Prof Ali Agus: Bapanas dan Panca Krida Kedaulatan Pangan

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66/2021, Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau National Food Agency (NFA) diberi tugas menjalankan fungsi pemerintahan pada bidang pangan. Sebagaimana dijabarkan pada pasal 3, Bapanas menjalankan fungsi koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, dan keamanan pangan. 
 
Pasal berikutnya menyebutkan Bapanas menjalankan fungsi koordinasi pelaksanaan pada hal-hal detail di atas. Kemudian melaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang pangan. Selanjutnya, melaksanakan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan di bidang pangan. Tak kalah penting, Bapanas juga memikul tugas pengembangan sistem informasi pangan nasional. Adapun komoditas yang berada dalam tanggungan Bapanas adalah beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.
 
Superbody
Melalui beleid itu, dapat dipahami, sebagai lembaga setingkat menteri – namun dengan kewenangan khususnya, Bapanas diperkenankan mengkoordinasikan berbagai kementerian. Badan ini bekerja secara sistemik dengan pendekatan struktural. Bekerja pada level yang sangat konseptual namun pada saat tertentu dapat mengambil kebijakan sangat teknis. Maka status sebagai superbody layak disematkan padanya. Karena diapun juga harus mampu menghubungkan kebuntuan koordinasi antar lembaga yang memiliki tugas terkait pangan, melumasi kinerja mereka yang seret, dan membobol semua bottleneck. 
 
Seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Sosial (terkait bantuan pangan), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan (tol laut, kapal ternak, eliminasi hambatan distribusi karena regulasi angkutan), Kementerian Kesehatan (rawan pangan dan rawan gizi), dan Badan Pertanahan Nasional juga pemerintahan daerah. Sebagai operator lapangan atas keputusan teknis Bapanas dapat menggunankan “tangan” Bulog, BUMN Pangan (RNI, Berdikari, dll), Satgas Pangan, dan bahkan kelembagaan peternak (asosiasi, koperasi, dan lain-lain).
 
Maka status superbody itu diharapkan akan efektif untuk melindungi – menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan bangsa yang diproduksi oleh industri komoditas sehingga tidak lagi rentan terhadap goncangan pasokan, permintaan, dan harga. Realitanya, hampir semua produksi komoditas unggulan nasional, memiliki kapasitas besar pada produksi namun rentan usikan, rapuh pada struktur niaga dan rantai pasok terlebih pada rantai nilainya. Sehingga solusi praktis, jangka pendek melalui gerak cepat namun powerfull Bapanas tentu akan sangat dinantikan oleh masyarakat konsumen dan produsen pangan. Tanpa mengesampingkan pentingnya Bapanas merancang ulang sistem terkait hal itu secara lebih tertata. 
 
Sebagai contoh, status Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia tidak sertamerta membuat pasokan dalam negeri bebas dari ancaman kekurangan dan melambungnya harga minyak goreng. Dan sayangnya lagi, harga minyak goreng yang tinggi tidak selalu menghasilkan keuntungan bagi petani sawit, karena belum tentu harga tandan buah sawit segar sertamerta ikut terkerek. Bahkan, saat itu perlu tenaga yang sangat besar bagi pemerintah untuk menstabilkannya. Pun dengan ending yang zero sum game, menghadapi integrator sawit. Karena justru pada akhirnya operator negara harus memobilisasi Rp 3,6 triliun melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk subsidi. 
 
Satu lagi, nuansa surplus produksi live bird (ayam hidup) broiler (ayam pedaging), tidak (belum) membuahkan sukacita sebagai negeri swasembada daging ayam karena justru dianggap menjadi biang kerok yang menyebabkan harga panen yang diterima peternak terjerembab berkepanjangan. Padahal negeri tetangga pun sebenarnya sedang mengeluh kekurangan pasokan daging ayam.
 
Harapan Besar
Melalui dua contoh itu, penulis tidak bermaksud mengusulkan solusinya, namun hendak mengungkapkan harapan besar kepada superbody baru bidang pangan ini. Menggarisbawahi beberapa aspek tentang pangan yang harus dipahami dan dijaga oleh Bapanas, yaitu pangan sebagai kebutuhan paling azasi sehingga menjadi kunci hidup/matinya bangsa dan pangan sebagai salah satu sumber inflasi. Maka Bapanas harus mengamankan produksi dan stok pangan, distribusi, keterjangkauan harga bagi konsumen, dan mengamankan profit produsen pangan.
 
Di sini pentingnya kepemimpinan Bapanas menerjemahkan berbagai aspek tentang pangan itu, menginternalisasikan perannya untuk ketersediaan, kecukupan, kemerataan, keterjangkauan bagi konsumen dan kesejahteraan petani/peternak yang ujungnya nanti adalah ketahanan pangan bahkan kedaulatan pangan bangsa yang sedang dan akan terus diperjuangkan. 
 
Bapanas yang kuat, luas tugas dan kewenangannya itu, sekali lagi, menjadi harapan besar untuk membangun kedaulatan pangan. Terlebih sudah limabelas tahun gagasan mengenai jihad kedaulatan pangan dalam makna negara dan bangsa ini disampaikan penulis. Kedaulatan pangan adalah janji suci dalam berbangsa yang secara akal sehat pantang untuk dilanggar. Berdaulat pangan adalah salah satu ukuran dan komponen tak terpisahkan dari kedaulatan negara. Upaya mencapai kedaulatan pangan, diterjemahkan melalui Panca Krida Kedaulatan Pangan Nusantara. 
 
Panca Krida
Krida yang pertama adalah komitmen politik yang kuat untuk melindungi bangsa dan negara dalam membangun kedaulatan pangan melalui sinergi kebijakan pangan. Mencukupi kebutuhan pangan yang cukup kuantitas dan kualitasnya, tersebar secara merata dengan harga terjangkau ke seluruh pelosok tanah air Indonesia adalah merupakan komitmen yang tidak boleh di tawar baik dari level Presiden hingga di tingkat desa bahkan dusun. 
 
Krida kedua adalah optimalisasi pemanfaatan lahan dan air untuk produksi pangan. Optimalisasi lahan dimulai dari kepastian hukum dan keberpihakan secara politik pada tata ruang dan lahan untuk produksi pangan dalam hal ini pangan asal ternak yang dihasilkan oleh usaha peternakan. Selain itu, berkaca dari politik agraria negara-negara berkembang yang memiliki agroindustri maju, Brazil, dan Argentina misalnya. Mereka melakukan pembagian RTRW, termasuk lahan bekas pengusahaan hutan dengan porsi lahan pertanian dan peternakan secara detail dan proporsional. Mereka menyadari pertanian merupakan juga penghasil bahan pakan untuk produksi daging dan telur, dan sebaliknya peternakan menghasilkan pupuk organik untuk lahan pertanian. (Ali Agus: Pembiayaan Peternakan Zonder Kepastian Lahan, Opini TROBOS Livestock Ed. Maret 2019).
 
Ketiga, pemandirian proses produksi pangan termasuk bibit, pupuk, pakan, obat-obatan (untuk tanaman dan ternak) dan infrastruktur pendukung produksi pangan. Pemandirian ini mengisyaratkan afirmasi kepada petani, peternak, dan produsen pangan dalam negeri. Termasuk di dalamnya, mendorong peternak melakukan efisiensi produksi live bird broiler dan telur ayam ras. Perlu dorongan kepada pelaku usaha perunggasan untuk meningkatkan efisiensi baik yang terkait pakan, bibit, budidaya, dan sarana prasarana pendukungnya. Kesadaran bahwa perunggasan harus hidup bersama-sama ditumbuhkan dengan akurasi data, transparansi, dan penegakan aturan. Efisiensi di segmen pembesaran/produksi live bird digenjot dengan aplikasi teknologi dan sistem budidaya di dalam closed house (kandang tertutup). (Ali Agus: 'Amukti Palapa' Perunggasan Broiler Nasional, Kolom, TROBOS Livestock Ed. September 2019).
 
Demikian pula hilirisasi perunggasan broiler melalui penegakan aturan rasio populasi dengan kewajiban membangun rumah potong unggas juga harus dipertajam. Selanjutnya diikuti dengan penambahan terus menerus kapasitas penyimpanan dingin (cold storage) dalam rantai dingin sebagai buffer suplai dan pengolahan lanjut. (Ali Agus : Intervensi dan Penegakan Aturan Perunggasan, Opini, TROBOS Livestock Ed. Mei 2018). Pada layer (ayam petelur), hilirisasi melalui pengolahan lanjutan telur (further processing) juga seyogyanya segera dibangun untuk memperluas pasar telur dan mengantisipasi pertumbuhan produksi telur. (Ali Agus : Kontemplasi Perunggasan Indonesia, Analisis, TROBOS Livestock Ed. Agustus 2016). 
 
Krida keempat, pembudayaan pola pangan nusantara. Meliputi jenis bahan pangan dan jenis olahan yang sangat beragam, yang harus tetap dijaga disesuaikan dengan potensi daerahnya. Adapun yang kelima, penguatan kelembagaan dan jaringan pangan nusantara. TROBOS
 
 

 

Ketua Badan Kejuruan Teknik (BKT) Peternakan – Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
Ketua DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia – DI Yogyakarta
 
 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain