Foto: Istimewa
Sebagai material organik yang mengandung banyak nutrisi, limbah kotoran ini harus dikelola dengan baik agar tidak mengundang lalat sekaligus menimbulkan ancaman berbagai penyakit di kandang
Dalam usaha peternakan unggas, baik broiler (ayam pedaging) dan layer (ayam petelur) limbah feses atau kotoran ayam masih menjadi salah satu permasalahan peternak terutama bagi lingkungan sekitar. Manajemen yang baik sangat diperlukan agar tidak mengganggu aktivitas beternak baik di farm maupun lingkungan sekitarnya.
Dikatakan Amien Makruf peternak broiler dan layer di Pemalang, Jawa Tengah dalam manajemen limbah feses untuk broiler dan layer sedikit berbeda. Untuk broiler penanganannya di kandang tertutup (closed house) yang relatif selalu kering dilakukan penebaran ulang sekam di alas kandang (litter) dua hari sekali. Dalam artian, sekam basah ditimpa dengan sekam baru atau kering sehingga kualitas litter selalu terjaga kering. Bilamana ada feses yang basah akibat faktor misalkan ada tempat air minum yang tumpah atau nipel yang bocor maka dilakukan treatment dikelupas litter-nya untuk ditarik keluar. “Setelah ayam panen baru litter dikeluarkan semuanya,”ucapnya.
Untuk layer di open house (kandang terbuka), pengerukan limbah feses dilakukan setiap 3 hari sekali. Untuk yang kering dimasukkan ke karung dan yang masih basah dijemur terlebih dahulu. “Itu dahulu saya lakukan ketika kandang layer masih open house, kalau sekarang karena sudah closed house hanya menunggu kering baru dimasukkan ke karung. Feses di closed house lebih cepat kering dibandingkan open house,” ungkapnya.
Tim Technical Education and Consultation Poultry Management PT Medion Farma Jaya (Medion), Suhut berpendapat bahwa feses yang basah bisa dicegah dengan metode pembalikan sekam/litter yang dilakukan setiap 2 – 3 hari sekali atau dengan pengerukan dan penggantian sekam/litter yang dilakukan setiap seminggu sekali. Hal ini dilakukan untuk mencegah meningkatnya kadar amonia di dalam kandang. Pada kandang tertutup pengaturan ventilasi yang tepat akan membantu dalam menjaga kondisi litter dan feses dalam kondisi kering.
Feses dapat dikeluarkan dari kandang secara manual maupun secara otomatis. Pada layer closed house dapat menggunakan sistem manure belt dan manure scrapper. Dengan adanya belt, maka feses tidak akan jatuh ke kandang baterai yang berada di bawahnya karena ada belt yang menampung feses tersebut.
Setiap hari atau per 2 hari, belt akan mengumpulkan feses ke bagian belakang kandang untuk selanjutnya dikeluarkan dari kandang. Dengan demikian amonia di dalam kandang akan lebih terkendali. Sedangkan model manure scraper akan membersihkan dan mengumpulkan feses dengan menyapu atau mendorong dengan alat pengeruk. “Feses yang telah dikeluarkan dari kandang perlu ditempatkan di lokasi yang berjauhan dari daerah peternakan dan pemukiman. Apabila tidak dilakukan pengolahan atau dijual sebagai pupuk kandang, selanjutnya feses dimasukkan ke dalam lubang dan ditutup,” terangnya.
Untuk pemeliharaan ayam petelur di kandang baterai atau panggung, sebaiknya peternak membersihkan feses secara periodik, misalnya satu minggu sekali. Peternak layer juga bisa memasang amben (para-para) untuk membantu pengeringan feses ayam yang jatuh ke kolong kandang. Amben adalah tempat penampungan sementara feses ayam sebelum jatuh ke tanah. Amben dibuat dari bilah bambu, dipasang 90-100 cm di atas tanah dasar kolong. Mekanismenya, feses dibiarkan berada di amben selama seminggu. Setelah itu amben dibalik sehingga feses yang hampir kering jatuh ke dasar kolong. Feses ayam dari amben tidak otomatis jatuh saat dibalik sehingga perlu digaruk dengan sekop terlebih dulu. Meski amben tidak 100 % menghilangkan keberadaan larva dari feses, tetapi amben sangat membantu mengeringkan feses ayam.
Sedangkan pemeliharaan ayam pedaging di kandang postal litter atau panggung, umumnya sebagian peternak memilih membiarkan feses ayamnya hingga satu periode. Sedangkan pada kandang panggung dibuat konstruksi kolong kandang yang lebih tinggi. Kolong kandang yang tinggi akan menghasilkan feses lebih cepat kering dibandingkan kolong kandang yang konstruksinya pendek. Hal ini karena sirkulasi udaranya lebih baik dan jangkauan sinar matahari ke kolong kandang juga bagus.
Rustono Technical Manager PT Vaksindo Satwa Nusantara (Vaksindo) menyampaikan, limbah feses yang sudah dikeluarkan dari farm sebaiknya sudah dikarungi dan segera dijauhkan dari kandang atau dikumpulkan di tempat pengolahan limbah, karena larva yang berada di feses masih bisa berkembang menjadi lalat. Untuk menghasilkan pupuk dengan kualitas yang bagus sebaiknya feses tidak tercampur dengan material lain, mengandung sekam dengan jumlah sedikit. “Penambahan bakteri pengurai akan mempercepat fermentasi sehingga feses akan cepat menjadi kompos,” ujarnya.
Feses Lebih Baik Kering
Feses lebih baik dalam keadaan kering karena apabila dalam keadaan basah maka akan meningkatkan pembentukan gas amonia. Hal tersebut mengakibatkan lingkungan kandang menjadi lebih bau dan dapat menjadi masalah kesehatan. “Feses yang basah akan menjadi tempat berkembang biak lalat sehingga mendatangkan lalat dalam jumlah lebih banyak,” ujar Suhut.
Feses yang basah (wet dropping) atau diare dapat disebabkan oleh faktor infeksius dan non infeksius. Faktor infeksius disebabkan karena adanya infeksi penyakit seperti necrotic enteritis, koksidiosis dan colibacillosis yang menyebabkan ayam diare. Sedangkan faktor non infeksius disebabkan karena kesalahan manajemen pemberian pakan. Pakan yang mengandung protein dan garam dalam kadar tinggi dapat mengganggu keseimbangan elektrolit dalam tubuh sehingga feses menjadi lebih basah. Kadar garam yang tinggi akan memicu peningkatan konsumsi air sehingga ayam menjadi diare. Demikian halnya dengan kadar protein yang terlalu tinggi, sisa protein yang tidak tercerna dapat menyebabkan timbunan asam urat dalam ginjal yang memicu ayam minum lebih banyak.
Kondisi lingkungan yang panas sehingga ayam mengalami heat stress (stres panas) juga dapat membuat kondisi feses menjadi lebih encer. Pada saat kondisi kandang panas, kebutuhan air minum ayam akan meningkat tajam. Apabila dalam suhu normal perbandingan kebutuhan air : pakan adalah 2 : 1, sedangkan pada kondisi panas dapat mencapai 5 : 1. Ayam secara alami akan menambah konsumsi minumnya untuk menurunkan suhu tubuh. Efek yang dapat ditimbulkan dari hal ini adalah feses menjadi lebih berair.
“Penyebab feses basah lainnya bisa diakibatkan karena pengaturan sirkulasi udara di dalam kandang yang tidak tepat. Kecepatan udara yang rendah akan menyebabkan kelembapan udara tidak langsung terbuang keluar dan akan tertangkap oleh litter maupun feses. Hal tersebut mengakibatkan litter atau feses menjadi lembap atau basah. Limbah feses yang sudah terlalu basah juga menandakan bahwa kondisinya sudah tidak normal dan perlu segera ditangani. Cara mengukur kadar air dari feses dapat menggunakan alat moisture meter,” paparnya.
Sementara Amien menuturkan, feses kering mengindikasikan ayam sehat, tidak menimbulkan aroma bau yang menyengat dan tidak mengundang lalat. Sementara kalau basah nanti menghasilkan gas amonia yang tinggi di kandang dan menjadi media berbagai macam penyakit serta ayam tidak nyaman dan rentan sakit. Selain faktor nutrisi, feses ayam yang tidak normal biasanya ada gangguan di saluran pencernaan.
Konstruksi kandang pun sangat berpengaruh karena dengan sirkulasi udara yang baik dapat meminimalisir dampak negatif dari limbah feses. Pada kandang tertutup dengan sistem ventilasi yang mengalirkan angin secara konstan dapat membantu kotoran akan lebih cepat kering. Oleh karena itu, harus diatur kualitas udara di angka ideal sehingga akan menjaga kualitas litter selalu kering dan pemeliharaan kesehatan ayam agar tidak mengeluarkan feses basah atau terindikasi penyakit.
Ia mengatakan, menggunakan closed house lebih mudah dalam melakukan manajemen limbah feses dibandingkan dengan open house baik untuk broiler ataupun layer. Feses di kandang terbuka akan cukup berisiko tinggi terhadap performa ayam karena disebabkan faktor eksternal seperti ketika curah hujan tinggi. Air hujan yang masuk ke kandang akan membasahi feses, namun jika kandang tertutup akan aman air hujan dari luar. “Penanganan limbah feses di open house biasanya sering dikeruk dan dibalikkan karena relatif lebih basah kotorannya sehingga memakan banyak tenaga bagi peternak,” urainya.
Keberadaan Lalat
Keberadaan lalat dalam jumlah besar dapat menyebabkan stres pada ayam, bahkan secara drastis dapat mengurangi konsumsi pakan pada ayam. Sehingga akan berdampak pada menurunnya produksi daging dan telur. Lalat sebagai serangga yang mengalami metamorfosis sempurna, yakni fase hidup yang memiliki bentuk berbeda pada setiap fasenya. Hal tersebut disampaikan Customer Care and Veterinary Service PT Farmsco Feed Indonesia, Arya Bagaskara Putra.
Ia mengatakan, siklus hidup lalat dimulai saat lalat dewasa menelurkan telurnya pada media yang dianggap cocok, dimana kelembapan berada pada kisaran 70 – 90 % dan suhu pada 25 – 27 °C. Sementara itu, kotoran ayam memiliki tingkat kelembapan 75 – 80 % sehingga sangat ideal untuk lalat meletakkan telurnya.
“Hal itu juga yang menyebabkan lalat sangat suka berada di kandang, karena media kotoran ayam itu sendiri merupakan material organik yang mengandung banyak nutrisi. Sehingga telur yang akan dihasilkan dapat segera berkembang karena suhu dan kelembapan medianya sesuai dengan kebutuhannya,” jelasnya.
Proses perkembangan lalat terbilang sangat cepat, dimana telurnya dapat menetas hanya dalam 8 – 16 jam pada kondisi yang ideal. Pada kurun waktu 8 jam, akan mencapai fase larva yang terdiri dari 3 fase yaitu fase 1, 2, dan 3. Dalam proses perkembangannya, larva akan memakan nutrisi dari material organik yang ada dalam kotoran ayam. Selanjutnya, pada 3 – 7 hari, larva akan memasuki fase pupa yang membentuk selubung menutupi badannya untuk bermetamorfosa sebagai lalat dewasa. Pada fase ini dibutuhkan waktu 2 – 10 hari tergantung dengan kondisi yang ada.
“Lalat dewasa ini memiliki daya tahan hidup 3 – 4 minggu. Setiap lalat dewasa dapat menghasilkan telur minimal 150 butir dalam 3 – 4 harinya. Dengan kondisi cuaca dan iklim di Indonesia yang memiliki suhu dan kelembapan yang sangat ideal untuk perkembangan lalat, maka lalat akan berkembang dengan sangat cepat. Ketika musim hujan tiba tentu pertumbuhan lalat akan semakin cepat,” jabarnya.
Pada kandang layer, jenis lalat yang paling sering ditemukan yakni Musca domestica atau bisa disebut lalat rumahan. Juga Chrysomya megacephala, yang merupakan lalat bangkai dimana lalat ini tumbuh menaruh telurnya tidak di kotoran ayam, namun di bangkai.
Menurutnya, sifat lalat yang menempel maupun memakan kotoran juga sisa-sisa makanan tentu dengan mudahnya akan membawa penyakit yang menempel pada permukaan tubuhnya. Terlebih lalat mampu menjangkau area kandang hingga 3 km, terlebih jika kandang yang digunakan adalah open house. Maka lalat dapat menjadi salah satu vektor penyakit yang sangat mematikan bagi unggas seperti Newcastle Disease, Avian Influenza, Escherichia coli, Staphylococcus, Salmonella, hingga telur cacing.
Selengkapnya baca di Majalah TROBOS Livestock Edisi 276/Seprtember 2022