Jumat, 3 Pebruari 2023

Buntut Outbreak ASF & PMK, Populasi Babi Anjlok

Buntut Outbreak ASF & PMK, Populasi Babi Anjlok

Foto: 


Jakarta (TROBOSLIVESTOCK.COM). Semenjak wabah ASF merebak dan menginfeksi ternak-tenak babi di Indonesia pada 2019 lalu, dilaporkan terjadi defisit populasi babi sebanyak 3-4 juta ekor dan ini diperkirakan akan terjadi hingga 2028 atau 2030. Belum lagi kejadian PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) pada babi, yang berkontribusi menyusutkan populasi nasional. Ia menilai bahwa defisit 3 juta ekor babi itu sangat sulit untuk restocking, sebab belum ada vaksinnya.

 


“Biosekuriti kita sudah coba di beberapa daerah, ada yang gagal dan ada yang tidak. Terlebih kandang-kandang babi kita adalah kandang-kandang cluster, bukan individu dan ini yang menjadi masalah. Jika memang kebijakan pemerintah ke depan adalah cluster, perlu dilakukan biosekuriti lokal tetapi biasanya peternak-peternak lokal kurang rela jika harus bersama-sama,” ujar Ketua Umum Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI), Sauland Sinaga.

 


Populasi babi sebelum wabah ASF ialah 8,9 juta ekor di 2019, namun usai ASF menjangkit pada Desember 2019, populasi babi anjlok kira-kira 3 juta ekor sampai hanya tinggal 5 juta ekor. Sauland melaporkan bahwa hanya 2 provinsi yang belum terkena, yaitu Sulawesi dan Papua, karena populasi babi di sana sedikit. Ia pun memohon kepada pemerintah supaya arus transportasi lebih diperketat, pasalnya yang membuat penyakit babi seperti ASF dan PMK menyebar, adalah 16 % melalui lalu lintas, 14 % transportasi dan 42 % sisa makanan (FAO atau WOAH).

 


“Kini peternak sudah tidak menggunakan sisa makanan untuk pakan babi. Ini merupakan cerita pada 1960-an, saat ini peternak dengan adanya ASF tidak lagi menggunakan sisa makanan. Artinya jika kita jumlahkan di sini 100 % penyebab ASF dan PMK adalah manusia dan transportasi. Diketahui bahwa sejak kejadian ASF di Medan, Sumatera Utara, pertama kali, itu kita di Jawa stop transportasi babi dari Medan, tetapi 2 bulan kemudian Jawa, Bali, NTB (Nusa Tenggara Barat) terpapar,” kisahnya.

 


Ini membuktikan bahwa transportasi menjadi penyebab utama merebaknya penyakit viral ASF. Sauland mengajak untuk mengubah kerangka berpikir lama, bahwa peternak itu tidak pernah lari dari kandang, dia akan berusaha mempertahankan nyawa ternaknya. Maka itu yang menjadi masalah ialah pedagang, artinya pedagang yang membawa truk yang dari Medan ke Jawa disinyalir membawa tikus yang carrier ASF sehingga masuk ke RPH (Rumah Potong Hewan) dan menyebarkan virus.

 


Sauland mengimbau supaya regulasi harus diperketat, karena ke depan virus akan makin banyak. “Transportasi ternak itu memang regulasinya harus diketatkan. Maka itu bukan hanya Kementerian Pertanian saja yang turun tangan, tetapi juga Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perhubungan, karena negara kita kepulauan, bisa lewat laut dan darat. Jika kita bekerjasama, maka penyakit bisa kita tekan,” tegas dia.

 


Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) telah merilis produk SCoVet yakni serum untuk mencegah ASF atau demam babi Afrika, dan Sauland berterima kasih atas upaya pemerintah tersebut. Kendati demikian, berdasarkan beberapa riset yang dilakukan di Solo, Tegal Jawa Tengah, Medan dan Kalimantan diketahui bahwa SCoVet hanya mampu mencegah ASF sebesar 60 % saja. Berdasarkan pengalaman Sauland di lapangan, pemberian SCoVet dapat sedikit menekan kejadian ASF dan peternak masih bisa untung 10 %.

 


“Imbas dari ASF, defisit babi cukup besar, diprediksi pada 2030 populasi babi kita berkurang. Harga babi kita yang paling mahal, saingan kita adalah Korea Selatan, pendapatannya sangat berbeda jauh. Harga babi di luar negeri Rp 22.000 per kg, Amerika Serikat (AS) Rp 23.000 – Rp 30.000 per kg, sedangkan di Indonesia Rp 55.000 per kg dengan HPP Rp 28.000 per kg,” sahut Sauland. bella

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain