Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang semakin hari semakin cepat perkembangannya. Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi semuanya bahwa aktivitas pekerjaan tidak semua harus diselesaikan di kantor, namun dapat juga diselesaikan sebagian di rumah. Dengan adanya pandemi Covid-19, maka kita mengenal istilah WFO (Work From Office) & WFH (Work From Home).
Industri perunggasan merupakan suatu industri yang sangat mengalami perkembangan begitu cepat, bukan cuma dari segi teknis, namun juga dari segi teoritis. Hal yang sangat sederhana yang dapat dirasakan oleh para pelaku usaha budidaya broiler (ayam pedaging) yaitu teori lama menyarankan bahwa DOC (ayam umur sehari) diberi minum dulu lalu diberi pakan, namun ternyata teori ini terbantahkan bahwa semakin cepat anak ayam itu diberi pakan semakin baik, hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian ilmiah, sehingga lebih memperkuat alasan pemberian pakan lebih awal.
Pada kesempatan ini akan diuraikan berbagai informasi yang dapat dilakukan atau sudah dilakukan agar usaha broiler yang dijalankan mampu bersaing serta berkelanjutan. Mungkin masih banyak pelaku usaha di bidang ini menjadi ragu untuk melanjutkan usahanya namun seharusnya tetap termotivasi dan bersemangat agar terus mengembangkan bisnis atau usaha yang dilakukan dengan berbagai terobosannya.
Manajemen pemeliharaan secara prinsip yang mendasar tidak ada yang berubah, seperti ketersediaan oksigen, suhu, cahaya, air & pakan. Akan tetapi yang berubah adalah bagaimana menyediakan atau bagaimana melakukannya agar segala kebutuhan ayam yang dipelihara itu terpenuhi.
Jika semua unsur tersebut terpenuhi, maka tentu ayam yang dipelihara akan tumbuh dan berkembang secara maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya. Sistem pemeliharaan saat ini dapat dikatakan lebih maju, karena hampir semua peternak di seluruh Indonesia sudah memahami dengan baik sistem pemeliharaan, baik yang ditonton melalui youtube (namun perlu juga diseleksi) maupun melakukan studi banding, namun masih ada juga yang bertahan dengan teori-teori yang lama.
Persentase pemahaman sistem pemeliharaan broiler di Indonesia tentu masih berbeda – beda. Hal ini dapat dilihat dari tipe kandang yang digunakan, program pemberian pakan yang dijalankan, program kesehatan yang diterapkan. Di pulau Jawa dapat dikatakan bahwa 70 % para pelaku usaha budidaya broiler sudah menggunakan closed house (kandang tertutup) dan sisanya masih menggunakan open house (kandang terbuka).
Sedangkan di pulau lainnya seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan masih di bawah 70 %. Sebagai contoh daerah di luar pulau Jawa yang persentase closed house yang semakin hari semakin meningkat adalah di Sulawesi Selatan. Saat ini sudah mencapai 40 %, di prediksi akhir tahun ini akan mencapai 50 %.
Sistem Perkandangan
Sistem perkandangan dalam pemeliharaan broiler sangat menentukan keberhasilan budidaya. Hal ini disebabkan karena kandang yang baik, tentu akan mempermudah pekerja kandang dalam melakukan aktivitasnya, sehingga mereka fokus terhadap ayam yang dipelihara.
Closed house tentu akan memberikan performa yang lebih stabil dibandingkan dengan open house. Closed house mampu menyediakan lingkungan yang nyaman bagi ayam, hal ini disebabkan karena kandang tersebut dilengkapi dengan peralatan yang menggunakan teknologi dalam mengatur suhu dalam kandang, sangat berbeda dengan open house. Himbauan untuk modifikasi open house ke closed house setiap saat dilakukan agar mampu beradaptasi sehingga hasil performa akan lebih baik, termasuk memberikan panduan – panduan modifikasi seperti pada Gambar 1. Dengan pemberian panduan seperti ini, bagi pemilik open house akan lebih tertarik untuk melakukan modifikasi ke semi closed house atau full closed house.
Manajemen Pemeliharaan
Dalam budidaya broiler aplikasi manajemen pemeliharaan belum tentu juga sama antara pelaku budidaya yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, perlu bimbingan terhadap mereka atau minimal diberikan standar operasional dalam hal budidaya yang meliputi pemilihan lokasi, desain kandang, kebutuhan peralatan, kebutuhan listrik, serta manajemen pemeliharaan itu sendiri.
Kondisi dilapangan, dalam proses budidaya masih ada pelaku usaha yang menghemat atau mengurangi hak – hak ayam itu sendiri. Namun peternak tersebut ingin performa yang bagus, tentu hal ini yang sangat mustahil. Seperti beberapa kasus dalam hal :
a. Masa brooding diperpendek (alasan gas mahal). Idealnya, masa brooding 10 – 12 hari di musim kemarau dan 12 – 14 hari di musim hujan. Masa brooding, masa paling kritis terutama di 1 – 5 hari, kebutuhan harus terpenuhi, karena anak ayam belum mampu mengatur suhu tubuhnya.
b. Kepadatan ayam yang berlebih (over density). Idealnya, untuk open house 13 kg per m2 dan 30 kg per m2 untuk closed house. Akan tetapi jika suhu lingkungan minimal 21 0C maka untuk closed house kepadatan dapat ditingkatkan mencapai 40 kg per m2.
c. Peralatan yang kurang seperti pemanas, tempat pakan, dan tempat minum. Hal ini sangat mempengaruhi performa jika tidak tercukupi. Idealnya, 1 heater (lb white) untuk 10.000 ekor, 1 nipple untuk 8 ekor ayam, 1 automatic feeder untuk 40 ekor ayam, 1 baby chick feeder untuk 25 ekor, serta 1 feeder tube 10 kg untuk 25 ekor ayam.
d. Membatasi pakan dan tidak memberikan pakan sesuai fase pemeliharaan ayam. Terkadang peternak membatasi pakan, namun mereka menginginkan ayamnya beratnya tinggi. Demikian juga pakan yang diberikan tidak mengikuti fase pemeliharaan, namun peternak menginginkan performa bagus. Hal ini sering ditemukan dilapangan. Jika ingin performa bagus, maka penuhi kebutuhan pakan ayam, jangan dibatasi, ingat 1 karung pakan (50 kg) akan menghasilkan daging 70 %, jadi semakin dikurangi pakannya, maka semakin kurang berat badannya.
e. Tidak memperlakukan ayam secara layak pada saat di panen, ayam yang dipelihara selama berhari – hari akan rusak jika proses panen yang tidak mengikuti standar. Pada saat proses panen ayam tidak disekat, dikejar, proses penangkapan menarik sayap (ayam rusak) dan lainnya.
f. Membiarkan ayam berada dalam kandang yang alas kandangnya menggumpal (litter menggumpal) dan amonia tinggi. Idealnya, alas kandang kering, tidak menggumpal serta level amonia di dalam kandang tidak boleh lebih dari 8 ppm. Ketebalan sekam atau alas kandang 2 – 3 inch. Untuk mengantisipasi ini perkembangan teknologi alas kandang sudah semakin maju, saat ini ada slat plastik, tidak perlu lagi menggunakan sekam sampai panen.
g. Tidak melakukan pencatatan dengan baik, selisih ayam yang masuk dan panen semakin besar. Sebaiknya lakukan pencatatan dengan benar.
h. Tidak melakukan kontrol performa mingguan. Jika dilakukan kontrol, maka kesalahan manajemen dapat diantisipasi atau perbaiki serta mampu memprediksi performa selanjutnya.
i. Proses panen ayam tidak menggunakan timbangan yang wajar (gunakan timbangan digital). Saat ini para pelaku budidaya dalam proses penimbangan menggunakan timbangan biasa, jika ketelitian kurang maka akan kehilangan berat badan 1 garis (setara dengan berapa gram) pada sekala timbangan, dapat dibayangkan kerugian yang dapat dialami.
j. Tidak melakukan perlindungan terhadap ayam yang dipelihara, yaitu tidak menerapkan sistem biosekuriti yang ketat.
Standar Performa
Pelaku usaha budidaya broiler dalam menjalankan usahanya masih banyak yang menggunakan standar performa sesuai keinginannya, namun bukan sesuai dengan standar performa genetik ayam yang dipelihara. Hal ini banyak sekali terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh para pelaku usaha budidaya.
Bagaimana bisa bersaing jika standar performa pemeliharaan saja berbeda. Semakin menggunakan standar performa yang sesuai dengan kemampuan genetik akan semakin mengetahui kemampuan dalam berbudidaya, apakah mampu memperoleh performa sesuai standar genetik atau tidak, dengan demikian tentu akan mencari solusi.
Tidak perlu pesimis dengan lingkungan asal ayam yang dipelihara yang berasal dari iklim sub tropis, namun harus tetap yakin bahwa akan mampu menciptakan lingkungan dan menyiapkan kebutuhan ayam yang dipelihara. Sebagai gambaran terhadap biaya produksi yang dihasilkan jika tidak menggunakan standar sesuai dengan kemampuan genetik, dapat di lihat pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 di atas menggambarkan bahwa, jika pelaku usaha budidaya menggunakan standar yang berbeda – beda, maka akan menghasilkan biaya produksi yang berbeda pula. Harga sapronak (sarana produksi ternak) sebagai ilustrasi saja.
Dengan ilustrasi ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa jika ingin bersaing dalam usaha ini, maka gunakan standar performa genetiK dari ayam yang dipelihara. Walaupun mungkin tidak semuanya bisa dicapai, namun minimal menjadi standar dalam melakukan perhitungan performa, karena jika pelaku lainnya menggunakan standar yang sesuai, maka tentu juga akan memberikan pengaruh yang berbeda.
Inilah yang harus dipahami oleh semua orang, khususnya para pelaku budidaya broiler bahwa harus menggunakan standar yang sesuai jika tidak mampu mengikutinya, apa yang menjadi kendalanya dan bagaimana solusinya. Jika orang lain mampu mengikuti perubahan atau mampu menerapkan standar performa yang sesuai dengan kemampuan genetik ayam yang mereka pelihara, maka yang tidak mampu akan semakin tertinggal dan tidak mampu bersaing. Ingat, efisiensi adalah segalanya, namun mengurangi kebutuhan ayam bukan berarti itu efisiensi.
Tulisan ini semoga menjadi motivasi agar para pelaku mampu menerapkan dan menyiapkan segala kebutuhan dalam budidaya. Sehingga mampu bertahan dan bersaing secara sehat dengan pelaku usaha yang ada dalam negeri maupun dari pelaku usaha budidaya yang ada di luar negeri yang suatu saat akan menjadi pesaing industri broiler yang ada di tanah air, sehingga kedaulatan pangan dari produk unggas mampu berjaya. TROBOS
Praktisi Peternakan