitar 55 %), bahkan menurunkan FCR secara signifikan yang dalam hitungan bisnis berarti efisiensi alias saving. Jika untuk skala ekonomis, seorang peternak memelihara 100 ekor itik pedaging maka akan diperoleh angka saving setara dengan Rp 630.000, atau dalam skala komersial setidaknya 500 ekor maka akan setara dengan saving Rp 3.150.000. Ini baru dilihat dari performa ternaknya, sementara ada keuntungan lain yang diperoleh ketika memelihara ternak itik yang diberi pakan alfalfa. 
 
Pada diskusi awam, orang akan mengatakan bahwa daging itik memiliki kadar lemak (baca kolesterol) yang tinggi, sehingga orang dengan pertimbangan tertentu akan menghindari makan daging itik (meskipun enak). Pada faktanya, secara saintifik memang kadar lemak daging pada itik lebih tinggi dibanding dengan lemak pada jenis unggas lain. Oleh sebab itu, daging itik juga terasa enak dan gurih karenanya. Griffin et al.(1992) menyatakan bahwa ayam memiliki kandungan lemak daging 15 % dari bobot badan, bebek 25-30 % dan kalkun 8-15 % tergantung umur dan jenis kelamin. Secara umum biasanya kadar kolesterol akan mengikuti kadar lemak. Jika kadar lemak tinggi maka kadar kolesterol juga tinggi dan sebaliknya.
 
Menurut USDA (1979) kandungan kolesterol daging unggas masak (ayam, itik, dan kalkun) rata-rata kurang dari 95 mg/100 g, sate dada ayam (daging putih atau warna terang) mengandung kolesterol sekitar 75 mg/100 g, sedangkan menurut penelitian Muliani (2014) rata-rata kolesterol itik peking 58,355 mg/100 g, itik tegal 64,862 mg/100 g, dan itik magelang 57,565 mg/100 g, sedangkan manusia batas maksimum konsumsi kolesterol adalah 300 mg/hari (Soliman, 2018). Orang dengan risiko penyakit hipertensi atau jantung biasanya cenderung menghindari makan daging itik atau setidaknya mengurangi konsumsi daging itik untuk mengurangi risikonya. 
 
Sebenarnya ada upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko mengkonsumsi daging itik jika karena pertimbangan tinggi kadar lemak termasuk di dalamnya kolesterol yaitu dengan mengkonsumsi daging itik rendah lemak dan rendah kolesterol. Dengan demikian seseorang dapat tetap menikmati mengkonsumsi daging itik dengan rasa aman tanpa ada kekhawatiran dengan kadar lemak dan kelesterolnya. Data riset yang dilakukan oleh Rini et al. (2019) dan Samur et al. (2021) didapatkan bahwa itik yang diberikan suplementasi alfalfa dalam pakannya maka kadar lemak dan kolesterol dalam daging itik tersebut akan mengalami penurunan dari 66,5 mg/100 g menjadi 34,83 mg/100 g (daging bagian dada) dan 36,00 mg/100 turun menjadi 17,20 mg/100 g (daging bagian paha). 
 
Rata-rata kandungan kolesterol dalam penelitian Samur et al. (2021) selama 6 minggu ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Sukada et al. (2007) yang menggunakan itik bali berumur 8 minggu yaitu berkisar antara 71,06 mg/100 g hingga 79,03. Penelitian lain yang dilaporkan Ismoyowati dan Widiyastuti (2003) menggunakan itik tegal berumur 4 bulan menunjukkan rata-rata kadar kolesterol daging dada dari 166,91 mg/100 g hingga 177,47 mg/100 g. Jika dilihat sampai profil lemak darah, ternyata HDL (kolesterol baik) mengalami peningkatan dari 44 ke 53 mg/dL g dan LDL (kolesterol jahat) mengalami penurunan dari 74 ke 69 mg/dL. Hasil riset ini lebih rendah jika dibanding riset terdahulu yang pernah dilakukan oleh Tugiyanti dan Susanti (2017) melaporkan bahwa itik tegal yang dipelahara selama 10 minggu memiliki kadar kolesterol dalam rentang 163,91 mg/dL hingga 119,71 mg/dL. Sedangkan penelitian Dwiloka et al.
 
(2015) menyebutkan bahwa itik indian runner yang berusia 4 minggu memiliki rata-rata kadar kolesterol 68,9 mg/100 g hingga 46, 16 mg/100 g. Itik bali pada penelitian Partama et al. (2019) yang dipelihara sampai usia 3 minggu memiliki rerata kandungan koleterol darah dari 250.29 mg/dL hingga 195,64 mg/dL. Kadar LDL darah pada itik dalam penelitian Samur et al. (2021) lebih tinggi dibanding dengan penelitian Setiawati et al. (2014) yang menggunakan broiler (ayam pedaging) berumur 42 hari dengan diberikan pakan tepung daun kayambang yaitu berkisar antara 17,092 mg/dL hingga 27,672 mg/dL. Sedangkan pada penelitian Sukaryana and Priabudiman (2014), pemeliharaan broiler hingga umur 35 hari yang diberi pakan ekstrak daun beluntas menunjukkan kadar LDL dari rentang 183 mg/dL hingga 119 mg/dL. Basmacioglu dan Ergul (2005) menyatakan bahwa kadar kolesterol LDL yang aman bagi kesehatan ternak adalah ≤ 130 mg/dl. Oleh karena itu, hasil riset penggunaan alfalfa tropik oleh Samur et al. (2021) ini menjadi angin segar seperti yang diharapkan oleh para “phobia” daging itik. Impian menikmati daging itik dengan rendah kolesterol, rendah LDL namun tinggi HDL. 
 
Secara saintifik hal tersebut dapat dijelaskan dengan reaksi penyabunan. Bahwa alfalfa memiliki kandungan saponin di dalamnya, zat inilah yang berperan melarutkan lemak sehingga berdampak pada penurunan lemak dan kolesterol di dalam daging itik yang saat pemeliharaannya ada alfalfa di dalam pakannya. Robinson (1995) menyatakan bahwa saponin merupakan glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Karakteristiknya berbuih dan bersifat emulsi yang dapat digunakan untuk menurunkan kolesterol. Saponin menurunkan kadar kolesterol plasma darah dengan cara berikatan dengan asam empedu sehingga ekskresi asam empedu dalam feses dan sterol netral (koprostanol dan kolestanol) (Lee, 2005).
 
Hal ini menyebabkan konversi kolesterol menjadi asam empedu sangat meningkat untuk upaya mempertahankan depot asam empedu. Konsekuensinya reseptor LDL dari hati akan dinaikkan sehingga terjadi peningkatan pengambilan LDL yang akan disertai dengan penurunan kadar kolesterol plasma darah (Ramadhina et al., 2019). Saponin dalam alfalfa tropik menurunkan total kolesterol dapat berupa pembentukan saponin kompleks tidak larut yang berikatan dengan kolesterol sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol. LDL merupakan hasil utama dari pengangkutan kolesterol endogen (Yu, 1990). Flavonoid juga terdapat di dalam alfalfa, dan ini juga dapat berperan menurunkan kadar LDL dalam darah. 
 
Sementara itu dari aspek kualitas kimia, daging yang dihasilkan dari itik dengan adanya pakan alfalfa di dalamnya tidak ada perbedaan dengan daging dari itik dengan 100 % pakan komersial. Kadar air antara 76-78 %, kadar lemak kasar antara 1,1 – 1,77 % dan kandungan protein kasar antara 76-78 %. Hasil ini semakin meyakinkan bahwa tidak perlu ada kekhawatiran kalau nutrisi daging akan berubah dengan adanya alfalfa tropik dalam pakan. Penggunaan alfalfa sebagai pakan ternak pada itik mampu menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam dagingnya. Kemampuan menurunkan lemak dan kolesterol ini yang dikenal dengan istilah sifat hipokolesterolemik. Oleh karena itu, alfalfa dapat dikatakan sebagai jenis pakan fungsional, karena tidak sekedar sebagai pakan untuk pertumbuhan normal, namun juga memiliki efek plus menurunkan kadar lemak dan atau kolesterol. Pengunaan alfalfa sebagai bagian dari pakan itik ini tidak berdampak para penurunan produksi, namun justru penurunan FCR dengan bonus mendapatkan daging itik rendah kolesterol, rendah HDL dan tinggi HDL. TROBOS 
 
 

 

Pakar Nutrisi dan Pakan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada 
 
 
 
 
 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain