Perlu duduk bersama antara pelaku hulu dan hilir di bisnis domba kambing (Doka) agar sama – sama berkembang. Disatu sisi, peran pemerintah untuk mengatur tata kelola hulu – hilir. Mulai dari sisi edukasi, aturan dan pihak terkait lainnya
Usaha budidaya domba dan kambing (Doka) mempunyai prospek yang sangat besar untuk lebih dikembangkan. Banyaknya permintaan akan domba dan kambing untuk tujuan acara keagamaan (Hari raya kurban dan aqiqah), kuliner serta untuk pemenuhan ekspor juga sangat menjanjikan. Pangsa pasar industri akikah sebesar 224 ribu ekor per bulan dan kurban sebanyak 1,03 juta ekor per tahun. Sehingga kurang lebih membutuhkan 1-1,5 juta ekor indukan sebagai mesin produksi yang kedepan diintegrasikan dengan rantai pasok industri hilir.
“Kebutuhan industri tersebut perlu didukung oleh konsolidasi peternak (industri) pembiakan dan pembibitan,” ungkapan tersebut disampaikan Agung Suganda, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, (Ditjen PKH) Kementaran dalam suatu Focus Group Discussion (FGD) Domba dan Kambing di Bogor, beberapa waktu lalu.
Hanya menurut Presiden Aspaqin (Asosiasi Pengusaha Aqiqah Indonesia), Fahmi Thalib bahwa kebutuhan pasar saat ini cenderung menyukai domba dan kambing dengan berat karkas di kisaran 7- 8 kg. “Menyikapi perkembangan ini, peternak didorong mulai membuat usaha pembibitan domba dan kambing untuk mengantisipasi kebutuhan pasarnya. Kami pun mendorong kolaborasi antara Aspaqin dan HPDKI guna membuat roadmap pengembangan pembibitan domba dan kambing menyikapi kebutuhan pasar ini,” pintanya.
Ditambahkan Teguh Arief Hidayat Ketua Dewan Pembina Aspaqin bahwa saat ini di pasar cenderung yang banyak diminati paket akikah murah. Indikatornya, di perusahaan akikah milik sendiri pun dari beberapa paket yang ditawarkan mulai dari domba tipe kecil sampai besar ternyata yang banyak permintan dari konsumen merupakan tipe kecil.
Rata – rata harga jual paket akikah saat ini, ia sebutkan untuk harga menengah sekitar Rp 2 – 2,5 juta per paket (sudah termasuk biaya masak). Tetapi banyak juga yang menjual Rp 1,5 – 1,7 juta per paket sudah lengkap. “Harga itu yang banyak permintaannya di masyarakat, karena lebih ke arah terpenuhi sunahnya terkait ibadah akikah ini,” cetusnya.
Permintaan pasar saat ini yang lebih kepada doka ukuran kecil, kelebihan yang di peroleh pelaku aspaqin menurut Heryo Shasikirono, Ketua Bidang Resourches Aspaqin adalah cash flow lebih cepat dan memelihara tidak terlalu lama. “Sedangkan di peternak pun, beban dalam memelihara ternak tidak begitu berat,” ujarnya.
Harga Berkeadilan
Sistem rantai pasok doka yang ada di Indonesia, menurut Yudi Guntara Noor Ketua Umum Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI), diantaranya konsumsi atau kuliner, ibadah seperti akikah dan kurban dan terakhir pasar lainnya. Kalau dilihat dari dua teratas yaitu kuliner dan ibadah bahwa supply chain-nya harus terintegrasi hulu sampai hilirnya.
Tapi ada satu yang harus dipahami, bahwa petani pun mempunyai nilai keekonomisan dalam beternak. “Maka kita harus menciptakan harga yang berkeadilan. Jika sekarang peternak menjual doka dengan bobot kecil dan harganya murah. Peternak tidak akan mendapat keuntungan dalam beternaknya,” jelasnya.
Sementara Benedictus Bobby Chrisenta, peternak domba kambing di Karo, Sumatera Utara mempertanyakan apakah peternak mendapat untung yang cukup untuk kehidupan sehari – harinya kalau doka yang dijual ukuran kecil. Selain itu, peternak doka di dalam negeri masih didominasi orang – orang tua yang masih beternak dengan tradisional. Serta memiliki doka untuk tabungan dan tidak pernah menghitung tenaga dan waktu atau di daerah Jawa disebut Rojo Koyo.
Di satu sisi memang harga doka sudah meningkat dibanding 2 – 4 tahun lalu. Seperti di salah satu sentra Doka nasional, Jawa Timur yang dulu paling murah harga Doka sampai bisa ekspor sekarang harganya cukup tinggi. Saat ini harga Doka Rp 60 – 65 ribuan per kilogram bobot hidup, dibandingkan dulu saat ekspor pada 2018 – 2019 harganya hanya Rp 23 – 27 ribuan per kilogram. “Ekspor pertama itu hanya Rp 30 ribu perkilogram sudah digemukkan dan bakalannya Rp 25 ribu per kilogram. Jadi sekarang sudah meningkat 2 – 3 kali lipat,” terangnya.
Kondisi sekarang, lanjutnya mengakibatkan peternak sudah melirik kearah pembiakan dan breeding. “Ini satu sisi positif juga untuk ketahanan pangan kita,” cetusnya. Namun untuk menjawab keinginan dari pelaku akikah, Bobby menyebut sedang mengusulkan ke Litbang DPP HPDKI dengan menciptakan Sumber Daya Genetik (SDG) lokal. “Kita mempunyai banyak SDG lokal seperti ada kambing kosta, domba ekor tipis, domba ekor gemuk yang dari segi fisik tidak terlalu besar akan tetapi dicoba bagaimana prolifikasinya serta susunya meningkat sehingga bisa merawat anaknya dengan baik,” jelasnya pria yang juga menjabat sebagai Ketua Divisi Budidaya Ternak Perah DPP HPDKI ini.
Peternak yang Memilih
Yudi melihat permasalahan yang terjadi di hilir saat ini, bukan masalah kecil atau besarnya ukuran tetapi kenaikkan harga dan ketersediaan ternaknya. Terkait harga tentunya harus disesuaikan. Jika industri untuk suplai harus menyesuaikan permintaan, namun sekarang bisa juga permintaan harus menyesuaikan suplai. Seperti permintaan domba besar yang sudah mulai ada, sehingga berdampak terhadap ketersediaan domba kecil. Ada dua akibat terhadap pelaku di hilir dari kondisi tersebut, pertama mempertahankan jual domba kecil, namun agak kesulitan dalam mencapai jumlah tertentu. Kedua, merubah paragdigma dengan menyesuaikan domba yang relatif besar dan ketersediaannya ada.
Dia sedikit cerita, pertama kali mensuplai karkas untuk suatu group kuliner sate yang cukup besar di daerah Jabodetabek. Dulu maksimum karkasnya 25 kg, jika mengirim lebih dari bobot tersebut hanya dibayar sebesar 25 kg. “Saat ini menggunakan ternak doka yang bobotnya diatas 35 kg, diserap juga oleh mereka dan tidak masalah,” urainya.
Ia menerangkan peternak saat ini akan memilih mana yang lebih menguntungkan dan industri harus bisa menyesuaikan. Pasar tidak bisa seutuhnya mengatur suplai, harus dilihat terlebih dahulu. Mungkin jika suplai banyak demand akan bisa men-drive suplai, tetapi dengan pasokan sangat ketat saat ini harus menyesuaikan dengan kondisi bisnis model yang sedang berjalan. “Suatu saat mungkin dengan bakalan dan anak domba yang banyak dihasilkan akan tersedia domba kecil dengan harga yang terjangkau. Untuk satu sampai dua tahun kedepan agar bisnis bisa bertahan harus melihat sistem produksi yang ada,” jelasnya.
Memang bagi pelaku usaha akikah, pilihannya tidak banyak karena harus mendapatkan doka hidup. Berbeda dengan usaha kuliner, jika tidak mendapatkan ternak murah akan mencari daging impor. “Memang data terbaru, hampir naik 300 persen impor daging domba. Tapi biasanya kalau harga daging impor mahal pun akan kembali ke daging lokal juga, jadi kita tidak akan di tinggalkan. Lalu, teman – teman pelaku akikah merupakan salah satu pasar dari industri peternakan doka tanah air, maka kita harus support juga,” sebutnya.
Saat ini restocking nasional yang sejak beberapa tahun terakhir digaungkan HPDKI sudah berjalan, jika dihitung secara kasar mungkin lebih dari 100 ribu ekor betina akan menjadi indukan karena indikasinya impor cukup banyak pejantan. Satu farm bisa membutuhkan 50 – 100 ekor betina untuk satu pejantan unggul yang diimpor. “Cukup bagus, sehingga banyak betina produktif yang terselamatkan. Selain itu, kita tidak harus melarang peternak untuk menjual betina produktifnya atau melakukan penindakan,” jelasnya.
Di lapangan, dituturkan Yudi dengan kondisi seperti ini peternak mendapat pilihan untuk menjual ternak menjadi lebih baik atau menyelamatkan tidak dipotong karena ada pasar indukan. Saat ini untuk ternak doka indukan harganya 30 persen lebih tinggi dibanding pasar ternak potong. Misalnya, harga domba garut untuk potong Rp 60 ribu per kg bobot hidup, sedangkan kalau menjual untuk indukan harganya bisa Rp 80 – 90 ribu per kg bobot hidup. “Pasar indukan cukup menarik bagi peternak, walaupun tidak semua betina menjadi indukan,” tegasnya.
Diakui Martinus Alexander, Ketua Divisi Budidaya Ternak Potong DPP HPDKI, saat ini mempunyai doka betina lebih aman karena harga tidak akan turun dibandingkan jantan. Mempunyai ternak doka jantan hasil penggemukan dengan bobot badan dikisaran 30 – 35 kilogram akan lebih pusing menjualnya daripada mempunyai betina dengan berat yang sama. Walaupun memang masih banyak peternak tradisional yang tidak paham sehingga tetap menjual betina produktif untuk dijadikan ternak potong. “Sejak mulai beternak pada 2007, harga doka betina hanya Rp 18 ribu per kilogram dan jantan Rp 22 ribu per kilogram dan waktu itu masih banyak memotong jantan daripada betina. Namun, 2012 sampai sekarang lebih banyak potong betina karena lebih laku,” urainya.
Sambungnya, jika mendapat bibit yang baik tentunya peternak lebih sejahtera. Sebenarnya dengan pemotongan ternak bobot ukuran 18 – 25 kilogram peternak belum sejahtera. “Peternak sejahtera kalau beratnya sudah 27 kilogram,” cetus pria yang akrab disapa Alex ini.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 282/ Maret 2023