Foto:
Memasuki Oktober 2022, harga ayam hidup (live bird) dan telur ayam di tingkat peternak kembali jatuh pada titik terendah. Kejatuhan harga kali ini menyerupai kejatuhan harga pada pertengahan 2021, yang memicu unjuk rasa peternak mandiri dan peternak rakyat lain. Harga terendah live bird versi Pinsar di Jawa pada 22 Oktober 2022 tercatat hanya Rp 14.500 per kg dan harga telur ayam di tingkat peternak Rp 23.500 per kg, membuat para peternak harus menahan napas dan memperbaiki lagi manajemen produksinya. Sedangkan harga eceran daging ayam dan telur di tingkat konsumen nyaris tidak banyak berubah, stabil tinggi yang bahkan berkontribusi pada laju inflasi. Data harga daging ayam versi PIHPS Bank Indonesia pada 21 Oktober 2022 tercatat Rp 33.700 per kg dan harga telur di konsumen tercatat Rp 28.350 per kg. Dengan kata lain, marjin dan biaya kumulatif dari rantai nilai ayam cukup lebar, yaitu Rp 19.200 per kg untuk daging ayam dan Rp 4.500 per kg atau tidak terlalu lebar untuk telur.
Disparitas tinggi antara harga peternak dan harga konsumen menjadi salah satu faktor penghambat tingkat konsumsi produk unggas, khususnya daging ayam, sebagai sumber protein murah bagi segenap lapisan masyarakat. Pemerintah menghadapi tantangan besar untuk memulihkan konsumsi daging dan telur, setelah Indonesia dihantam Pandemi Covid-19, yang menurunkan daya beli. Di luar musim Pandemi, harga daging ayam (karkas) biasanya cukup stabil, terutama selama 4 tahun terakhir. Para stakeholder pun sebenarnya sudah paham jika harga daging dan telur ayam cederung tinggi pada sekitar Idul Fitri, Idul Adha dan Tahun Baru, sebagai refleksi dan permintaan yang naik.
Berkaca pada kondisi di atas, perlu strategi menuju industri perunggasan yang berdaya saing dan lebih tangguh. Pertama, kinerja konsumsi dan produksi daging dan telur ayam dianalisis dalam konteks perjalanan historis industri perunggasan yang penuh dinamika. Opsi solusi dua sisi: konsumsi dan produksi daging dan telur ayam dan strategi integrasi horizontal akan ditawarkan untuk memperkuat strategi pembangunan industri perunggasan yang berdaya saing tersebut.
Perjalanan Industri Perunggasan
Di dalam literatur, perjalanan industri perunggasan berkembang mengikuti fenomena revolusi peternakan (livestock revolution) yang lebih banyak didorong peningkatan pendapatan konsumen. Bahkan, di awal perkembangannya pada era 1980an, peran pemerintah pada sektor perunggasan tidak terlalu besar, dibandingkan misalnya dengan intervensi pada industri beras. Industri perunggasan dibangun dengan prinsip-prinsip agribisnis modern, melibatkan modal besar, dengan fokus peningkatan daya saing dan efisiensi produksi, memanfaatkan teknologi pemuliaan ternak (breeding) dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan peluang bisnis yang terbuka amat lebar, industri perunggasan berkembang lebih pesat lagi sejak 1990-an, walau sempat terpuruk pada Krisis Ekonomi Asia pada akhir 1990an.
Selepas Krisis Ekonomi Asia, produk unggas berupa daging ayam dan telur telah mulai masuk pasar ekspor di kawasan Asia Tenggara pada awal 2000-an. Akan tetapi, di tengah ekspektasi yang mulai membaik, terjadi wabah flu burung atau avian influenza pada 2003-2004 yang membawa kerugian ekonomi tidak sedikit. Problema penanganan biosekuriti, kebersihan kandang yang jauh dari memadai, perdagangan unggas hidup yang terbuka, dan interaksi unggas dengan manusia yang amat intensif dan lain-lain, akhirnya menuntut peran pemerintah yang lebih besar.
Pada masa-masa sulit pemulihan wabah flu burung tersebut, Indonesia memperoleh bantuan teknis dari Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), lembaga riset peternakan internasional (ILRI), dan lain-lain. Pemerintah kemudian menerapkan sistem surveilans, yaitu pengamatan unggas harian dan peningkatan kapasitas bagi petugas peternakan di seluruh Indonesia. Peternak mandiri juga telah belajar banyak tentang biosekuriti dan kebersihan kandang, yang pasti berpengaruh cukup signifikan terhadap penjualan dan pendapatan usahanya.
Di sisi lain, investasi besar dari modal asing dan modernisasi industri perunggasan terus berlangsung karena peluang dan keuntungan ekonomi yang demikian menggiurkan. Para analis kemudian membagi empat lapis industri peternakan sesuai dengan skala usaha dan tingkat integrasi dari hulu ke hilir. Tidak mengherankan penguasaan aset, omzet pasar, dan pangsa pasar masih terpusat pada beberapa pelaku industri kelas pemodal besar. Isu integrasi pasar vertikal menjadi kerumitan tersendiri dengan fenomena status integrator.
Saat ini, terdapat 3,11 mililar ekor populasi ayam pedaging (broiler) dan menghasilkan produksi daging 3,4 juta ton pada 2021. Jumlah populasi itu merupakan kenaikan 6,43 % dari populasi 2,92 miliar ekor dan kenaikan 6,5 % dari produksi 3,2 juta ton pada 2020. Produksi telur layer (ayam petelur) tercatat 5,16 juta ton pada 2021 atau terdapat kenaikan sedikit 0,2 % dari produksi pada 2020. Mirip dengan kejadian ayam pedaging, harga telur di peternak sering berfluktuasi, dibanding harga telur di konsumen. Harga telur di tingkat konsumen naik tinggi pada Juli 2022 dan sempat merisaukan karena memberikan tekanan tersendiri terhadap laju inflasi. Di 2021, harga telur di tingkat peternak anjlok parah, membuat banyak peternak layer mengalami kerugian, apalagi harga input jagung naik tinggi.
Benar, bahwa daging unggas adalah sumber protein murah, yang semakin terjangkau oleh masyarakat kelas menengah-bawah, bukan lagi merupakan barang mewah seperti dulu. Konsumsi produk unggas sekitar 70 % dari total konsumsi protein hewani, sangat dominan dibandingkan konsumsi daging dan ikan sekalipun. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), konsumsi rata-rata nasional daging ayam masih cukup rendah, yaitu 8,4 kg/kapita/tahun. Konsumsi daging unggas paling tinggi dijumpai di DKI Jakarta, yang mendekati 15 kg/kapita/tahun, yang sekaligus menggambarkan disparitas cukup tinggi.
Konsumsi nasional telur cukup naik signifikan sampai di atas 17 kg/kapita/tahun, dan menjadikan telur sebagai salah satu sumber protein hewani penting. Kandungan gizi kuning telur mencapai 54 kkal energi, 3 gram protein, dan 4,5 gram lemak. Sedangkan kandungan gizi putih telur hanya mencapai 16 kkal energi dan 3 gram protein, serta tidak mengandung lemak. Konsumsi daging dan telur ayam berperan amat strategis dalam ketahanan pangan, khususnya percepatan penurunan stunting, sebagaimana program prioritas nasional (PSN).
Pedagang pengumpul dan pedagang besar telur berperan sangat penting untuk berkontribusi pada stabilisasi harga telur, baik di tingkat peternak, maupun di tingkat konsumen. Oleh karena itu, membina dan mengelola mereka secara baik adalah sama pentingnya dengan membina dan mengelola peternak. Kota-kota besar di Indonesia menjadi barometer stabilisasi harga telur, karena berperan menyerap lebih dari 60 % telur ayam di tingkat nasional. Peternak layer telah memiliki koperasi sebagai wadah perjuangan kesejahteraannya. Penguatan koperasi primer peternak layer ini masih sangat diperlukan.
Solusi Dua Sisi: Konsumsi dan Produksi
Berikut ini adalah opsi solusi dua sisi, yaitu strategi pemulihan permintaan atau konsumsi daging dan telur ayam yang dipadukan dengan manajemen produksi dan stok untuk menjaga keseimbangan yang lebih dinamis. Solusi ini memerlukan kehadiran dan efektivitas kelembagaan pangan baru, seperti diamanatkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional.
Dalam jangka pendek, Badan Pangan perlu menugaskan BUMN Pangan (ID-Food dan Bulog) menjadi off-taker, menyerap live bird apalagi jika sedang berlebihan. BUMN pangan ini juga diharapkan mampu menyediakan DOC (ayam umur sehari) dan rantai nilai beku dan cold chain yang dibutuhkan. Badan Pangan memiliki kewenangan penuh untuk meningkatkan efektivitas kampanye makan ayam dan makan telur untuk memulihkan permintaan daging dan telur. Pada tingkat lebih strategis, Badan Pangan juga diharapkan menjadi lokomotif dan fasilitator terdepan dalam tranformasi bisnis peternakan, meningkatkan sinergi pelaku usaha, menguatkan korporatisasi, dan peningkatan nilai tambah.
Badan Pangan perlu menangangi ketahanan pangan dari hulu, tengah, dan hilir, atau dari ketersediaan, akses dan utilisasi pangan. Sektor perunggasan dapat dijadikan andalan penting dalam mencapai target-target strategis tingkat nasional. Penguatan industri peternakan akan mampu berkontribusi pada diversifikasi pangan dalam arti sebenarnya, yaitu meningkatkan gizi seimbang karbohidrat, protein, lemak, vitamin, memperbaiki pola pangan harapan (PPH).
Kementerian Pertanian, khususnya Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) perlu memperbaiki cara terobosan manajemen suplai dan stok daging dan telur ayam, terutama jika terdapat kasus khusus, yang tidak hanya berasal dari pasar, tapi dari faktor non-pasar. Kebijakan manajemen stok dan over supply melalui Surat Edaran Cutting Hatching Egg (HE) umur 19 hari dan apkir dini PS (parent stock) dapat saja diteruskan, tapi perlu dilengkapi strategi yang lebih ke jangka menengah dan panjang.
Industri perunggasan memerlukan investasi khusus dalam rantai nilai produk perunggasan dengan lebih terintegrasi dan sinergi antar pelaku, apalagi yang melibatkan peternak mandiri. Integrasi horizontal juga perlu dikembangkan untuk mendampingi integrasi vertikal yang sudah ada. Integrasi horizontal dapat di mulai dengan pendampingan kepada peternak mandiri untuk membentuk koperasi peternak atau bergabung dengan koperasi peternak yang sudah ada. Mereka memerlukan pemahaman penyegaran lagi tentang prinsip-prinsip koperasi peternak, bergotong royong, berjamaah menjadi satu kekuatan, untuk mewujudkan koperasi peternak yang tangguh. Prinsip utama dapat diterapkan, misalnya satu kabupaten, satu koperasi primer.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi perlu memfasilitasi suatu konsolidasi perusahaan pakan mandiri, parent stock mandiri, sarana-prasarana mandiri dalam suatu korporatisasi petani, dan bersinergi dengan koperasi peternak. Integrasi horizontal peternak mandiri perlu secara tegas menempatkan posisi dirinya agar mampu hidup berdampingan dengan integrator vertikal dalam membangun industri perunggasan yang tangguh, berintegritas dan berdaya saing, menembus pasar global dan berkompetisi secara sehat dan terbuka. TROBOS
Guru Besar UNILA
Ekonom Senior INDEF
Ketua Umum PERHEPI