Minggu, 1 Januari 2023

Prof Budi Tangendjaja, Pemilihan dan Penggunaan Jagung untuk Pakan

Guna memperoleh hasil produksi yang maksimal, sebaiknya digunakan jagung dengan kualitas prima. Disarankan mulai mengukur kualitas jagung yang akan digunakan untuk menyusun ransum
 

 


Jagung merupakan bahan baku utama pakan untuk ternak unggas maupun babi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara Asia lainnya. Memang bila ketersediaan jagung terbatas, maka pabrik pakan mencari alternatif pengganti jagung dari biji-bijian lainnya seperti sorgum, gandum, barley, dan oat. Akan tetapi bahan alternatif seringkali tidak dapat digunakan di Indonesia karena keterbatasan ketersediaan atau tidak diperkenankan diimpor meskipun tersedia di dunia dengan harga yang relatif menarik untuk digunakan dalam kondisi tertentu. Sehingga jagung tetap menjadi bahan baku yang utama dalam menyusun ransum dengan pemakaian dalam ransum dapat mencapai 40-60 % tergantung jenis dan umur ternaknya.

 


Peternak yang mencampur pakan sendiri (self-mixing) dan juga beberapa pabrik pakan seringkali menganggap bahwa semua jagung adalah sama sehingga kurang memperhatikan bahwa kualitas jagung di lapangan sangat berbeda tergantung musim dan daerahnya dan juga perbedaan penanganan pasca panennya. Ada baiknya kalau pengguna jagung dapat mengklasifikasikan kualitas jagung sehingga dapat memformulasikan ransum secara tepat sesuai dengan kenyataan yang ada. Saat ini, standar jagung untuk pakan di Indonesia masih terbatas, hanya mengelompokkan ke dalam 2 jenis saja dan hal ini tidak cukup untuk menyesuaikan formula pakan yang dituntut semakin tepat dan teliti.

 


Dasar Penerimaan Jagung
Untuk peternak self-mix dan pabrik pakan, sebaiknya dibuat standar patokan penerimaan jagung yang akan digunakan dalam membuat ransum. Standar kualitas jagung tidak ditentukan oleh analisis kimia di laboratorium seperti kandungan protein, lemak, serat kasar atau abu, tetapi lebih ditentukan oleh faktor fisik dari jagung tersebut. Meskipun ada negara (Brazil) mengelompokkan jagung berdasarkan kandungan protein di dalamnya, tetapi masing-masing kelompok, ada klasifikasi berdasarkan Grade. Apabila belum tahu bagaimana standar kualitas jagung dapat mempelajari atau menggunakan standar yang ada di negara lain baik di China, Argentina, Brazil atau AS (Amerika Serikat), atau dapat mempelajari dari video yang diterbitkan oleh FGIS (Federal Grains Inspection Service) USDA, AS.

 


Indonesia sudah mempunyai Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk jagung, yang membaginya menjadi 2 kelompok, tetapi SNI jagung masih banyak menekankan akan hasil analisis komposisi kimia dan sedikit menilai faktor fisik. Kerusakan jagung masih kurang dirinci lebih lanjut untuk digunakan menghitung nilai gizi jagung dalam formulasi ransum dengan tepat. Kualitas jagung dapat dikelompokkan menjadi 4 atau 5 kelompok atau grade yang tidak hanya berpengaruh terhadap formulasi ransum tetapi juga dapat digunakan dalam perdagangan jagung. Salah satu contoh pengklasifikasian jagung yang diterapkan oleh pabrik

 


Tahapan penentuan kualitas jagung sebaiknya dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut. Pertama, jagung harus diukur kadar airnya karena perbedaan kadar air akan menentukan nilai kandungan gizi jagung. Jagung dengan kadar air 17 % akan berbeda nilai gizinya dibanding jagung dengan kadar air 14 %, selisih kadar air dari jagung basah ini dihitung sebagai pengenceran jagung kering dengan penambahan air.

 


Kedua, contoh jagung harus diukur berat jenisnya karena berat jenis menentukan apakah jagung dipanen dengan umur yang cukup tua atau belum. Jagung tua umumnya mempunyai berat jenis >720 g per liternya, jagung yang belum cukup umur panen akan mempunyai berat jenis di bawah nilai tersebut.

 


Ketiga, contoh jagung diayak dengan saringan untuk mengukur jagung pecah yang lolos saringan dan kotoran baik yang lolos saringan maupun yang tidak lolos. Persentasi jagung serpihan (pecah) dan kotoran harus diukur dan jumlahnya akan menentukan berapa besar energi metabolis jagung akan dikoreksi untuk kepentingan formulasi.

 


Tahap keempat, jagung yang tidak lolos saringan harus diamati kerusakannya. Kerusakan jagung dapat karena jamuran, rusak karena serangan atau rusak lainnya baik karena panas atau jagung mati yang tidak dapat tumbuh.  

 


Penentuan kualitas lainnya adalah dengan menganalisis kandungan mikotoksinnya. Diantara 6 jenis mikotoksin utama dalam pakan yaitu aflatoksin, okhratoksin, T2 toksin, zearalenon (ZON), fumonisin dan deoksinivalenol (DON), maka aflatoksin merupakan jenis mikotoksin yang utama di daerah tropis. Analisis aflatoksin dapat dilakukan secara kualitatif dengan lampu Ultra Violet (UV) seperti yang digunakan untuk mendeteksi uang palsu atau secara kuantitatif dengan berbagai teknik seperti Elisa, Strip Test, Thin Layer Chromatography (TLC) dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Metode mana yang dipilih tergantung kemampuan dan kegunaannya.

 


Kandungan aflatoksin yang dapat ditolerir akan tergantung jenis dan umur ternaknya. Untuk ternak yang masih kecil atau muda seperti starter, kandungan aflatoksin dianjurkan 20 ppb tetapi bagi ternak dewasa dapat ditolerir sampai 100 ppb, kecuali untuk ayam breeder yang dimintakan hanya 20 ppb.
 

 


Pembersihan dan Pemisahan
Ketika jagung dari pemasok dan dinyatakan lolos dari pengujian mutu jagung untuk diterima, sebaiknya jagung dibersihkan lebih dahulu. Hal ini penting dilakukan karena jagung pecah, debu, dan kotoran dapat mempengaruhi daya simpan jagung dan juga nilai gizi untuk pakan unggas atau babi.
Jagung yang sudah pecah akan mudah ditumbuhi jamur atau diserang kutu karena kulit arinya sudah terbuka. Kotoran seperti janggel atau tangkai jagung atau kerikil dan tanah tidak mempunyai nilai gizi untuk unggas sehingga harus dipisahkan dan dibuang (Gambar 2). Debu atau jagung pecah masih dapat dimanfaatkan oleh ternak tetapi harus diperiksa kandungan mikotoksinnya karena seringkali lebih tinggi dari jagung utuh.




Pembersihan jagung sebaiknya menggunakan mesin pembersih khusus untuk jagung kalau jumlahnya cukup besar, bisa berupa mesin yang permanen atau yang dapat dipindahkan (moveable) (Gambar 3). Memang kalau jumlahnya kecil, jagung dapat ditampi secara manual, tetapi untuk jumlah besar tidak memungkinkan. Di pabrik pakan, mesin pembersih bermacam-macam, ada mesin vertikal yang membersihkan jagung ketika turun dari konveyor secara gravitasi sebelum masuk silo, ada mesin pembersih khusus yang diperlengkapi dengan “scalper” maupun tidak.

 



Mesin pembersih jagung dalam Gambar 3, mampu menyaring jagung untuk mengeluarkan debu atau tanah dan pasir. Sedangkan partikel besar seperti janggel atau tonggkol jagung juga terpisahkan dengan scalper. Penyaringnya berupa saringan berbentuk drum yang dapat berputar terus menerus sehingga dapat secara terus menerus menyaring jagung.

 


Beberapa mesin pembersih jagung dapat dilengkapi dengan kipas penghembus (blower) sehingga kotoran yang ringan dapat dipisahkan. Setelah pembersihan jagung, maka hanya jagung bersih yang digunakan untuk pakan, jagung pecah atau debu yang berasal dari jagung, masih dapat digunakan untuk pakan tetapi harus dikoreksi nilai gizinya seperti dijelaskan berikut ini. Tongkol atau janggel jagung termasuk serpihan daun, masih dapat diberikan untuk pakan sapi, tetapi tidak bermanfaat untuk pakan ayam.

 


Pemakaian dalam Membuat Ransum
Jagung yang diterima dari pemasok sebaiknya disimpan dalam gudang atau silo berdasarkan Grade-nya atau dipisahkan berdasarkan kualitasnya. Tergantung kemampuan gudang atau jumlah silonya, penempatan jagung dapat dibagi ke dalam 2-4 kelompok dan masing-masing kelompok harus diperlakukan sebagai bahan baku berbeda dalam penyusunan ransum.

 


Penggunaan masing-masing kelompok jagung dalam formula ransum dapat berbeda. Suatu jenis ransum dapat menggunakan hanya untuk satu jenis jagung atau berupa campuran dari 2 jenis jagung. Pencampuran dapat dilakukan agar dihasilkan kualitas ransum yang lebih stabil dan lama pemakaian jagung seimbang. Sudah barang tentu penilaian dari nutritionis sangat diperlukan.

 


Penggunaan jagung dalam membuat ransum sebaiknya dengan sistem FIFO (First In First Out), artinya jagung yang datang duluan harus digunakan lebih dahulu dibanding jagung yang diterima belakangan. Akan tetapi kondisi di lapangan harus dievaluasi terlebih dahulu karena ada kalanya jagung dengan kadar air tinggi (>17 %) sebaiknya digunakan terlebih dahulu secepatnya untuk mencegah jagung menjadi jamuran.

 


Disamping itu jagung pecah sebaiknya juga digunakan terlebih dahulu. Pecahnya jagung menjadi jagung “terbuka” karena tidak terlapisi kulit ari. Jagung pecah lebih banyak memberi peluang untuk ditumbuhi jamur atau di makan serangga.

 


Seperti dikemukakan sebelumnya jagung yang dikelompokkan menurut kualitasnya harus mempunyai spesifikasi nutrisi yang berbeda. Karena jagung merupakan sumber energi utama untuk unggas, maka nilai energi metabolis jagung harus mengalami koreksi ketika kualitas berubah. Nilai koreksi energi jagung dapat dihitung menurut persamaan yang direkomendasikan oleh Brazilian Tables for Poultry and Swine (2017) seperti berikut :
Kehilangan/pengurangan ME(unggas): -0.064 + 1.62BRK + 6.98FRIM + 10.06MOLD + 12.28INS + 5.87ADC
Dimana:
BRK    : jagung pecah
FRIM    : Jagung serpihan dan kotoran
MOLD    : Jagung jamuran
INS    : Jagung rusak akibat serangan kutu
ADC    : Jagung rusak akibat lainnya (gosong, biji mati, lembaganya rusak dsb)

 



Faktor penentu kualitas, semuanya dihitung dalam persen. Sebagai contoh, jagung mempunyai kadar pecah 5,86 %, jagung serpihan dan kotoran 1,96 %, jagung jamuran 6,32 % dan rusak karena kutu 0,16 % maka pengurangan energi metabolis untuk unggas adalah sebesar 89kkal/kg. Pengurangan energi metabolis dilakukan terhadap jagung standar terbaik yang terdapat dalam tabel komposisi bahan pakan.

 


Apabila diperhatikan dari persamaan di atas maka faktor kerusakan akibat kutu atau serangga dan jamuran memberikan kontribusi yang terbesar terhadap koreksi energi jagung, padahal kedua faktor ini umum terjadi di Indonesia terutama jamuran pada musim hujan dan jagung yang disimpan lama. Apabila jagung sudah berkutu dan rusaknya mencapai 50 %, maka koreksi energi dapat mencapai 600 kkal/kg. Demikian juga, apabila jagung semuanya jamuran, maka nilai koreksi energi dapat mencapai 1.000 kkal/kg, nilai ini menjadi sangat besar dan menentukan penampilan produksi ternak.

 


Oleh karena itu, disarankan agar peternak dan juga pabrik pakan mulai mengukur kualitas jagung yang akan digunakan untuk menyusun ransum. Beberapa orang mungkin bertanya, mengapa jagung yang berkutu mempunyai energi yang lebih rendah, kan kutu itu berisi protein? Perlu dikemukakan disini, bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan kutu, diperlukan zat gizi yang diperoleh dari jagung, sehingga jagung yang kutuan akan mengalami penurunan gizi. Memang kutu mempunyai kandungan protein di dalamnya tetapi protein kutu tidak semuanya berasal dari protein murni, melainkan sebagian dalam bentuk khitin yang berisi glukosamin yang bukan asam amino. Padahal yang diperlukan untuk produksi ternak adalah asam amino.

 


Dianjurkan pula agar jagung dengan kerusakan lebih tinggi diberikan pada ternak yang sudah dewasa dan ternak yang masih muda atau kecil sebaiknya menggunakan jagung yang kerusakannya kecil. Ternak yang masih muda misalnya baru menetas (DOC) mempunyai saluran pencernaan yang belum berkembang sehingga membutuhkan bahan pakan yang nilai kecernaannya tinggi. Berlainan dengan ayam petelur yang sudah dewasa, dimana sistem pencernaan sudah berkembang dan lebih toleran terhadap bahan pakan yang kualitasnya relatif lebih rendah.

 


Meskipun demikian untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal, sebaiknya digunakan jagung dengan kualitas prima. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa peternakan layer (ayam petelur) yang menggunakan jagung yang baik memberikan produksi telur yang lebih stabil. TROBOS
 

 

Konsultan Teknologi Pakan dan Nutrisi Ternak

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain