Subsektor peternakan di Indonesia merupakan bagian integral dari sektor pertanian yang sangat strategis, karena berkontribusi besar terhadap pendapatan devisa negara dengan melibatkan banyak pihak dalam subsistem agribisnis dari hulu hingga hilir. Mulai dari penyediaan sarana produksi, budidaya, pengolahan, pemasaran, distribusi, dan konsumsi. Arah pembangunan peternakan di Indonesia yakni menuju pada peningkatan produksi hasil peternakan, untuk menjumpai swasembada dan sekaligus meningkatkan pendapatan peternak menuju kesejahteraan yang lebih baik.
Faktanya secara aktual di lapangan, peningkatan produksi peternakan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan peternak. Khususnya di bidang usaha perunggasan pada komoditas ayam pedaging (broiler), yang pertumbuhannya telah surplus produksi. Hal ini sangat mengenaskan, sebab langkah dalam menggiatkan produksi ternyata tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan peternak ‘kecil’ yang menjalankan usahanya secara mandiri di luar skema kemitraan inti-plasma oleh perusahaan besar.
Peternak Rakyat ‘Tergilas’
Bidang usaha ini mengalami kekacauan, pasalnya terjadi ketimpangan struktur pasar oleh pelaku usaha industri yang melakukan integrasi unit bisnis dari hulu ke hilir. Alhasil, ini bermuara pada tersingkirnya para pelaku usaha peternak rakyat, karena keterbatasan modal kapital. Struktur pasar oligopoli sangat terlihat dalam bisnis perunggasan, di mana pelaku usaha perunggasan terkonsentrasi hanya pada segelintir pihak, baik dalam penguasaan aset, omzet maupun pangsa pasar. Di sisi lain, terdapat peternak kecil yang jumlahnya ribuan.
Penguasaan yang didominasi oleh segelintir pihak di bisnis perunggasan ini, terjadi karena minimnya akses dan kepemilikan modal kapital bagi para peternak kecil. Semangat pembangunan ekonomi dalam mengejar akumulasi kapital, membuat perusahaan besar dengan mudahnya menguasai seluruh lini bisnis, mulai dari produksi hingga pemasaran, bahkan secara terselubung ikut bermain dalam menentukan harga. Hal ini disebabkan mereka memiliki segalanya, mulai dari modal, indukan bibit ayam (grand parent stock/GPS), bibit anak ayam (day old chick), pakan, obat-obatan, vaksin, teknologi modern, peralatan pascapanen yang canggih, dan disertai dengan dukungan sumber daya manusia yang terampil dalam mengelolanya.
Suasana kacau selalu terjadi di saat musim panen. Di mana harga jual ayam (live bird/LB) di tingkat peternak selaku produsen, sangat rendah dan tidak mampu menutupi harga pokok produksi (HPP). Rendahnya harga ayam di tingkat produsen, harusnya berimplikasi langsung terhadap turunnya harga jual ayam di tingkat konsumen, nyatanya harga ayam tetap normal, seperti tidak terpengaruh terhadap rendahnya harga jual ayam yang dialami oleh peternak kecil. Maka, para peternak kecil ini memang sudah sepatutnya mempertanyakan, di mana peran pemerintah? Karena mekanisme harga yang tidak beraturan ini terjadi di luar kendali peternak kecil.
Masalah harga jual yang ‘tidak berperasaan’ juga berlaku untuk komoditas layer (ayam petelur). Seperti peternak di Kendal, Jawa Tengah yang sempat mewanti-wanti akan mengepung istana negara dengan telur dan ayam, apabila harga jual telur di tingkat peternak tidak kembali pulih. Pemerataan dan distribusi kekayaan yang adil akan meningkatkan rasa keamanan manusia (pemenuhan hak dasar manusia secara setara untuk hidup bermartabat, bebas dari rasa takut, bebas dari kemelaratan, dan bebas dari penghinaan), jika orang miskin mendapat manfaat dari bagian kekayaan yang dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, konsentrasi kekayaan akan memperlebar kesenjangan sosial dan ketidaksetaraan, lebih dari itu, bahkan dapat menyebabkan kebencian dan kerusuhan politik.
Perlu Campur Tangan Pemerintah
Pemerintah yang memegang kekuasaan secara monopoli, memiliki kendali, dan bertanggung jawab penuh terhadap warganya, harusnya mampu ikut campur tangan dalam rangka menjalankan peran utama untuk memastikan kelangsungan hidup, dan memelihara martabat warganya secara setara, namun pemerintah seolah nampak tidak mampu berbuat banyak guna mengatasi kekacauan dalam tata niaga perunggasan ini.
Melihat kondisi ketimpangan sosial yang tajam dalam agenda pembangunan peternakan, dikhawatirkan akan muncul gerakan politik identitas yang berasal dari situasi ketidakadilan yang berangkat dari kesamaan nasib yang dialami oleh kelompok peternak kecil yang tertindas dalam sistem pasar oligopoli yang tumbuh subur. Negara harus waspada terhadap politik identitas yang dari tumbuh dari kesenjangan sosial di bisnis perunggasan, dan mulai serius memperhatikan nasib kelompok peternak kecil. Kesenjangan sosial adalah gejala yang timbul di masyarakat, karena adanya perbedaan batas kemampuan finansial dan status sosial pada masyarakat yang hidup dalam lingkungan atau sistem tertentu.
Pemerintah wajib hadir dalam rangka memastikan iklim persaingan usaha perunggasan agar dapat berjalan kondusif dengan menegakkan regulasi yang berkeadilan untuk pelaku usaha besar, menengah, dan kecil. Dengan demikian, harapannya tidak ada lagi kelompok yang merasa tertindas, diabaikan, dihina, dan didiskriminasi dalam pentas pembangunan peternakan. Bersamaan dengan hilangnya perasaan-perasaan menderita tersebut yang dirasakan oleh kelompok peternak kecil dan digantikan oleh perasaan terhormat, maka negara tidak perlu khawatir akan kehilangan dukungan politik dan tidak perlu takut ada tragedi pemberontakan yang lahir dari kelompok peternak kecil dalam rangka mengatasi keluhan mereka yang disebabkan oleh sistem yang tidak adil di bisnis perunggasan.TROBOS
Mahasiswa Program Studi Magister Perdamaian
dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada 2022