Kamis, 1 Desember 2022

Kolaborasi di Bisnis Sapi

Kolaborasi di Bisnis Sapi

Foto: 


Inisiasi konsorsium segitiga emas yaitu Saspri, Gapoktan, dan BUMDes bisa menjadi lokomotif perekonomian pedesaan dalam meningkatkan kesejahteraan peternak/petani

 


Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) terus berkembang cukup baik di berbagai daerah di tanah air sejak pertama kali digagas Guru Besar IPB University (IPB), Prof Muladno, 9 tahun lalu. Sampai saat ini, telah dideklarasikan sebanyak 63 SPR di 25 Kabupaten di 12 Provinsi di Indonesia. Melalui keberadaan SPR ini pula telah melahirkan 19 Saspri (Solidaritas Alumni Sekolah Peternakan Rakyat Indonesia) yang telah terkonsolidasi dengan baik.
Berbagai pencapaian ini merupakan hal yang cukup menggembirakan dari sisi peternak rakyat yang merasa mendapatkan perhatian besar dalam pembangunan peternakan nasional. Seperti yang dirasakan Agus Darminto Kepala Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang Jawa Timur.

 


Menurut Agus, sejak adanya SPR pada pertengahan 2013, di desanya bermunculan usaha peternakan seperti ternak sapi dan kambing. Dalam perjalanannya, kegiatan-kegiatan SPR di desa cukup optimal.

 


Setelah itu, pada 2015 pemerintah mencanangkan BUMDes dan bersamaan dengan itu didirikan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Pemerintah desa pun mengucurkan anggaran melalui Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD) 2016 untuk kegiatan peternakan di masyarakat dengan modal awal sebesar Rp 100 juta. “SPR pun tetap eksis dan terus berjalan secara konsisten hingga saat ini sudah tergabung dengan Saspri,” jelas Agus.

 


Pengalaman yang sama disampaikan Parji, Wali Saspri, Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. SPR di daerahnya terbentuk 15 September 2014. “Budaya kami dulu menganggap, SPR itu seperti kelompok yang akan mendapat bantuan. Makanya karena tidak dapat bantuan banyak anggota yang keluar. Karena yang ditunggu mereka bantuan. Kami pernah mengalami anggota tinggal 37 orang dari 100 orang lebih. Populasi pun menurun karena anggota berkurang,” sebutnya.

 


Namun Parji bersama peternak yang lain tetap konsisten menjalankan SPR selama 4 tahun dengan mendapat pembinaan mulai dari manajemen teknis sampai usaha hingga lulus menjadi Saspri pada 2018. “Kami mengelola populasi sapi sebanyak 1.000 ekor induk dan 100 ekor jantan yang mendapat dari program pemerintah. Populasi tersebut dikelola untuk dua desa yaitu Desa Sidorejo dan Desa Drokilo Kecamatan Kedungadem,” ungkapnya.

 


Saat ini, anggota yang masih bertahan dan tergabung di Saspri sebanyak 147 orang yang tersebar di 7 kelompok. “Melalui Saspri ini, kami mendapat banyak manfaat salah satunya kucuran dana dari investor untuk pengembangan usaha,” ucapnya.

 


Ia menuturkan mempunyai mimpi bisa menjadi sebuah perusahaan peternakan dengan anggota paling tidak memiliki sapi minimal 10 ekor. “Saat ini setiap anggota rata-rata punya 3-5 ekor. Setelah dikalkulasi kalau punya 10 ekor dan tidak bertani atau bekerja sampingan dapat margin bersih Rp 10.000 x 10 ekor = Rp 100.000 per hari sudah cukup. Jadi dapur sudah “ngebul” kalau di desa. Mudah-mudahan nanti ke depan karena anggota kami sekitar 60 orang maka kalau populasi kami terpenuhi paling tidak ada sekitar 600 ekor bisa kerjasama dengan Rumah Potong Hewan di Surabaya, Jawa Timur dan DKI Jakarta yang meminta MoU dipasok sapi hidup sebanyak 8-10 ekor per minggu,” paparnya.

 


Sementara itu, Suratno Ketua Gapoktan Desa Kalangan Kecamatan Margumulyo Kabupaten Bojonegoro mengemukakan, awal pembentukan Gapoktan adalah ketika 7 dusun di Desa Kalangan mempunyai kelompok tani tersendiri. Kelompok tani tersebut terbentuk untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan bantuan pupuk bersubsidi dan lain-lain dari pemerintah daerah. “Seiring berjalannya waktu kebutuhan kelompok tani meningkat sehingga untuk memudahkan dalam hal kegiatannya bersepakat membentuk Gapoktan,” ungkapnya.

 


Kegiatan Gapoktan disebutkan Suratno diantaranya setiap bulan berkumpul untuk memecahkan masalah tentang pupuk, penanggulangan hama dan cara penanaman yang baik sehingga hasil panen maksimal. “Apalagi kita sering mendapat tempat percontohan dari bibit-bibit unggul yang baru baik berupa jenis padi atau jagung,” jelasnya.

 


Kemudian, pihak IPB melihat bahwa selain potensi cukup besar dari komoditas pertanian di Desa Kalangan ini, juga potensi hijauan pakan untuk peternakan yang tidak kalah baiknya. “Maka selain menjadi petani, kami juga menjadi peternak dengan membentuk SPR pada 2018,” ungkapnya.
Saat awal SPR berdiri di Desa Kalangan dengan jumlah 22 anggota, Suratno mengelola 60 ekor sapi. Sapi yang dipelihara umur 2 tahunan dan indukan. “Pada Agustus tahun ini mulai terbentuk konsorsium berupa sinergi antara Gapoktan dan Saspri yang sebelumnya berdiri sendiri-sendiri,” ucapnya.

 


Dengan saling bersinergi ini, diharapkan kebutuhan Saspri bisa dipenuhi Gapoktan dan sebaliknya kebutuhan Gapoktan dapat dipenuhi Saspri. Misalnya Gapoktan membutuhkan sesuatu untuk menunjang peningkatan hasil pertanian bisa dibantu oleh Saspri. “Jadi keduanya bisa saling simbiosis mutualisme,” tegasnya.

 


Ia mencontohkan, Gapoktan memiliki potensi menyediakan hijauan pakan ternak untuk silase, sementara Saspri bisa menjamin ternaknya dapat pakan. Ditambah lagi dengan keterbatasan pupuk bersubsidi, penggunaan pupuk organik dari limbah ternak sapi milik Saspri dapat menjadi penggantinya.

 


Suratno berharap, sinergi antara Saspri dan Gapoktan ke depan dapat berkesinambungan, karena memiliki potensi masing-masing dan saling berkaitan. Karena saat ini masih ada kendala ketika Saspri kekurangan pakan masih membeli jerami dari luar desa dengan harga kurang lebih Rp 1 juta per truknya. “Ke depan ketika semua sudah berjalan optimal, semua transaksi usaha hanya berputar di desa sehingga kesejahteraan masyarakat Desa Kalangan dapat meningkat. Selain itu, masyarakat Desa dapat menjadi peternak dan petani handal karena selalu dibina,” pintanya.

 


Saat ini, anggota Saspri di Desa Kalangan berjumlah 24 orang dengan populasi sapi 118 ekor. Dengan adanya kolaborasi bersama Gapoktan, anggota Saspri cukup terbantu terutama terkait pasokan pakan untuk ternak sapi. “Jika dulu mereka hanya memberi pakan sapi dengan Jerami atau hijauan seadanya, sekarang dengan bentuk silase yang penuh nutrisi membuat ternak sapinya dapat tumbuh dengan maksimal,” paparnya.

 


Program Lokomotif
Kepala Divisi SDM dan Organisasi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University sekaligus Tim Pengelola, Bagian Manajemen Bisnis dan Organisasi SPR, Anggraeni Sukmawati menyatakan, SPR merupakan inovasi sosial di IPB yang sudah diakui. “SPR yang secara resmi diluncurkan pada 2013 ini telah menjadi program lokomotif yang ada di IPB,” jelasnya.

 


Ia melanjutkan, SPR memiliki konsep berupa pemberdayaan peternak secara bersistem yang kurikulumnya disesuaikan dengan kebutuhan. Jadi tidak hanya punya kurikulum standar, tapi juga memperhatikan kebutuhan lokalitas. “Analoginya, kalau mahasiswa itu disekolahkan orang tuanya di IPB, sedangkan para peternak ini orang tuanya adalah Bupati. Artinya, para peternak ini pada saat akan belajar tidak tergabung dalam SPR secara individu tetapi tergabung sebagai komunitas,” terangnya.

 


 Kemudian, komunitas peternak ini yang disekolahkan oleh Bupatinya ke IPB. Maka, ada MoU (Nota Kesepahaman) antara Bupati dan Rektor IPB bahwa mereka akan disekolahkan ke IPB. “Jadi ada proses sesuai dengan kurikulum, kemudian ada proses assessment awal untuk menentukan kurikulumnya. Setelah itu, assessment akhir untuk menentukan kelulusannya. Jadi semua berproses hingga ada wisuda di IPB sebagai syarat kelulusan. Setelah di wisuda, maka mereka akan tergabung secara otomatis di Saspri,” terang Anggraeni.

 


Pelopor Saspri, Prastowo berpendapat, dalam SPR kata kuncinya adalah berjamaah, bersatu, bergotong royong, dan kebersamaan. Kalau bekerja sendiri-sendiri menyulitkan untuk transfer pengetahuan mengingat potensi petani/peternak di dalam negeri cukup lemah karena kecilnya sumber daya, dan kecilnya kepemilikan lahan. “Kata kunci kebersamaan ini akan berimplikasi pada kesejahteraan mereka. Kalau bisnis secara berjamaah tentu skalanya bisa lebih besar serta kemungkinan akan menambah kekuatan (posisi tawar),” urainya.

 


Ia menilai, model SPR ini sudah teruji di lapangan dengan karakteristik-karakteristik sesuai kondisi daerahnya. Sehingga dengan kerangka besar SPR yang sudah ada, bisa menghadirkan peran pemerintah daerah untuk mereplikasikan di daerahnya. “Jika SPR tipe A cocok untuk di daerah A maka jangan digunakan untuk daerah B. Artinya, program SPR dijalankan sesuai dengan karakter daerahnya,” terang Prastowo.

 


Himpunan Alumni SPR
Saspri ini diibaratkan sebagai himpunan alumni. Peternak yang tergabung dalam SPR dan sudah lulus ini secara fundamental telah berubah mental dan mindset (pola pikir)-nya. Yang tadinya misalnya mindset-nya adalah berkelompok untuk mendapat bantuan pemerintah, sekarang telah berubah. “Mereka telah menjadi peternak yang mandiri dan berdaulat sesuai tag line SPR. Juga punya rasa ingin tahu untuk menambah ilmu serta meningkatkan keterampilan dan kompetensi sehingga siap untuk menjadi mitra bisnis dari para investor,” papar Anggraeni.

 


Selanjutnya, peternak mulai bermitra di dalam Saspri untuk membangun bisnis. Ini sebagai bentuk pendampingan, yang dikerjakan tidak hanya dari IPB, tetapi juga oleh komunitas pemerhati dan orang-orang yang peduli terhadap kemajuan peternak serta peternakan Indonesia. “Para pembinanya sudah lebih luas terutama untuk bisnisnya,” ujarnya.

 


Anggraeni menekankan, pendampingan di dalam Saspri adalah pendampingan untuk riil bisnisnya. Tidak hanya hard skill tapi juga soft skill. Kalau hard skill secara umum mereka sudah menguasai, tapi kalau soft skill ada yang belum terasah seperti komitmen, bisa dipercaya, bekerja sungguh-sungguh atau bekerja keras dan cerdas.

 


 “Tapi kami percaya, mereka tidak bekerja asal-asalan karena keuntungan dibagi secara proporsional sesuai dengan sumber daya dan penanggungan risikonya. Kondisi itu akan berbeda jika bisnis dijalankan secara tradisional, sering kali terjadi peternak dalam posisi dirugikan atau ada juga misalnya peternak yang tidak amanah,” jabarnya.

 


 Oleh karena itu, Saspri berperan sebagai penjaga guna memastikan kepada investor bahwa lembaga ini bisa dipercaya sesuai dengan kebutuhan investor. Jadi, kerjasamanya tidak orang per orang, tapi organisasi dengan organisasi. “Investornya juga buka perorangan, minimal 3 orang yang tergabung dalam komunitas atau perusahaan, jadi atas asas kebersamaan. Kami ingin investor juga mempunyai asas kebersamaan sebagai mitra. Mitra ini bukan hanya ingin keuntungan semata, tetapi juga punya jiwa kepedulian sosial. Itu yang sangat penting bagi mitra,” terangnya.

 


Ketua Bidang Tata Kelola Data & Promosi Saspri Nasional, Sapto Salimo menerangkan, saat ini Saspri ada di 19 wilayah di Indonesia, mulai dari Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah. “Dari pengamatan kami, kelompok yang tergabung dalam Saspri ada yang majunya luar biasa, ada yang majunya sedang-sedang saja, dan ada juga yang masih stagnan. Dalam satu kelompok biasanya tergabung 20-40 anggota,” jelasnya.

 


Perkembangan yang berbeda-beda di setiap Saspri ini, dinilai Sapto salah satu penyebabnya adalah perhatian dari pemerintah daerah. “Kalau dari sisi kami biasanya ada pendampingan yang dilakukan. Pendekatan-pendekatan kami lakukan agar mereka lebih cepat untuk bisa bergerak maju,” urainya.

 


Kemitraan
Kemitraan mempunyai peran penting dalam pengembangan Saspri. Walaupun dalam menjalankan kemitraan itu mudah diucapkan tetapi tidak mudah untuk direalisasikan. “Kemitraan yang dimaksud harus sudah masuk ke ranah profit, karena menyangkut penghasilan dan kesejahteraan. Termasuk penghasilan usaha tani agar bisa meningkat,” ucap Prastowo.

 


Meskipun banyak cara, namun ada dua klaster untuk kemitraan ini. Pertama, melalui penguatan bisnis yang berjalan. “Kalau selama ini peternak membuat pakan dan pupuk organik maka harus kita kuatkan dan besarkan supaya ada nilai tambah,” terangnya.

 

Selengkapnya Baca Di Majalah TROBOS Livestock Edisi 279/Desember 2022

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain