Pandemi Covid-19 menjadi alasan penyebab porak porandanya semua tatanan bisnis dunia, tidak terkecuali bisnis telur. Harga pakan yang melonjak naik tidak dibarengi dengan kenaikan harga telur. Hanya saja ada hal yang tetap menggembirakan adalah stok telur tetap habis terjual. Artinya, pasar tetap bisa menyerap semua produksi telur. Hal ini patut disyukuri dan dapat dijadikan pemacu semangat untuk terus maju dalam menggeluti bisnis ayam petelur.
Harus diakui permasalahan di bisnis ayam petelur tidaklah sederhana dan semakin hari semakin rumit baik dari aspek pasar, aspek pemeliharaan, aspek sarana prasarana produksi, maupun regulasi dari pemerintah yang kadang menambah rumit. Kondisi sekarang bisa diibaratkan sebagai situasi diambang batas kesabaran dan masa yang sulit karena harga pakan terus meningkat. Asosiasi peternak layer (ayam petelur) juga sudah tidak kurang menyuarakan perubahan ataupun menuntut tindakan solusi namun kondisi tetap saja masih belum berubah menjadi lebih baik dan bisa dikatakan “mencekam”.
“Mencekam” dalam arti kesulitan yang tidak ada ujungnya kapan selesai karena dalam masa pandemi Covid-19 ini sudah disusul dengan adanya konflik Rusia-Ukraina yang menambah deretan kesulitan. Pasalnya, harga bahan baku pakan impor menjadi meningkat sehingga harga pakan meningkat terus dan ketersediaan pakan juga akan terganggu.
Kondisi riil di lapangan secara sederhana bisa dihitung tingkat kerugian setiap farm (peternakan) dengan FC (feed convertion/konversi pakan) global di angka 2,6 – 2,8. Dari gambaran pencapaian FC ini dapat dikalkulasikan harga pokok produksi (HPP) per kg telur. Dengan harga pakan saat ini sekitar Rp 6.500 per kg maka menghitung biaya pakan adalah FC dikalikan harga pakan : 2,6 x Rp 6.500 = Rp 16.900 artinya biaya untuk pakan per kg telur adalah Rp 16.900. Untuk menghitung total biaya per kg telur dengan cara biaya pakan dibagi 80 % karena biaya pakan mencapai 80 % dari total biaya. Perhitungannya biaya modal per kg telur : Rp 16.900 : 80 % = Rp 21.125 per kg. Sedangkan harga telur selalu terkoreksi di bawah Rp 20.000 per kg bahkan sampai hanya di angka Rp 18.000 per kg. Beda daerah juga akan berbeda harga jual telurnya.
Meskipun para pelaku usaha dalam hal ini peternak hampir merasa tidak ada solusi dalam menghadapi kondisi tersebut, semoga saja setiap farm mampu berusaha bangkit untuk menggapai peluang dengan berakhirnya masa Pandemi Covid-19. Apalagi farm ayam petelur rata-rata sudah operasional puluhan tahun sehingga bukan hal mudah untuk bangkit menghadapi situasi saat ini setelah sekian lama anteng berusaha karena selalu profit.
Berdasarkan kondisi di atas, para pelaku usaha peternakan ayam petelur perlu melakukan perubahan paradigma dalam mengelola farm-nya. Melalui paradigma baru ini akan lebih mengoptimalkan peran SDM (sumber daya manusia) untuk mencapai kekuatan farm dalam menghadapi segala risiko. Mengingat saat ini seolah-olah yang menghadapi risiko hanya Bos atau Pemilik, sedangkan karyawan seolah hanya sebagai alat pelaksana bahkan mungkin bisa menjadi bagian dari problem yang menambah beban biaya farm petelur.
Peran SDM
Ayam petelur merupakan produk genetik yang memiliki keunggulan kualitas dan kuantitas terukur dari perusahaan genetik yang sudah memiliki teknologi maju dan mengalami proses yang panjang dalam melakukan seleksi dan perbaikan genetik. Hampir sudah ratusan tahun perusahaan genetik secara profesional menghasilkan bibit unggul secara mendunia. Potensi genetik ayam petelur sedimikian rupa didesain untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan hidup sekitarnya dan mampu menampilkan atau mencapai performa produksi sesuai dengan standar yang dibuatnya dari perusahaan genetik tersebut.
Secara genetik sudah dipertimbangkan pula pencapaian performa genetik dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terinteraksi yaitu pakan, lingkungan, serta manajemen pemeliharaan. Dari masing-masing faktor ini secara nyata berpengaruh terhadap performa dan secara bersama saling interaksi sehingga pengaruhnya terhadap performa ayam semakin rumit. Oleh karena itu, dari perusahaan genetik sudah memberikan guide atau patokan yang meliputi nutrisi, lingkungan, dan pola pemeliharaan. Tentunya, dengan adanya patokan pola pemeliharaan ini akan memudahkan bagi pelaku di farm petelur untuk mengelola ayamnya dengan pola yang sudah distandarkan dari masing-masing perusahaan genetik untuk mencapai performa yang juga sudah ditentukan oleh genetik tersebut.
Pertanyaan klise, apakah setiap pelaksana lapangan memahami manajemen guide dari genetik yang digunakan?. Bahkan mungkin membaca saja belum pernah, bisa jadi melihat wujud bukunya saja belum pernah. Adalah wajar bila hasil performa juga belum sesuai dengan standar genetiknya. Sudah saatnya untuk berubah dan mengubah pola dari yang mendasar ini yaitu memahami pola pemeliharaan disesuaikan dengan persyaratan manajemen sesuai dengan genetik masing-masing. Perlu menyadari pula meskipun sudah bertahun-tahun mengelola ayam adalah menjadi urgen untuk kembali ke pola pemeliharaan sesuai dengan genetik. Bahwa setiap perusahaan genetik selalu melakukan perbaikan genetik tiap tahunnya maka tiap tahun pula perlu melakukan penyesuaian pola manajemen di kandang.
Estimasi Produksi dan Replacement
Dalam farm ayam petelur tentu pemeliharaan terdiri dari berbagai umur yang secara berurutan dengan tujuan untuk menjaga kestabilan produksi dalam orientasi menjaga pelanggan. Gambaran sederhana dalam satu farm melakukan peremajaan setiap 10 minggu, artinya setiap 10 minggu masuk DOC (ayam umur sehari) dengan jumlah sesuai dengan kapasitas kandang masing-masing. Dengan setiap 10 minggu masuk DOC maka akan ada ayam yang jarak umur 10 minggu, sehingga secara mudah umur yang ada adalah 10 minggu, 20 minggu, 30 minggu, 40 minggu, 50 minggu, 60 minggu, 70 minggu, 80 minggu, 90 minggu, dan 100 minggu. Pola ini juga memudahkan dalam menghitung produksi serta biaya harian maupun hasil harian dari penjualan telurnya. Tabel 1 berikut adalah gambaran farm dengan replacement 10 minggu.
Secara sederhana ada gambaran yang nyata bahwa dengan setiap 10 minggu masuk DOC maka perlu disiapkan 12 flok yaitu 2 flok untuk masuk DOC dan 1 flok untuk kosong kandang produksi, dengan umur pindah ayam pullet di 12-15 minggu. Pencapaian produksi akan bervariasi berdasarkan variasi umur, dengan gambaran total farm dengan rataan HD 74 % dengan EM 47 kg per 1.000 ekor, maka mencapai FC 2,18. Hasil FC inilah yang mestinya menjadi tujuan pokok dalam pengelolaan farm.
Berikutnya bisa dikalkulasikan bila FC 2,18 kali harga pakan Rp 6.500 = Rp 14.185 artinya biaya pakan untuk menghasilkan satu kg telur adalah Rp 14.185. Selanjutnya, bila dihitung HPP adalah Rp 14.185 : 80 % = Rp 17.731 per kg telur. Bila tercapai HPP ini maka farm akan tahan dan aman dalam segala kondisi. Performa ini merupakan mimpi yang harus menjadi kenyataan di semua farm untuk bisa tetap kuat dan tangguh.
Kenyataan lapangan benar-benar masih menghadapi kendala yang tidak mudah dalam mencapai performa produksi sesuai standar tersebut, bahkan pencapaian FC masih umum di kisaran 2,6 – 2,8. Tabel 2 berikut adalah estimasi produksi dengan tingkatan performa dan FC.
Dari tabel tersebut menggambarkan pencapaian performa produksi yang kurang dari standar akan nyata FC juga meningkat. Bila performa -5 % dari standar maka FC meningkat 0,12 atau 5 % imbasnya biaya pakan per kg telur meningkat sehingga HPP telur meningkat dari Rp 17.731 per kg menjadi Rp 18.664 per kg atau meningkat hampir Rp 1.000 per kg telur. Dengan kenaikan HPP telur di angka Rp 18.600 per kg masih masuk hitungan karena harga telur biasanya paling rendah di angka tersebut, normal di kisaran Rp 19.000 – 20.000 per kg sehingga masih memperoleh margin atau keuntungan.
Selanjutnya bila produksi diangka -10 % dari standar maka FC meningkat juga 10 % yang menyebabkan biaya pakan meningkat mendekati Rp 1.600 per kg telur dengan HPP sudah mencapai Rp 19.700 per kg telur. Kondisi ini sudah harus menjadi peringatan atau warning karena harga telur menyentuh kurang dari Rp 19.000 per kg sehingga farm sudah mengalami kerugian. Berikutnya untuk farm yang performa produksinya masih -15 % bahkan -20 % dari standar maka FC menyentuh 2,57 sampai 2,87. Kondisi itu akan berpengaruh terhadap biaya pakan per kg telur yang meningkat Rp 2.500 – 3.700 per kg-nya. Adalah kerugian yang serius bila performa produksi masih di angka ini, karena HPP sudah mendekati Rp 21.000 – 23.000 per kg sedangkan harga telur masih jarang menembus di angka ini. Kiranya diperlukan gerakan bersama untuk mengangkat harga telur bisa menembus di angka Rp 22.000 – 25.000 per kg sehingga akan menjadi peluang yang baik untuk kemajuan farm ayam petelur di Indonesia.
Sekali lagi perlu diperhatikan bahwa meningkatnya FC akan meningkatkan biaya pakan terhadap per kg telur, turun 5 % akan meningkatkan biaya pakan sekitar Rp 750, bila turun 10 % dari standar makan biaya pakan meningkat mendekati Rp 1.600 per kg telur. Berikutnya dengan turun 15 % maka FC juga meningkat 15 % maka biaya pakan meningkat Rp 2.500. Pada performa produksi yang masih rendah kurang dari 20 % maka FC meningkat hingga 25 % menyebabkan biaya pakan meningkat hingga Rp 3.700 per kg telur.
Dengan kondisi ini harus benar-benar disadari di setiap farm ayam petelur untuk bangkit dari permasalahan ini. Permasalahan kenaikan harga pakan bisa dikesampingkan karena menyangkut isu global yang akan sulit dibendung. Maka langkah yang bisa dilakukan secara nyata di masing-masing farm adalah mengoptimalkan produksi dari yang masih ketinggalan 20 % berupaya menuju ketinggalan 15 % bahkan menuju ke ketinggalan 10 % saja. Bagi farm yang ketinggalan 10 – 15 % segera mengejar ketertinggalan tersebut dengan produksi di -5 % saja bahkan menuju pada standar atau on standard.
Langkah menuju kondisi performa produksi on standard adalah “mengelola SDM” dengan porsi yang benar. Bagaimana setiap farm dapat menggerakkan SDM untuk bekerja mencapai hasil performa produksi on standard.
SDM Sebagai Aset
Sekali lagi bahwa ayam adalah produk genetik yang sudah disiapkan pola pemeliharaannya, persyaratan nutrisi dan lingkungannya sehingga memudahkan untuk mencapai performa produksi sesuai kemampuan genetiknya yang tertuang dalam standar produksi. Oleh karena itu, keberhasilannya sangat tergantung dengan ketepatan penerapan dari persyaratan tersebut, yang tentunya sangat tergantung dari kemampuan SDM dalam mengetahui persyaratan, memahami, dan kemahiran dalam aplikasinya. Sehingga perlu mendidik semua karyawan untuk belajar, memahami, dan mahir mengaplikasikan sesuai dengan persyaratan genetik ayamnya. Upaya ini tentu tidak terlepas dari bahasan terkait pendapatan mereka. Setiap lokasi sudah ada batasan upah minimal atau disebut UMR (Upah Minimum Regional), sehingga memudahkan menjadi patokan di masing-masing farm untuk menjalankan sesuai peraturan tersebut. Bagaimana upaya imbal balik yang mutualisme atau saling menguntungkan, bahwa karyawan mendapatkan pendapatan sesuai dengan UMR dan tentu mampu bekerja untuk menghasilkan performa produksi sesuai target dari farm masing-masing. Tabel 3 berikut adalah perhitungan UMR dengan beban biaya per kg telur dan upaya singkronisasinya.
Pola pertama, yang perlu disinkronkan adalah jumlah karyawan di farm yaitu total 3.000 ekor per orang artinya bila 10.000 ekor maka diperlukan 3,3 orang. Sinkronisasi yang kedua adalah UMR contoh di Banten di 2022 ini Rp 2.500.000, maka biaya per kg telur bisa dihitung bila performa produksi on standard maka produksi per bulan bisa mencapai 13,6 ton dan biaya per kg telur Rp 612. Tentunya biaya ini akan meningkat bila beban produksi yang menurun, bila menurun 5 % maka biaya upah menjadi Rp 644 per kg. Selanjutnya bila turun 10 % maka beban upah meningkat menjadi Rp 679 per kg, bila produksi hanya -15 % beban upah Rp 719 per kg dan pada produksi -20 % beban upah Rp 805 per kg. Beban upah akan naik dengan pencapaian produksi yang masih kurang dari standar, namun kenaikannya hanya sekitar Rp 200 saja per kg telur. Artinya penggunaan tenaga kerja dan upah tenaga kerja bisa menjadi kunci untuk mencapai performa on standard sehingga farm akan terjaga mampu mencapai performa produksi sesuai targetnya.
Dengan mencermati dari aspek konversi pakan atau FC dengan naiknya FC maka biaya per kg telur meningkat Rp 747 – 3.733. Artinya, hal yang menjadi sangat urgen adalah bagaimana karyawan atau seluruh SDM bekerja pada FC sesuai target farm. Akan menjadi hubungan mutualisme antara farm dan SDM artinya SDM mendapatkan upah yang terbaik dan farm mendapatkan hasil kerja yang terbaik. Kondisi ini akan menjadi iklim kerja yang sangat kondusif sehingga semua yang bekerja di farm akan semangat dan memiliki motivasi yang tinggi. Pola ini akan menjadi paradigma baru dalam pengelolaan farm.
Sebagai kunci adalah pemahaman bersama akan apa yang “bisa diberikan yang terbaik”. Bagaimana perusahaan memberikan yang terbaik untuk karyawan dan karyawan bertanggung jawab penuh untuk bisa memberikan performa produksi ayam yang terbaik untuk farm. Hal ini tentunya semua harus bermuara memberikan yang terbaik pada ayam sehingga ayam akan memberikan performa produksi yang terbaik. Upaya sinkronisasi ini akan menjadi sangat mudah dan efektif bila dibantu ditangani oleh tim yang berpengalaman untuk bisa menggerakkan SDM menjadi aktor perubahan mencapai performa produksi on standard. Kiranya sangat perlu melibatkan konsultan yang memang handal di bidangnya dalam memaksimalkan potensi genetik ayam. TROBOS