Marek, penyakit virus menular yang diberi nama sesuai dengan nama penemunya tampaknya sudah bergaya baru. Laporan penelitian ilmiah dalam beberapa tahun terakhir jelas membuktikan hal tersebut. Informasi paling “gres” yang dikemas dalam tulisan ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peternak dan kolega lapangan seputar penyakit Marek yang konsisten meledak secara sporadik di beberapa area di Indonesia.
Mengenal Virus Marek
Penyakit Marek pada ayam modern disebabkan oleh virus herpes-alfa yang tergolong satu keluarga (Herpesviridae) dengan virus herpes simpleks yang menyerang manusia. Pertama kali diidentifikasi oleh Jozsef Marek, seorang ahli patologi dari Hungaria pada 1907 sebagai kasus polineuritis (peradangan umum sistem saraf). Virus ini tersebar di seluruh dunia, bersifat neoplastik (mampu membentuk tumor) dan terbukti mengakibatkan kerugian ekonomis yang sangat signifikan dalam industri perunggasan dunia. Itulah sebabnya, dalam daftar penyakit hewan berbahaya yang dikeluarkan oleh OIE (Office International Des Epizooties), penyakit Marek dikategorikan dalam daftar B (daftar penyakit hewan yang penting secara sosial ekonomis dan atau dari aspek kesehatan masyarakat).
Kerugian ekonomis akibat serangan virus Marek dapat berupa kematian dan atau gangguan pada penampilan akhir (performance) ayam. Pada flok ayam yang terkontaminasi virus Marek, kondisi imunosupresi (tertekannya daya tahan tubuh ayam) yang ditimbulkan akan mengakibatkan meningkatnya kepekaan ayam terhadap infeksi oleh mikroorganisme lainnya, termasuk oleh mikroorganisme lingkungan. Selain itu, biaya pengembangan dan penggunaan vaksin Marek dalam industri perunggasan dunia juga tidak bisa dianggap kecil nilainya.
Dari 3 serotipe virus Marek yang ada, serotipe 1 dan 2 secara alamiah berasal dari ayam, sedangkan serotipe 3 berasal dari kalkun. Serotipe 2 dan 3 tidak membentuk tumor (non onkogenik), sedangkan serotipe 1 mempunyai kemampuan untuk menstimulasi pembentukan tumor (onkogenik) pada jaringan tubuh induk semang yang diinfeksi. Pola kontrol penyakit Marek yang mengandalkan penggunaan vaksin dalam beberapa dekade terakhir ternyata dapat menstimulasi virus Marek menjadi lebih ganas dan menunjukkan manifestasi patotipe (kerusakan jaringan tubuh) yang makin bervariasi, khususnya virus Marek dari serotipe 1. Witter (1998) dan Venugopal (2000), berhasil membuat penggolongan virus Marek seperti tertera dalam Tabel 1.
Tabel 1: Serotipe dan Patotipe Virus Marek
Serotipe: Patotipe: Kode: Strain: Vaksin:
1 Lunak m HPRS-B14, CU2, Conn-A Tidak ada
Ganas v HPRS-16, JM, GA Tidak ada
Sangat ganas vv RB1B, ALA-8, Md5, Md11 Tidak ada
Ganas sekali vv+ 610A, 648A Tidak ada
Atenuasi CVI988 (Rispens) Ada
2 Non onkogenik SB-1, HPRS-24, 301B/1 Ada
3 Non onkogenik HVT HVT-FC126, HPRS-26 Ada
Imunopatogenesis Marek
Patogenesis (perjalanan penyakit) infeksi Marek pada ayam sangat kompleks. Tidak ditularkan secara vertikal (trans-ovarial), akan tetapi penularan secara horizontal sangat penting. Virus Marek biasanya disebarkan lewat debu kandang (airborne route) yang mengandung ketombe bulu dan atau material kotoran ayam yang tertular. Selanjutnya secara per-inhalasi (lewat udara pernapasan), virus Marek masuk ke dalam jaringan tubuh ayam.
Target serangan virus Marek adalah sel limfosit (limfotropik), salah satu jenis sel darah putih yang bertanggungjawab untuk reaksi kekebalan. Itulah sebabnya, serangan Marek pada ayam akan mengakibatkan menurunnya respon kekebalan alias terjadi kondisi imunosupresi. Walaupun pada awalnya mekanisme infeksi Marek belum jelas, namun pada 2000, Payne dan Venugopal dari Inggris, mampu mendeskripsikan patogenesis Marek pada ayam menjadi empat stadium infeksi dengan rinci, yaitu:
a. Stadium Sitolitik Awal (early cytolytic infection): dalam fase ini, virus Marek yang baru saja melakukan invasi ke dalam jaringan tubuh ayam langsung menginfeksi sel-sel limfosit yang ada, termasuk yang ada di dalam jaringan-jaringan limfoid (tempat pembentukan dan pendewasaan sel limfosit). Dengan demikian, populasi sel limfosit yang bersirkulasi dan yang ada dalam jaringan limfoid akan menurun tajam. Bursa Fabricius dan timus akan mengalami pengecilan (atrofi). Itulah sebabnya, fase ini akan mengakibatkan terjadinya kondisi imunosupresi tahap pertama yang relatif kuat namun sifatnya sementara (transient immunosuppression).
b. Stadium Infeksi Laten (latent infection): dalam fase ini, tubuh induk semang berusaha melakukan kompensasi dengan cara meningkatkan pembentukan sel limfosit secara progresif. Aktifitas Bursa Fabricius dan timus akan kembali ke kondisi awal. Namun, sel-sel limfosit yang baru terbentuk ini umumnya sudah terinfeksi oleh virus Marek. Sebagian sel limfosit akan mengalami apoptosis (kematian sel) dan sebagian lagi akan tetap hidup walaupun secara biologis fungsinya sebagai sel-sel dalam respon kekebalan menurun. Adanya sirkulasi sel limfosit yang terinfeksi melalui sistem peredaran darah dan getah bening (limfatik) akan mengakibatkan penyebaran virus ke seluruh jaringan tubuh ayam yang bersifat laten.
c. Stadium Sitolitik Lanjut (late cytolytic infection with permanent immunosuppression): dalam fase ini, sebagian besar sel limfosit muda yang terinfeksi akan mengalami apoptosis dan sebagian lagi akan mengalami perubahan lanjut, yaitu transformasi neoplastik (berubah sifat menjadi ganas dan membentuk masa tumor). Dengan demikian, pada fase ini, terjadi kondisi imunosupresi tahap kedua yang sifatnya akan lebih progresif dan permanen.
d. Stadium Transformasi Neoplastik (neoplastic transformation): dalam fase ini, sel limfosit yang mengalami transformasi neoplastik akan menunjukkan mitosis yang tidak terkendali. Manifestasinya secara kasat mata adalah terbentuknya masa-masa tumor sel limfosit dalam berbagai jaringan tubuh ayam, terutama jaringan yang kaya akan pembuluh darah seperti hati, limpa, ginjal, paru-paru dan sistem saraf. Berhubung mekanisme infeksi dalam masing-masing stadium sangatlah kompleks, maka tidaklah mengherankan jika masa inkubasi infeksi Marek di lapangan sangat bervariasi, dari beberapa minggu sampai bahkan berbulan-bulan.
Manifestasi Lapangan Marek
Secara umum, menurut analisa Payne dan Venugopal (2000), manifestasi klinis dan patologis serangan Marek pada suatu populasi ayam dalam satu dekade terakhir dapat dibagi dalam 4 kelompok besar, yaitu:
Bentuk Klasik Atau Bentuk Saraf (classical or neural form). Gejala gangguan saraf berupa paresis (kelumpuhan parsial) dan paralisis (kelumpuhan total) dari anggota tubuh (termasuk leher) sangat dominan dalam bentuk ini. Bentuk ini biasanya ditemukan pada ayam yang berumur 2 – 12 bulan.
Bentuk Akut (acute from). Infeksi bentuk ini biasanya ditandai dengan adanya tumor-tumor sel limfosit yang nyata pada sebagian besar jaringan tubuh, termasuk kulit, alat-alat jeroan (viseral), otot, mata dan sistem saraf. Kematian tinggi biasanya menyertai bentuk ini dan kebanyakan ditemukan pada ayam yang berumur 3 – 6 bulan.
Bentuk Paralisa Sementara (transient paralysis). Bentuk ini sangat jarang terjadi dan ditemukan pada ayam yang berumur 5 – 18 minggu. Kelumpuhan total (paralisa) biasanya hanya terjadi selama 24 – 48 jam saja (sementara). Kadang kala disertai kematian ayam yang sangat rendah. Manifestasi ini diduga disebabkan oleh adanya ensefalitis (radang otak) akibat infeksi virus Marek.
Bentuk Sindroma Kematian Akut (acute mortality syndrome). Bentuk ini merupakan bentuk yang paling banyak ditemukan belakangan ini, baik pada ayam tipe petelur (layer) maupun tipe pedaging (broiler). Kematian biasanya sangat tinggi dengan persentase yang sangat bervariasi, tergantung pada derajat keganasan virus dan kondisi umum tubuh ayam. Kematian ayam biasanya terjadi pada stadium sitolitik awal. Oleh sebab itu, pada gambaran bedah bangkai hanya akan terlihat adanya pengecilan (atrofi) Bursa Fabricius dan atau timus, tanpa adanya manifestasi tumor pada jaringan tubuh ayam. Bentuk ini diyakini disebabkan oleh virus Marek yang ganas sekali (vv+MDV, highly very virulent Marek’s Disease Virus). Manifestasi Marek bentuk ini dapat ditemukan pada ayam yang sangat muda, yaitu di bawah 5 minggu.
Menurut Richard L. Witter (1998), dalam kurun waktu 50 tahun, virulensi alias keganasan virus Marek meningkat secara signifikan. Pada akhir dekade 50-an, isolat lapangan menunjukkan perubahan keganasan dari mMDV (mild) ke vMDV (virulent), akhir dekade 70-an dari vMDV ke vvMDV (very virulent), dan akhir dekade 90-an terjadi perubahan dari vvMDV ke vv+MDV (highly very virulent). Walaupun tidak menunjukkan perbedaan antigenisitas dan infektifitasnya (kemampuan menginfeksi)-nya, namun perubahan keganasan virus Marek di lapangan yang ditandai oleh adanya pergeseran patotipe (kelainan pada organ tubuh) ayam terinfeksi diduga lebih disebabkan oleh adanya penyimpangan atau pergeseran faktor antigenik (antigenic drift) virus Marek itu sendiri. Banyak para ahli berspekulasi, bahwa fenomena ini terjadi akibat intensifnya penggunaan vaksin Marek sebagai suatu metoda kontrol yang sangat diandalkan sejak awal dekade 70-an.
Pada tahap lanjut, selain perubahan patotipe, pergeseran faktor antigenik pada virus Marek ini ternyata juga mengakibatkan perubahan sifat-sifat biologisnya. Gangguan terhadap sistem saraf pusat (SSP) oleh vv+MDV misalnya, merupakan suatu contoh yang paling representatif. Adalah Zander (1959) pertama kali melaporkan adanya paralisa klasik sementara (transient classical paralysis) berupa kelumpuhan tiba-tiba otot anggota gerak dan leher dalam flok ayam yang terserang Marek. Kematian ayam biasanya terjadi dalam 24 – 48 jam setelah gejala tersebut tampak. Tegasnya, akibat adanya pergeseran faktor antigenik virus Marek, serangan terhadap SSP ayam ternyata mengalami pergeseran yang sangat signifikan seperti yang tampak dalam pengamatan Isabel Gimeno dkk. dari 1999 – 2001 (komunikasi langsung).
Pergeseran Manifestasi Klinis
Menurut Gimeno (2001), serangan vv+MDV terhadap SSP ayam dapat dijumpai dalam 3 bentuk manifestasi klinis, yaitu:
Paralisa Sementara yang Akut (ATP: Acute Transient Paralysis). Manifestasi klinis ini dapat terlihat dalam waktu kurang lebih 8 – 10 hari setelah terjadinya invasi vv+MDV. Flok ayam yang terserang biasanya menunjukkan kelumpuhan total dari anggota tubuh (kaki dan atau sayap) dan leher secara tiba-tiba serta diikuti oleh kematian yang sangat tinggi dalam tempo singkat akibat kegagalan jantung. Tidak terlihat gambaran tumor yang jelas pada organ tubuh, akan tetapi terjadi atrofi dari Bursa Fabricius dan timus. Pada layer, kasus biasanya ditemukan antara umur 12 – 17 minggu, sedangkan pada broiler biasanya antara umur 30-40 hari. Pada analisa lanjut secara epidemiologis, ternyata manifestasi klinis ini akan tampak dengan jelas dalam beberapa kondisi lapangan seperti:
o Serangan atau invasi vv+MDV terjadi pada ayam yang sangat muda, yaitu pada ayam yang berumur kurang dari 2 minggu.
o Flok ayam yang terserang memang tidak mempunyai zat kebal induk yang cukup dan atau berada dalam kondisi imunosupresi yang hebat.
o Secara genetis, strain ayam yang terserang tidak resisten terhadap serangan virus Marek (genetic resistance to MDV). Ini berarti, manifestasi klinis bentuk ini pasti akan jauh lebih nyata pada pejantan petelur komersil dibandingkan dengan pada broiler, karena “layer line” umumnya lebih peka terhadap virus Marek.
Di lapangan, adanya gejala saraf dan kematian tinggi sering dapat dikelirukan dengan serangan tetelo yang ganas (very virulent Newcastle Disease). Juga dapat dikelirukan dengan serangan Gumboro ganas (very virulent Infectious Bursal Disease) karena adanya atrofi Bursa Fabricius yang menyertai kematian tinggi.
Gangguan Saraf yang Persisten (PND: Persistent Neurological Disease). Umumnya merupakan kelanjutan dari bentuk ATP, dan muncul dalam tempo 12 – 15 hari setelah invasi vv+MDV. Bentuk ini biasanya ditandai dengan berbagai gangguan saraf, yaitu ataksia (kekejangan), inkoordinasi, tortikolis (tetelo), dan tremor yang sifatnya persisten. Di lapangan manifestasi ini sering sekali dikelirukan dengan serangan tetelo ganas atau serangan AE (Avian Encephalomyelitis). Kerugian umumnya disebabkan oleh tingginya persentase ayam yang diafkir. Di Indonesia, bentuk ini sering dijumpai di lapangan pada (ayam dara siap produksi) pullet petelur.
Paralisa Lanjut (LP: Late Paralysis). Gambaran ini sangat jarang terlihat di lapangan dan umumnya muncul dalam waktu 20 hari setelah terjadinya invasi vv+MDV. Tidak spesifik, namun kadang kala ditemukan setelah flok ayam mengalami bentuk ATP dan PND.
Strategi Kontrol
Secara teknis, untuk mencegah dan mengontrol serangan vv+MDV dalam suatu lokasi peternakan, dibutuhkan suatu langkah-langkah yang strategis dan terpadu, yaitu:
• Tingkatkan implementasi konsep-konsep sanitasi dan “biosecurity”, misalnya cukup istirahat kandang (minimum 7 hari dalam keadaan bersih), all-in all-out system, mengganti bahan litter untuk setiap angkatan ayam, dan menggunakan preparat disinfektan yang sesuai. Juga pemisahan lokasi kandang pullet dengan kandang ayam produksi.
• Pilih strain-strain ayam yang relatif tahan terhadap penyakit Marek.
• Terapkan tata laksana pemeliharaan yang elegan (lege-artis), sehingga ayam tidak terlalu stres.
• Lakukan kontrol yang baik terhadap kasus-kasus imunosupresif lainnya, misalnya infeksi Gumboro (IBD). Di beberapa sentra broiler, penggunaan vaksin autogenus IBD yang tidak terkontrol jelas akan membentuk suatu kondisi imunosupresif yang luar biasa pada ayam yang dipelihara. Juga fenomena vaksinasi Marek pada ayam arab atau ayam kampung di lokasi farm turut menyumbang terbentuknya suatu kondisi imunosupresif yang permanen.
• Lakukan vaksinasi Marek sebelum ayam terkontaminasi dengan vv+MDV dari lapangan. Penelitian telah membuktikan bahwa jika ayam terinduksi vv+MDV dalam waktu yang hampir bersamaan dengan waktu vaksinasi, maka efektifitas vaksin yang diberikan akan tinggal kurang dari 50 % (Witter, 1997). Itu sebabnya, rekomendasi untuk melakukan vaksinasi Marek di lokasi peternakan broiler komersil sangatlah tidak bijaksana. Adapun jenis vaksin yang direkomendasikan adalah dari serotipe 1 yang sudah mengalami proses pelemahan (atenuasi), yaitu strain CVI988/Rispens dengan dosis minimum 1000 PFU per-ekor ayam (standar minimal yang ditetapkan oleh OIE). Dosis di bawah 1000 PFU tentu saja tidak memberikan efek yang signifikan.
Di banyak negara seperti Amerika, Kanada dan negara-negara Uni Eropa, penggunaan vaksin Marek pada ayam pedaging adalah suatu hal yang lazim dilakukan. Ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya, yaitu,
Ayam pedaging dipanen pada umur 6 minggu ke atas (ayam besar).
Adanya bahan litter yang digunakan berulang-ulang (re-used litter) untuk beberapa periode angkatan ayam, sehingga memungkinkan terbentuknya suatu populasi vv+MDV yang potensial dan peluang ayam terinfeksi pada fase dini yang sangatlah besar.
Di Indonesia, penggunaan vaksin Marek bagi broiler bukanlah suatu tindakan yang aneh dan “diharamkan”, hanya saja harus melalui beberapa pertimbangan seperti di bawah ini:
a. Sejarah Peternakan, apakah peternakan tersebut memang sudah merupakan daerah endemik Marek. Tegasnya, apakah kasus Marek sering terjadi berulang-ulang, walaupun sudah dilakukan langkah-langkah strategis seperti yang tercantum dalam strategi kontrol kasus Marek di atas.
b. Waktu Aplikasi Vaksin. Seperti yang telah dijelaskan di atas, untuk menjaga efektifitas vaksinasi, maka aplikasi vaksin harus dilakukan sebelum ayam terinduksi oleh vv+MDV lapangan. Dengan kata lain, vaksinasi sebaiknya dilakukan sebanyak satu kali yaitu di lokasi gedung penetasan, bukan di lokasi peternakan broiler di lapangan.
c. Umur Panen Ayam. Lakukan analisa teknis dan ekonomis yang rinci, untuk ayam yang akan dipanen 5 minggu ke bawah dan yang di atas 5 minggu, apakah penggunaan dan penambahan biaya vaksin akan memberikan manfaat tambahan yang signifikan.
Tampaknya industri perunggasan modern yang berkembang begitu cepat dan efisien telah memberikan beberapa efek samping, yaitu terjadinya pergeseran keganasan bibit penyakit patogen di lapangan. Untuk menghadapinya, paradigma baru memang harus terus dikembangkan oleh peternak, agar efisiensi usaha tetap terjaga alias tetap menghasilkan keuntungan yang signifikan, tidak “buntung” dan ludes terbawa perjalanan waktu dalam bayang-bayang Marek. TROBOS
(Anggota Dewan Pakar ASOHI)