Jakarta (TROBOSLIVESTOCK.COM). Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (SISKA) Supporting Program kembali menggelar kegiatan Guest Lecture Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) SISKA pada Senin (4/4).
Kuliah bertajuk “Knows and Unkowns of Cattle Grazing in Oil Palm. A Review” ini menghadirkan Jori A Bremer, PhD candidate, School of Environment and Rural, Science University of New England, Australia (UNE, Australia).
Dia menyatakan timnya telah melakukan kajian literatur dengan menggunakan search engine yang berbeda dan menggunakan kata kunci tertentu untuk menemukan artikel yang relevan. Seperti misalnya ternak, sapi, grazing¸ perkebunan, dan lain-lain.
“Kami menemukan setidaknya 93 publikasi yang kami baca seutuhnya, lalu kami mulai memikirkan tentang apa saja tema utama yang diangkat dalam artikel tersebut. Dengan itu, kami mendapatkan banyak informasi dan dapat membahasnya selangkah demi selangkah,” tuturnya.
Beberapa artikel yang ditemukan mengenai understorey atau tumbuh-tumbuhan di bawah pohon kelapa sawit, menyatakan semakin tinggi pohon kelapa sawit, maka penetrasi cahaya akan semakin berkurang. Hal ini akan berdampak pada biomassa understorey yang menurun akibat ketersediaan cahaya yang berkurang, dan ini juga akan berdampak pada cepatnya tumbuhan tersebut kembali setelah sapi merupumput.
Sehingga bagaimana dapat memaksimalkan fase awal perkebunan saat banyak cahaya yang tersedia dan bagaimana kita bisa mengelola perkebunan agar selalu ada satu bagian yang selalu muda dan lebih baik untuk program SISKA-nya.
“Jadi kami menemukan beberapa artikel yang membahas tentang alternatif geometeri dan kepadatan penanaman dengan jarak masing-masing 9 meter. Ada 2 koridor yang jaraknya jauh, lalu 2 koridor yang jaraknya dekat,” ucapnya.
Dalam koridor lebar akan lebih banyak ruang untuk cahaya, maka biomassa di bawah pepohonan lebih tinggi. “Inilah gagasan yang secara prinsip baik, tapi kami tidak bisa mendapatkan informasi dalam literatur apakah pola ini sudah mulai digunakan, dan apabila mulai digunakan, dimana ini digunakan?” ujarnya skeptis.
Kemudian dia kembali melontarkan tanya, apakah ini akan berdampak pada panen kelapa sawitnya. “apabila berdampak, bagaimana keuntungan yang bisa diperoleh jika dibandingkan dengan keuntungan dari produktivitas ternak?,” tanya dia.
“Lalu kami berpikir bahwa ketersediaan tanaman harus selaras dengan kebutuhan sapi merumput untuk mencegah over grazing dan erosi. Sudah cukup banyak penelitian tentang topik ini. Akan tetapi yang masih belum ada sampai saat ini adalah informasi tentang palatabilitas dari spesies ini dan apakah tahan terhadap grazing,” imbuhnya.
Secara umum, 1 ekor ternak membutuhkan 4 ha perkebunan kelapa sawit. Namun, Jori menyampaikan bahwa hal ini tidak mempertimbangkan usia perkebunan, dan ketersediaan tumbuhan tanaman di bawah pepohonan.
Di pun mengaku menemukan 15 artikel yang berkaitan dengan peningkatan bobot mulai dari 76 – 410 g/ekor/hari. Perbedaan peningkatan bobot ini disebabkan berbagai kondisi, manajemen, jenis spesiesnya, dan sebagainya.
“Kami tidak memiliki informasi terntang penetapan eksperimennya, apakah mendapat pakan tambahan, dan berbagai pertanyaan lainnya. Sehingga saat ini kami tidak bisa secara langsung menghubungkan antara manajemen ternak dan manajaemen perkebunan ke peningkatan bobot dari ternak,” sampainya.
Dilihat dari sisi ekonominya, hanya 5 publikasi di antara 93 yang menunjukkan keuntangan dari ROI yang menunjukkan rentang dari 4 – 112 % untuk perkebunan besar. “Kembali rentang yang besar ini terjadi berdasarkan cara-cara masing-masing artikel melakukan kalkulasi ROI,” tandasnya.
“Tapi yang perlu saya katakan bahwa semua informasi ini datang dari perkebunan skala besar. Baik itu pemerintah, maupun swasta dan tidak ada informasi dari perkebunan skala kecil. Ini perlu kita pertimbangkan dalam mengembangkan sistem SISKA. Jadi kita memang perlu mengembangkan metode integrasi yang spesifik sesuai dengan daerah setempat yang produktif dan berkelanjutan.” lanjutnya.ed/shara