Budi Tangendjaja: Nutrisi yang Tepat dalam Pemberian Pakan Ternak

Budi Tangendjaja: Nutrisi yang Tepat dalam Pemberian Pakan Ternak

Foto: 


Tujuan pemberian pakan pada ternak seharusnya untuk menghasilkan biaya produksi hasil ternak yang serendah mungkin agar peternak mendapatkan keuntungan yang optimal dan konsumen dapat membeli produk ternak dengan harga yang lebih murah. Karena biaya pakan merupakan komponen biaya terbesar dalam memproduksi ternak, maka pengurangan biaya pakan merupakan usaha terpenting dalam mengurangi biaya produksi. Di Indonesia, biaya formula pakan memberikan kontribusi > 80 % dari biaya produksi pakan bahkan dibeberapa negara, biaya bahan baku pakan mencapai > 90 %.
 
Dengan melonjaknya harga bahan baku pakan maka biaya produksi ternak akan meningkat sesuai dengan kenaikan bahan baku pakan di dunia. Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk mengurangi biaya pakan. Kalau dilihat dari formula suatu ransum, maka biaya pakan dihitung dari penjumlahan semua komponen biaya bahan pakan baik makro maupun mikro. Dilain pihak, biaya pakan juga dapat dihitung dari penjumlahan semua biaya nutrisi yang ada di dalam formula, karena formula disusun dari bahan pakan yang dihitung untuk memenuhi kebutuhan nutrisi atai gizi dari ternak yang dituju.
 
Perubahan Kebutuhan Gizi
Sesuai dengan perkembangan genetika ternak maka kebutuhan gizi juga selalu berubah sesuai dengan hasil seleksi ternak. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan perkembangan kebutuhan kecernaan lisin dari broiler (ayam pedaging) selama hampir 40 tahun terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan lisin (yang tercerna) terus meningkat dengan membaiknya genetika broiler. Kebutuhan lisin ini akan diikuti oleh kebutuhan asam amino lain sesuai dengan proporsi terhadap lisin. 
 
Oleh karena itu, penyusunan ransum pakan harus disesuaikan dengan perkembangan genetika ayam. Formula pakan yang disusun 20 tahun lalu sudah tidak dapat dipakai patokan lagi, bahkan rekomendasi perusahaan pembibitan broiler seringkali direvisi atau dikoreksi dalam kurun waktu 2-4 tahun. Nutritionis harus selalu mengikuti perubahan-perubahan ini dalam rangka menyusun ransum secara tepat sesuai dengan kebutuhan gizi dari ternak. Tidak hanya dari sisi asam amino, perubahanpun terjadi untuk kebutuhan energi metabolis untuk broiler yang kurang responsif terhadap kandungan energi pakan terutama pada awal pertumbuhan. Padahal untuk saat ini biaya energi lebih mahal dibanding protein (asam amino), sehingga untuk menghasilkan broiler dengan biaya terendah, maka penyusunan ransum broiler perlu diperhatikan lebih seksama.
 
Kebutuhan gizi yang berubah juga dilaporkan pada layer (ayam petelur) modern. Makin tingginya produksi telur dan persistensi produksi yang lama (sampai 100 minggu) disatu pihak, tetapi dilain pihak ayam petelur yang makin awal mulai produksinya dengan berat badan yang makin kecil dan konsumsi yang makin sedikit mengakibatkan kebutuhan gizi yang makin tinggi. Dilaporkan bahwa kebutuhan asam amino meningkat 23 % dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini dikarenakan ayam makin efisien dalam menghasilkan telur. 
 
Kekurangan dan Kelebihan Zat Gizi Dalam Pakan
Melihat kenyataan di atas, maka nutritionis harus membuat pakan yang mencukupi kebutuhan gizi agar unggas dapat berproduksi secara efisien dan optimal. Kandungan gizi pakan harus disusun secara tepat jumlahnya sesuai dengan kebutuhan ternak (Precision Nutrition). Kekurangan zat gizi akan menekan produksi ternak, sedangkan kelebihan zat gizi akan meningkatkan biaya pakan. Saat ini dengan harga jagung dan minyak yang relatif mahal yang merupakan sumber energi bagi unggas, maka biaya 100 kcal energi lebih mahal dari 1 % protein. 
 
Kelebihan gizi dalam pakan disamping mempengaruhi biaya produksi hasil ternak (daging atau telur) juga dapat memberikan pengaruh negatif bagi ternak. Sebagai contoh kelebihan protein (asam amino) dalam ransum akan dimetabolisme oleh ternak dan dikeluarkan dalam bentuk asam urat yang kemudian berubah menjadi amonia. Senyawa amonia yang terlalu tinggi dalam kandang akan memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan ternak. Kelebihan energi dalam ransum petelur akan mengakibatkan ayam petelur menjadi gemuk dengan timbunan lemak, dan akan mempengaruhi produksi telur pada umur tuanya atau fase produksi akhir.
 
Disamping kelebihan gizi dalam pakan, kecernaan pakan dapat juga mempengaruhi kesehatan usus yang pada akhirnya mempengaruhi penyerapan zat gizi dan produksi ternak. Bahan pakan seringkali mempunyai kecernaan yang berbeda, ada bahan pakan yang sulit dicerna sehingga hanya sebagian zat gizi yang diserap oleh usus. 
 
Terlalu banyak komponen bahan pakan yang tidak dapat dicerna dapat mendorong berkembangnya bakteri yang tidak diinginkan dalam saluran usus seperti Clostridium perfringens yang mengakibatkan Necrotic Enteritis (NE). Gambar 2 dari Aviagen (2022) menunjukkan penggelembungan usus dengan dinding yang tipis dan mudah rusak, akibat pembentukan gas dari pertumbuhan Clostridium. Kotoranpun menjadi lebih cair. Oleh karena itu, dalam penyusunan ransum unggas, disamping jumlah zat gizi yang tepat, juga pemilihan bahan baku yang lebih mudah dicerna agar mengurangi zat gizi yang tersedia dalam saluran pencernaan akhir dan mengurangi ketersediaan zat gizi untuk pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki. Untuk memperbaiki kecernaan ini seringkali penambahan enzim yang sesuai dapat mengurangi permasalahan ini.
 
Penyusunan Ransum
Kebutuhan gizi ternak akan berubah dengan bertambahnya umur. Dari segi kepadatan gizi, ternak berumur muda akan membutuhkan kandungan gizi terutama asam amino yang lebih tinggi dibanding ternak yang makin tua. Gambar 3 di bawah ini menunjukkan penurunan kandungan zat gizi dalam ransum babi ketika babi tumbuh makin besar. Idealnya pemberian pakan mengikuti kebutuhan gizi ternak secara linier menurut garis, tetapi secara praktis hal ini sulit dilaksanakan karena harus merubah formula ransum setiap hari. Maka dari itu, ransum harus dibuat secara bertahap, dalam gambar ini ditunjukkan ransum 4 tahap (starter, grower 1, grower 2 dan finisher). Dalam pemberian ransum secara bertahap, akan terjadi periode yang kelebihan dan kekurangan gizi, tetapi perubahan ini tidak terlalu menyimpang dari kebutuhan gizi yang sesungguhnya. Beberapa peternak di negara maju membuat sedikitnya 6 jenis ransum untuk tahapan berbeda, bahkan ada yang menggunakan 8 tahapan.
 
Makin banyak tahapan pemberian pakan maka biaya produksi akan makin kecil seperti dikemukakan dalam gambar 4. Seperti halnya hukum ekonomi “Law Diminishing Return”, pengurangan biaya pakan akan sangat nyata pada awal penambahan fase pemberian pakan dan pengurangan makin kecil dengan makin banyaknya penambahan jumlah fase pemberian pakan. 
 
Pemilihan jumlah tahapan atau fase dalam pemberian pakan akan tergantung dari biaya yang harus dikeluarkan akibat kelebihan gizi dan kemampuan praktisnya di lapangan. Di peternakan ayam petelur yang terintegrasi di Pennsylvania, ransum petelur saat produksi yang digunakan disesuaikan (adjust) setiap 6 minggu, sehingga jenis ransum yang digunakan dalam 1 siklus produksi telur dapat lebih dari 15 jenis. Dilaporkan dengan cara ini, maka penyediaan gizi bagi ternak dapat dilakukan secara lebih tepat lagi sesuai dengan kebutuhan ternaknya dan lebih efisien dalam biaya produksi pakan. 
 
Kandungan Gizi Pakan Sesuai Dengan Konsumsi
Berbeda dengan broiler yang diharapkan agar ayam terus menerus makan sebanyak mungkin agar tumbuh secepat mungkin, pada ayam petelur dan juga babi, kebutuhan gizi seringkali dihitung harian atau jumlah zat gizi yang masuk ke dalam tubuh ternak setiap harinya. Dengan pertimbangan ini, maka kandungan gizi dalam ransum akan dihitung dari kemampuan ternak mengkonsumsi pakan setiap harinya. Jika ayam petelur mampu mengkonsumsi pakan lebih tinggi, maka kandungan zat gizi dalam ransum dapat dikurangi secara proporsional. Sebaliknya jika ayam tidak mampu makan banyak (misalnya akibat cuaca panas) maka kepadatan zat gizi dalam ransum harus ditingkatkan agar setiap harinya zat gizi yang masuk ke dalam tubuh ayam cukup jumlahnya untuk berproduksi.
 
Konsumsi pakan ternak dalam suatu lokasi akan dipengaruhi berbagai faktor seperti suhu ruangan, ventilasi udara, kesehatan ternak, bentuk dan partikel pakan (misalnya pellet), tata laksana pemeliharaan ternak dll. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengamatan di setiap kandang ternak untuk mengukur berapa kemampuan ternak mengkonsumsi pakan setiap harinya. Konsumsi harian suatu kandang dapat berbeda dengan kandang lainnya meskipun ayam umurnya sama. Berdasar konsumsi pakan ini maka dapat disusun formula pakan dengan kandungan gizi yang tepat sesuai kebutuhannya.
 
Safety Margin
Beberapa formulator pakan seringkali menambahkan kandungan gizi yang melebihi kebutuhan ternaknya. Hal ini dilakukan sebagai pengaman karena kualitas atau kenyataan pemberian pakan yang bervariasi di lapangan. Penambahan kandungan gizi sebagai pengaman ini disebut “safety margin”. Jumlah gizi yang dilebihkan akan tergantung dari keyakinan masing-masing nutritionis atau formulatornya. Nutritionis yang kurang yakin akan kualitas bahan baku yang digunakan atau proses produksi pakan yang dapat bervariasi maka akan menambahkan safety margin yang makin besar. Safety margin dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu menambahkan kandungan gizi dalam ransum atau mengurangi kandungan gizi bahan pakan yang digunakan untuk menyusun ransum. Kedua cara ini akan menimbulkan biaya tambahan bagi pakan yang diproduksi karena kelebihan gizi seringkali mempunyai biaya. Saat ini biaya nutrisi yang paling besar adalah energi, berikutnya asam amino (protein) dan yang ketiga adalah ketersediaan fosfor. 
 
Apabila suatu pabrik pakan mempunyai sistem pengendalian mutu (quality control) yang handal dan memadai maka, safety margin dapat dikurangi bahkan dengan penerapan sistem Inline Quality Measurement atau kontrol, maka safety margin dapat dihilangkan dan kandungan gizi pakan akan semakin tepat untuk memenuhi kebutuhan ternaknya. Hal ini merupakan tantangan sendiri bagi nutritionis atau formulator pakan. 
 
Pencemaran Lingkungan
Formulasi pakan ternak saat ini tidak hanya mempertimbangkan ketepatan kandungan nutrisi sesuai dengan kebutuhan ternak saat berproduksi tetapi juga harus mempertimbangkan dampak lingkungan yang diakibatkannya. Seperti dijelaskan di atas, kelebihan protein dapat meningkatkan kandungan amonia dalam kandang, tidak hanya itu kelebihan protein pakan juga akan meningkatkan ekskresi (pengeluaran) senyawa nitrogen dalam kotoran. Di negara yang kepadatan ternaknya tinggi seperti Belanda atau negara Skandinavia, jumlah nitrogen dalam kotoran ternak harus dibatasi jumlahnya karena kelebihan nitrogen dalam kotoran yang nantinya digunakan untuk pupuk dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, formulasi ransum saat ini dikerjakan dengan menurunkan jumlah protein dalam pakan tetapi tetap mempertahankan kandungan asam amino yang diperlukan untuk ternaknya. Bahkan banyak formulasi pakan dilakukan dengan tanpa membatasi kandungan proteinnya seperti yang dianjurkan dalam NRC (2012) untuk babi atau formulasi pakan ayam petelur. Penurunan protein dalam pakan disamping mengurangi biaya pakan, juga mengurangi pencemaran lingkungan ketika kotoran ternak dimanfaatkan. 
 
Pencemaran lingkungan yang kedua adalah dengan banyaknya kandungan fosfor di dalam kotoran. Kelebihan fosfor dalam kotoran akan didenda oleh pemerintahnya karena fosfor juga dapat mengalir ke sungai dan menimbulkan pencemaran misalnya menimbulkan “algae bloom” atau tumbuhnya ganggang yang berlebihan dalam perairan. Pengurangan fosfor dalam kotoran dapat dilakukan dengan memanfaatkan fosfor dalam ransum lebih efisien lagi misalnya dengan penambahan enzim fitase sehingga penambahan sumber fosfor dalam formula ransum dapat dikurangi. Hal ini mempunyai dampak positif disamping mengurangi biaya pakan, tetapi juga mengurangi pengeluaran fosfor dalam kotoran ternak yang pada akhirnya memperbaiki lingkungan.
  
Saran dalam penyusunan ransum
1. Penyusunan ransum harus dikerjakan dengan formula yang tepat, dimana kandungan gizi yang dibuat harus tepat sesuai dengan kebutuhan ternak di kandang agar dapat berproduksi secara optimal dengan biaya terendah. Nutritionis harus menentukan dan menghitung dengan seksama agar tidak terjadi kelebihan kandungan gizi dan juga tidak kekurangan agar produksi dapat maksimal.
 
2. Penyusunan ransum agar mempertimbangkan kecernaan masing -masing bahan baku pakan, agar zat gizi yang tidak dicerna oleh enzim pencernaan tidak menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri yang tidak dikehendaki seperti Clostridium perfringens yang menyebabkan enteritis dan kotoran basah. Bilamana perlu, penggunaan enzim disarankan, tetapi harus sesuai dengan target substrat yang akan dicerna oleh enzim tersebut.
 
3. Formulasi ransum juga sudah harus mempertimbangkan lingkungan akibat terlalu banyak senyawa nitrogen dan fosfor dalam kotoran. Tdiak hanya sampai disini, ke depannya formulasi juga akan memperhitungkan nilai tapak karbon (carbon footprint) dalam rangka mencapai produksi ternak yang berkelanjutan. Pemilihan bahan baku dan penggunaan energi dalam memproduksi pakan dan juga ternak harus ditujukan untuk selalu mengurangi nilai tapak karbon. Jadi formulasi pakan tidak hanya ditujukan untuk menghasilkan biaya produksi hasil ternak yang serendah mungkin tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan (sustainability) untuk alam dan planet bumi ini. TROBOS
 
 
Pakar Nutrisi dan Teknologi Pakan

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain