Perlu dibuat cetak biru (blue print) kembali dengan melihat kondisi teranyar, dan harus didasari dengan data yang sehat serta benar-benar mencerminkan kondisi industri peternakan di lapangan
Subsektor peternakan memiliki andil besar dalam pemenuhan gizi protein hewani masyarakat Indonesia. Selain itu subsektor peternakan juga berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja dan perekonomian nasional, sehingga diharapkan status ekonomi masyarakat dapat meningkat. Namun pada 2022, industri peternakan harus bergelut dengan berbagai tantangan penyakit, biaya bahan baku pakan yang tinggi, inflasi, daya beli masyarakat yang turun dan lain sebagainya.
Mengutip dari Ketua Umum GPMT (Gabungan Perusahaan Makanan Ternak), Desianto Budi Utomo secara umum menjelaskan ekonomi Indonesia masih mujur dibandingkan dengan ekonomi negara-negara di Asia lainnya. “Secara makro, PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia masih terus meningkat. Bahkan pada 2023 diharapkan ekonomi makro bisa tumbuh sekitar 5,3 %. Prediksi dari ekonomi bisnis, bahwa 2023 akan lebih kecil inflasinya dibandingkan 2022 yakni sekitar 3,3 – 3,6 %,” kata dia.
Diketahui bahwa 80 – 85 % cost structure pakan ditentukan oleh bahan pakan. Artinya jika bahan pakan naik, pasti biaya produksi pakan juga meningkat. Ia menilai, kenaikan harga pakan akan di-forward menjadi kenaikan pada HPP (harga pokok produksi). Kenaikan harga produksi pakan dapat meningkatkan HPP pada live bird (LB) broiler (ayam pedaging) dan telur, tetapi tidak mempengaruhi atau tidak ada korelasi antara harga pakan dengan harga LB dan telur.
“Tantangan yang kita hadapi adalah perkembangan harga bahan pakan yang diikuti bukan hanya dari lokal saja, tetapi juga harga bahan pakan secara global. Kita lihat soybean meal (SBM) pada 2019 volume pemakaiannya 4,3 juta ton, pada 2021 sudah mencapai 5,116 juta ton, dan pada 2022 diprediksi mencapai hampir 5,6 juta ton (22/11/2022). SBM adalah bahan pakan yang lebih relevan untuk diperhitungkan, guna mengukur berapa posisi pakan di tahun tersebut, karena hampir 100 % SBM digunakan untuk pakan,” papar Desianto.
Di sisi lain, Ketua Komite Tetap Peternakan Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), Tri Hardiyanto menyebutkan bahwa nyawa daripada peternakan adalah di pakan (feed). In value dari pakan bisa 60 – 70 %, sehingga ini angka yang besar. Bahan pakan yang diimpor itu cukup besar juga, mungkin 50 % untuk di ayam dan sisanya adalah SBM, sehingga harus dicari sumber pakan lokal untuk menggantikan SBM atau impor bahan pakan yang lebih murah.
“Selama bisa dicari penggantinya, maka untuk sementara ini bisa menekan biaya produksi peternak. Indonesia memiliki kelebihan, seperti jagung di mana jika mampu diproduksi dengan bagus, maka berpeluang untuk diekspor. Tentunya dengan catatan, kebutuhan dalam negeri harus bisa terpenuhi lebih dahulu,” tambah Tri.
Harga Pokok Produksi Membengkak
Peternak skala usaha mikro kecil menengah (UMKM) mandiri beberapa tahun ke belakang mendapatkan atensi, pasalnya terkhusus harga ayam di tingkat peternak mengalami penurunan. Penurunan ini diperburuk oleh HPP peternak yang membengkak akibat meningkatnya harga pakan konvensional maupun DOC. Perwakilan peternak UMKM pun kerap berdialog dengan pemerintah supaya mendapat keadilan.
Sekretaris Jenderal Garda Organisasi Peternak Ayam Nasional (Sekjen GOPAN), Sugeng Wahyudi menyampaikan pada 2022 relatif tidak ada peluang bagi peternak UMKM mandiri, sebab harga jual LB peternak FS (final stock) itu di bawah HPP. “Penyebabnya adalah input yang terlalu tinggi, misalnya pakan. Jika ingin untung maka biaya pakannya harus diturunkan,” cetusnya.
Melihat gejolak harga di 2022 kemarin, ia melanjutkan, modal sudah Rp 20.000 per kilogram (kg), tetapi harga jual LB rata-rata Rp 18.000 – 18.500 per kilogram. Ini artinya, hanya pelaku yang memiliki harga input lebih rendah yang akan bisa bertahan, sedangkan peternak kecil tidak mendapatkan itu. Dengan harga DOC Rp 6.500 per ekor dan harga pakan Rp 8.800 per kg, praktis biaya produksi itu di atas Rp 18.500 per kg, sehingga peternak merugi.
“Profesi peternak ini diperlukan oleh para peternak UMKM mandiri, sehingga kalau bisnisnya tidak menjanjikan maka akan menjadi problem. Beberapa program seperti penyerapan ayam milik peternak oleh perusahaan sudah pernah dilakukan, tetapi jumlahnya tidak signifikan. Sebenarnya perusahaan-perusahaan itu tidak usah menyerap, tetapi kendalikan saja produk yang dimilikinya, otomatis harga tidak akan bergejolak,” saran dia.
Permasalahan yang digarisbawahi oleh Sugeng ialah perusahaan-perusahaan besar memasarkan produk yang sama dengan peternak UMKM mandiri. Faktanya memang ada beberapa peternak yang ayamnya diserap, namun jumlahnya kecil sekali untuk bisa mempengaruhi harga jual LB di atas HPP peternak seperti program Bapanas (Badang Pangan Nasional). Karena melalui progam itu, perusahaan-perusahaan besar bisa membantu para peternak UMKM mandiri dengan membeli ayam harga standar sesuai dengan Kemendag (Kementerian Perdagangan) yaitu Rp 21.000 per kg.
Ia pun tak menampik bahwa program tersebut sedikit membantu beberapa peternak, tetapi dampaknya tidak boleh membuat peternak lengah. “Jangan sampai ini mengendorkan semua pihak untuk tetap mengupayakan harga LB di atas biaya pokok peternak (HPP), karena ini bersifat temporer atau sementara bukan selamanya,” tegasnya.
Sugeng menerangkan bahwa sudah sejak dua tahun yang lalu para peternak UMKM berkelompok dan secara kelembagaan membentuk koperasi. Hal ini pun tidak mudah, tetapi mereka mencoba untuk menjalankannya. Kelompok ini bertujuan supaya ketahuan bahwa peternak yang kecil-kecil ini menjadi satu kesatuan, sambil menunggu program atau kebijakan pemerintah yang berpihak, karena selama ini peternak belum bisa menikmatinya walaupun sebagian peternak sudah hampir baik volume usahanya.
"Peternak UMKM mandiri sudah berusaha untuk mengadopsi teknologi yang saat ini sedang berkembang seperti kandang, infrastruktur dan lain sebagainya. Para peternak sudah mulai mengikuti, tetapi memang tidak serta merta membangun kandang closed house (tertutup). Namun mereka mencoba untuk memanipulasi lingkungan kandang sehingga ayam merasa nyaman, dan kandang ini populer dengan istilah kandang tunnel,” tambah Sugeng.
Konsumsi Ayam Masih Rendah
Ketua Umum GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas), Achmad Dawami menjelaskan pada 2022 terdapat beberapa perusahaan yang tidak diijinkan impor GPS (grand parent stock). Perkara suplai ayam yang banyak tetapi harganya masih tetap saja mahal, ia menjawab bahwa itu merupakan fenomena yang lalu-lalu di mana impor GPS belum terkendali.
“Sekarang pemerintah memberi dukungan untuk menstabilkan harga dengan memberikan beberapa aturan-aturan main. Siapapun yang akan impor GPS, harus menguasai beberapa hal/penetapan KPI impor GPS seperti penguasaan RPHU (Rumah Potong Hewan Unggas) dan rantai dingin (bobot 20 %), pemotongan LB di RPHU (20 %), performa produksi (15 %), realisasi ekspor asal broiler (10 %), produk olahan (10 %), kemitraan (10 %), kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah (10 %), dan proposal (10 %),” sebut pria yang karib disapa Dawami ini.
Menurutnya, ketidakseimbangan antara supply dengan demand pasti akan dibantu oleh pemerintah. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan yaitu pengendalian supply melalui cutting HE (hatching egg) atau pemangkasan telur tetas.
Lalu, berdasarkan prognosa kedatangan GPS pada 2022 terdapat kelebihan 732 juta ekor (betul nilainya). “Ada kebijakan dari pemerintah dengan memberikan cutting menurun, tetapi masih ada kelebihan 498 juta ekor per tahun. Kondisi tersebut, karena konsumsi ayamnya tidak naik-naik atau menurun waktu itu, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara supply yang anjlok, dan demand yang berkurang,” papar dia.
Melansir dari data BPS (Badan Pusat Statistik), bahwasanya konsumsi daging ayam sejak 2020 memang ada kenaikan tapi masih konsumsinya 11,6 kg per kapita per tahun. Sementara rata-rata pengeluaran masyarakat Indonesia berdasarkan kelompok komoditas, diketahui sebanyak 12 % untuk rokok dan tembakau sedangkan 5 % untuk konsumsi daging. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan konsumsi pangan bergizi masih rendah.
“Mindset masyarakat masih salah, belum lagi untuk konsumsi daging yang lain seperti sapi, babi dan lain-lain. Semua ini akhirnya akan berefek pada harga ayam umur sehari (DOC). Saya survei sampai dengan Juli 2022, harga DOC fluktiatif. Ini semua ada sebabnya dan itu akan berdampak di masa depan,” ujarnya.
Dominasi di Pulau Jawa
Tak dipungkiri Pulau Jawa memiliki magnet terhadap struktur perekonomian Indonesia. Dengan populasi penduduk sekitar 150 juta jiwa, Pulau Jawa berpeluang besar untuk menumbuhkan ekonomi nasional hingga 2045.
Hal tersebut diamini oleh Tri bahwa tata niaga peternakan makin mendekati Pulau Jawa, maka eksistenis RPA (Rumah Potong Ayam) makin tinggi dibandingkan di luar Pulau Jawa sebab Indonesia bagian timur, seperti Kalimantan dan Sulawesi bukan sentra produksi/budidaya. “Jika RPA-nya kurang pun tidak masalah, yang di Jawa dan Sumatera ini harus diamankan. Untuk itu tata niaga yang salah harus diperbaiki,” kata pria yang juga menjabat sebagai Direktur PT Tri Gardanindo Inti tersebut.
Tata niaga yang perlu diperbaiki tersebut yakni pasar LB yang masih berkuasa di Pulau Jawa dan Sumatera lebih dari 70 %. Idealnya, Tri menyarankan, sisakan 50 % dari produksi, itu akan lebih aman sehingga pemainnya ada perusahaan integrasi, integrasi sebagian dan peternak mandiri. Harapannya peternak yang lebih mampu dan lebih besar menjual LB di pasar bisa makin dikurangi.
Hal yang sama diungkapkan oleh Desianto, bahwa kapasitas terpasang di Pulau Jawa sangat progresif. “Pertumbuhan ekspansi dari pabrik pakan mulai dari 16 juta di 2019 menjadi 20,4 juta di 2022. Secara nasional pada 2019 kita hanya 20 juta, pada 2022 kapasitas terpasangnya 27,2 juta ton untuk agro saja, sedangkan untuk perikanan kontribusinya adalah sekitar 2,8 juta (kapasitas terpasangnya), sehingga jika ditotal kapasitas produksi pakan agro terutama untuk ayam dan perikanan adalah 29,7 juta ton,” sebutnya.
Kapasitas terpasang GPMT pada 2022 telah mencapai 29 juta ton per tahun. Ini artinya, walaupun GPMT hanya memproduksi 20,5 juta ton pakan, masih ada sekitar 30 % untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pakan.
Adapun potret bisnis ternak monogastrik seperti babi, dipaparkan oleh Ketua Umum Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI), Sauland Sinaga mengatakan pengonsumsi tetap daging babi adalah di Pulau Jawa, tetapi produksi tetap babi ada di luar Pulau Jawa. “Ini artinya kurang kontinental, kita adalah negara kepulauan. Pemerintah seharusnya berpikir bagaimana mempertahankan ketahanan pangan kita, sebab babi tidak bisa digantikan,” ujar dia.
Sauland menyebutkan bahwa terdapat 12 – 13 provinsi di Indonesia yang populasi babinya di atas 500 ribu ekor. Adapun kantong-kantong penyedia ternak babi yang paling tinggi adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Papua, Sulawesi Selatan, Bali dan sedikit di Jawa Tengah seperti Solo dan Karanganyar yakni normalnya sekitar 450 ribu ekor namun sekarang tinggal seperempatnya.
“Konsumsi daging babi paling tinggi tetap di Jabodetabek terutama di Jakarta dan mengalahkan Singapura. Kebutuhan babi di Sumatera Utara rata-rata sekitar 60 ribu ekor pertahun, sementara di Jakarta bisa 120 ribu ekor pertahun. Ini menjadi masalah karena di daerah tersebut tidak ada babi,” sesal Sauland.
Usai Jakarta, terdapat Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Utara yang konsumsi daging babinya banyak. Uniknya, supply babi khusus Pulau Jawa tetap dari luar Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsumsi daging babi masyarakat Indonesia cukup tinggi, hanya saja kini terkendala oleh outbreak ASF (African Swine Fever).
Buntut Outbreak ASF
Semenjak wabah ASF merebak dan menginfeksi ternak-tenak babi di Indonesia pada 2019 lalu, Sauland melaporkan terjadi defisit populasi babi sebanyak 3-4 juta ekor dan ini diperkirakan akan terjadi hingga 2028 atau 2030. Belum lagi kejadian PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) pada babi, yang berkontribusi menyusutkan populasi nasional. Ia menilai bahwa defisit 3 juta ekor babi itu sangat sulit untuk restocking, sebab belum ada vaksinnya.
“Biosekuriti kita sudah coba di beberapa daerah, ada yang gagal dan ada yang tidak. Terlebih kandang-kandang babi kita adalah kandang-kandang cluster, bukan individu dan ini yang menjadi masalah. Jika memang kebijakan pemerintah ke depan adalah cluster, perlu dilakukan biosekuriti lokal tetapi biasanya peternak-peternak lokal kurang rela jika harus bersama-sama,” kilahnya.
Populasi babi sebelum wabah ASF ialah 8,9 juta ekor di 2019, namun usai ASF menjangkit pada Desember 2019, populasi babi anjlok kira-kira 3 juta ekor sampai hanya tinggal 5 juta ekor. Sauland melaporkan bahwa hanya 2 provinsi yang belum terkena, yaitu Sulawesi dan Papua, karena populasi babi di sana sedikit. Ia pun memohon kepada pemerintah supaya arus transportasi lebih diperketat, pasalnya yang membuat penyakit babi seperti ASF dan PMK menyebar, adalah 16 % melalui lalu lintas, 14 % transportasi dan 42 % sisa makanan (FAO atau WOAH).
“Kini peternak sudah tidak menggunakan sisa makanan untuk pakan babi. Ini merupakan cerita pada 1960-an, saat ini peternak dengan adanya ASF tidak lagi menggunakan sisa makanan. Artinya jika dijumlahkan sebanyak 100 % penyebab ASF dan PMK adalah manusia dan transportasi. Diketahui bahwa sejak kejadian ASF di Medan, Sumatera Utara, pertama kali, itu kita di Jawa stop transportasi babi dari Medan. Tetapi, dalam 2 bulan kemudian Jawa, Bali, NTB (Nusa Tenggara Barat) terpapar,” kisahnya.
Fakta tersebut membuktikan bahwa transportasi menjadi penyebab utama merebaknya penyakit viral ASF. Sauland mengajak untuk mengubah kerangka berpikir lama, bahwa peternak itu tidak pernah lari dari kandang, karena akan berusaha mempertahankan nyawa ternaknya. Maka itu yang menjadi masalah ialah pedagang, artinya pedagang yang membawa truk yang dari Medan ke Jawa disinyalir membawa tikus yang carrier ASF sehingga masuk ke RPH (Rumah Potong Hewan) dan menyebarkan virus.
Sauland mengimbau supaya regulasi harus diperketat, karena ke depan virus akan makin banyak. “Transportasi ternak itu memang regulasinya harus diketatkan. Maka itu bukan hanya Kementerian Pertanian saja yang turun tangan, tetapi juga Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perhubungan. Karena negara kita kepulauan, bisa lewat laut dan darat. Jika kita bekerjasama, maka penyakit bisa ditekan,” tegas dia.
Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) telah merilis produk SCoVet yakni serum untuk mencegah ASF atau demam babi Afrika, dan Sauland berterima kasih atas upaya pemerintah tersebut. Kendati demikian, berdasarkan beberapa riset yang dilakukan di Solo, Tegal Jawa Tengah, Medan dan Kalimantan diketahui bahwa SCoVet hanya mampu mencegah ASF sebesar 60 % saja. Berdasarkan pengalaman Sauland di lapangan, pemberian SCoVet dapat sedikit menekan kejadian ASF dan peternak masih bisa untung 10 %.
“Imbas dari ASF, defisit babi cukup menjadikan pada 2030 populasi babi dalam negeri berkurang. Semestinya, jangan sampai terbaca dari luar, karena harga babi kita yang paling mahal. Saingan kita adalah Korea Selatan, pendapatannya sangat berbeda jauh. Harga babi di luar negeri Rp 22.000 per kg, Amerika Serikat (AS) Rp 23.000 – Rp 30.000 per kg, sedangkan di Indonesia Rp 55.000 per kg dengan HPP Rp 28.000 per kg,” sahut Sauland.
PMK & LSD di Persapian
Pada komoditas ruminansia, yaitu sapi perah, dipaparkan oleh Ketua Umum GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia), Dedi Setiadi bahwa pada Mei 2022 Indonesia mulai terserang PMK pada ternak berkuku belah. Jumlah sapi perah yang terinfeksi PMK di bawah naungan koperasi ialah sebanyak 120.742 ekor, potong paksa 8.812 ekor dan mati bangkai 4.353 ekor. Total sapi yang dipotong paksa dan mati bangkai adalah 13.065 ekor, ia menilai bahwa angka ini sangat dahsyat.
Selengkapnya Baca Di Majalah TROBOS Livestock Edisi 281/Februari 2023