Erwanto, Industri Peternakan Masih Tumbuh di 2023

Erwanto, Industri Peternakan Masih Tumbuh di 2023

Foto: 


Meski para ekonom memprediksi pada 2023 ini Indonesia bakal memasuki resesi, namun khususnya sektor peternakan bakal tetap tumbuh. Pasalnya, untuk sapi dan kerbau masih defisit. Artinya pentingkatan produksi jauh tertinggal dibandingkan permintaan. Apalagi ketika ekonomi masih tumbuh walaupun terjadi penurunan angka pertumbuhan, maka kebutuhan terhadap daging sapi bakal tetap meningkat. Ini tentu menjadi peluang bagi peternak untuk terus mengembangkan usaha.
 
Begitu pula pada unggas, walaupun produksinya sudah over suplai dan terus meningkat, namun permintaan akan produk unggas juga terus tumbuh. Tingginya permintaan masyarakat terhadap produk unggas juga dipengaruhi oleh faktor kelancaran distribusi dan harga yang terjangkau oleh kebanyakan masyarakat.
 
Pada perunggasan, produksi berlebaih karena telah terjadi kemajuan teknologi pada sektor hulu dan sarana produksi. Pada sektor hulu terjadi kemajuan teknologi pada pembibitan dan pakan. Usaha peternakan unggas di Indonesia sudah mengimplementasikan teknologi tinggi pada DOC (ayam umur sehari), pakan dan obat-obatan yang dikuasai industri besar. Tingginya produksi unggas mampu memenuhi kebutuhan/permintaan pasar sehingga harganya menjadi terjangkau oleh masyarakat kebanyakan.
 
Bahkan belakangan juga mulai berkembang teknologi kandang tertutup (closed housed) pada peternakan skala menengah dan besar. Sementara pada peternakan skala kecil masih relatif sedikit. Dari sejumlah riset dan pengalaman peternak ternyata tambahan pendapatan peternak dari peningkatan produksi pada closed housed lebih besar dibandingkan dengan investasi dan biaya operasional closed housed itu sendiri. 
 
Dengan teknologi closed housed maka tantangan cuaca panas pada peternakan unggas bisa diatasi karena suhu kandang bisa diatur dengan sistem blower sehingga unggas menjadi nyaman. Sebab sebagaimana kita ketahui faktor iklim tropis menjadi tantangan/hambatan bagi usaha peternakan di Indonesia. Suhu terbaik untuk peternakan sapi dan unggas di bawah suhu rata-rata Indonesia sehingga hewan ternak di Indonesia terkena cekaman panas. Akibatnya sebagian energi hewan digunakan untuk mengatasi cekaman panas tersebut yang tadinya energi tersebut digunakan untuk pertumbuhan.
 
Pada ternak sapi perah juga sudah dimulai upaya serupa dengan mengoperasikan blower yang menguapkan air di dalam kandang seperti yang terjadi di sebuah peternakan sapi perah di Kabupaten Lampung Tengah sehingga atmosfir kandang mirip closed housed. Dengan kondisi yang nyaman maka produksi susu bisa optimal sesuai potensi genetiknya. Memang ada tambahan biaya untuk membuat suhu di dalam kandang menjadi lebih dingin. Namun tambahan biaya tersebut bisa dikompensasi oleh tambahan pendapatan dari peningkatan produksi. 
 
Mesin Pertumbuhan
Pada 2023 ada potensi sektor peternakan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung sektor peternakan maka program kampung ternak dan kredit lunak Rp 100 juta bagi peternak perlu dilanjutkan. Dalam sejumlah survei diketahui bahwa sekitar 40 persen masyarakat memilih beternak ketimbang usaha lainnya. Itu artinya kepercayaan dan ekspektasi masyarakat terhadap sektor peternakan cukup tinggi.
 
Sebab sesuai hukum ekonomi, begitu ekonomi tumbuh maka kebutuhan terhadap produk ternak ikut terdongkrak. Jika pendapatan masyarakat meningkat maka mereka ingin mengkonsumsi daging. Kondisi itu bisa dilihat, pada pandemi Covid-19 permintaan terhadap produk ternak menurun. Namun pasca pandemi pada 2022, pada saat ekonomi berangsur pulih maka permintaan terhadap produk ternak ikut naik. Pada tahun ini diprediksi masih terjadi peningkatan permintaan terhadap produk ternak, baik sapi maupun unggas.
 
Memang harus diakui bahwa biaya produksi untuk ternak sapi tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan di Australia dan India. Jika Harga Pokok Produksi (HPP) sapi di Australia Rp 55 – 63 ribu/kg sedangkan di Indonesia sudah Rp 90 ribu – 95 ribu/kg. Penyebab HPP di Indonesia tinggi, pertama, rendahnya mutu genetik sapi di Indonesia sehingga dengan jumlah pakan yang sama maka pertumbuhan sapi di Australia lebih cepat karena mutu genetik sapi mereka unggul. 
 
Kedua, cara beternak yang berbeda. Di Indonesia, sapi di kandang dan peternak yang mencari hijauan. Ketika musim kemarau areal mencari rumput makin sulit membuat biaya transportasi bertambah mahal dan populasi sapi di peternak rakyat hanya 2 – 3 ekor. Di Australia, seorang pekerja peternakan sapi bisa mengembalakan ratusan hingga ribuan sapi sehingga biaya pakan dan tenaga kerja jauh lebih murah.
 
Ketiga, teknologi reproduksi masih belum berkembang. Di negara maju, sapi perah bisa beranak tiap tahun dan sapi potong/pedaging setiap 15 bulan. Di Indonesia membutuhkan waktu rata-rata 2 tahun. Hal itu terjadi karena sering masa birahi tidak ketahuan atau petugas Inseminasi Buatan (IB) terlambat datang. Bahkan juga sering terjadi peternak belum memiliki uang untuk membayar IB. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap HPP.
 
Solusi
Solusi dalam menghadapi permasalahan peternakan di tanah air harus diselesaikan dari akar permasalahannya secara komprehensif, tidak bisa sepotong-sepotong. Untuk mengatasi persoalan jangka pendek, pertama, perbaiki mutu bibit sapi. Artinya harus ada program breeding sapi unggul. Pemerintah terkesan enggan atau tidak berpihak para program breeding karena hasilnya baru kelihatan dalam jangka waktu lama, bisa 10 tahun ke atas.
 
Lalu sektor swasta juga tidak tertarik kepada usaha breeding karena selain jangka waktu lama untuk pengembalian modalnya, risiko usaha tinggi dan juga keuntungannya lebih kecil dibandingkan dengan penggemukan. Lalu program breeding dijalankan peternakan rakyat dengan teknologi dan bibit seadanya dan hasilnya difisit sapi sepanjang waktu.
 
Sementara di perunggasan, diakui memang ada pemuliaan ayam lokal, seperti ayam KUB dan beberapa jenis bebek. Tapi saya melihat belum optimal karena pemuliaan ini butuh investasi besar, sementara pendanaan untuk lembaga-lembaga penelitian terbatas. Untuk ayam ras, karena pemuliaannya butuh dana besar banyak dilakukan perusahaan-perusahaan besar di negara maju dan kita sangat tergantung kepada produk mereka. Dengan kondisi demikian sudah sulit bagi kita untuk melakukan pemuliaan ayam ras sendiri.
 
Begitu juga pada kambing, dulu Pemprov Lampung pernah mengawinkan pejantan impor jenis boer dengan betina peranakan etawa (PE) sehingga menghasilkan anak kambing boerawa yang akhirnya diberi nama kambing saburai. Tetapi karena pembibitannya kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah, kini kambing saburai sudah tidak unggul lagi.
 
Kedua, dari sisi pakan. Kalau di unggas teknologi pakan sudah begitu maju dan produksinya dikuasai industri besar sehingga tidak perlu intervensi pemerintah lagi. Yang perlu intervensi pemerintah yakni pada pakan sapi dan kambing. Masalahnya, pakan hijauan yang ada kurang asupan nutrisi protein. Terutama peternak rakyat yang mengarit rumput apa adanya tanpa memperhatikan jenis dan kandungan nutrisinya. 
 
Ketiga, pembiayaan usaha peternakan. Memang sudah ada program pemerintah berupa korporasi peternak. Makanya yang dikorporasikan adalah bisnisnya. Artinya usaha peternakan rakyat ini dikelola secara bisnis. Selain perlu membuat korporasi-korporasi percontohan di setiap daerah sentra sapi guna dijadikan tempat belajar bagi kelompok lainnya. Lalu, pembiayaannya perlu dikhususkan, terutama untuk usaha breeding yang siklusnya panjang.
 
Masih terkait dengan pembiayaan ini. Soal alokasi anggaran pemerintah (goverment spending) bagi sektor pertanian/peternakan minim. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Pendapatan negara dari sektor pertanian berkisar antara 33 – 37 persen, sementara alokasi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) untuk sektor pertanian/peternakan hanya 5 – 6 persen/tahun. Apalagi APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) provinsi paling hanya 2 – 3 persen dan untuk APBD Kabupaten lebih rendah lagi yakni hanya 1 hingga 1,5 persen. Dengan alokasi anggaran sebesar ini, bagaimana mungkin mengharapkan swasembada daging dan beras.
 
Saya usul agar ada regulasi yang mewajibkan anggaran pemerintah untuk sector pertanian/peternakan minimal 10 persen. Seperti sebelumnya sudah ada Undang – Undang yang mengharuskan alokasi anggaran pemerintah untuk sektor pendidikan minimal 20 persen. Jika tidak demikian, maka yakinlah krisis pangan bukan sekadar ancaman melainkan akan menjadi kenyataan. TROBOS
 
Dosen Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian  Universitas Lampung
 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain