Tidak hanya strategi kolektif dan mandiri dengan efisiensi serta berdaya saing yang dilakukan peternak agar bisa bertahan dan kembali memperjuangkan eksistensinya. Tetapi harus ada kebijakan yang berbasis data hasil kajian dan penelitian yang profesional, independen, dan sinergi multi stakeholders agar semua pihak dapat tumbuh
Peternak mengeluhkan betapa tidak kondusif bisnis broiler saat ini. Budiyanto, peternak broiler di daerah Cianjur, Jawa Barat, menyebutkan kondisi sekarang muncul akibat adanya supply-demand yang tidak sesuai. “Jika terus dibiarkan, lama kelamaan peternak mandiri dapat mati semua. Saat ini peternak mandiri dalam kondisi sudah lesu dan sakit dalam usahanya,” keluhnya.
Kalau saja supply broiler diatur, lanjutnya, tentunya akan menguntungkan bagi semua pihak. Baik itu peternak, maupun pabrikan. Ia berpendapat kunci dari permasalahan ini ada pada supply yang seharusnya bisa diatur sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah untuk menyerap ayamnya.
Permasalahan saat ini bukan hanya pada ayam yang berlimpah, namun juga diperparah dengan jumlah karkas yang over pada cold storage (ruang pendingin). Sedangkan karkas pun memiliki masa jenuhnya. Biasanya karkas mencapai masa jenuh hingga 8 bulan. Sementara operasional untuk pemeliharaan karkas juga membutuhkan uang tidak sedikit.
“Informasinya sudah mencapai 200.000 ton karkas yang terdapat cold storage. Jika memang benar maka kondisi ini sudah mengguncang harga LB. Analoginya adalah untuk menghabiskan karkas jumlah tersebut butuh waktu paling tidak 1 bulan, namun dengan jumlah LB yang terus bertambah, maka diprediksi baru bisa habis sampai 6 bulan. Dengan jangka waktu tersebut, peternak belum tentu sanggup bertahan. Maka dari itu, kejujuran sangat dibutuhkan untuk kepentingan bersama,” jelasnya.
Jumlah Peternak Berkurang
Budiyanto menyatakan berkurangnya jumlah peternak mandiri cukup nyata. Buktinya, sejak 3 – 5 tahun ke belakang peternak mandiri hanya tersisa 20 % kini mungkin tinggal 10 %. Itupun umumnya peternak yang memiliki kandang sudah beralih menjadi mitra.
Sementara itu, M. Fathoni Mahmudi, pemilik beberapa peternakan broiler di daerah Jawa Timur menyebutkan kemungkinan jumlah peternak mandiri di Jawa Timur tidak sampai 15 %. Ia bercerita bahwa, dulu market share untuk peternak mandiri 100 %. Kemudian setelah pabrikan membuat intergrasi berbudi daya, maka secara otomatis market share ikut bergeser dan berubah.
Market share yang ada sekarang dengan 5 tahun lalu sangat berbeda, perusahaan-perusahaan dahulu hanya menjual bibit, pakan, dan obat. Kalaupun berbudi daya, orientasinya hanya untuk menekan cost. Target mereka pada saat awal mengembangkan integrasi hanya untuk menampung barang sisa seperti DOC (ayam umur sehari) yang tidak terserap. Namun kini berbeda, peternak harus mengupayakan kembali dan memperjuangkan market share-nya.
“Problematika masing-masing peternak didaerah berbeda – beda. Seperti banyak teman-teman yang di PKPU atau dipailitkan. PKPU ialah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimana kemampuan peternak membayar hutangnya semakin kecil, sehingga yang menghutangi tidak lagi merasa bahwa yang berhutang bisa mampu bayar hutang. Akhirnya digugat secara resmi ke pengadilan untuk dipailitkan. Itu salah satu masalah yang tengah dirasakan peternak mandiri hingga mengalami kebangkrutan,” paparnya.
Ia mengatakan banyak peternak mandiri yang sekarang akhirnya memilih untuk bermitra. Namun dirinya merasa bahwa hal tersebut bukanlah pilihan yang tepat. Pasalnya, dengan memutuskan untuk bermitra bukan tidak mengurangi masalah, akan tetapi menambah permasalahan teknis lainnya yang memiliki risiko tinggi seperti kehilangan tanah beserta kandangnya.
Di sisi lain, Pardjuni peternak broiler di Jawa Tengah mengungkapkan bahwa peternak mandiri yang tersisa mungkin hanya 20 %, terhitung sejak 2014. Sisanya sudah gulung tikar, berganti usaha lainnya, atau beralih menjadi peternak mitra. “Di Jawa Tengah juga ada beberapa farm yang dulu memang mandiri tapi tidak kuat. Akhirnya merubah farm dengan menggunakan kandang tertutup (closed house) dan bermitra dengan perusahaan. Mungkin jumlahnya bisa mencapai 30 %,” prediksinya.
Senada dengan Fathoni, Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jawa Tengah ini mengatakan bahwa dengan bermitra bukan menjadi sebuah solusi. “Menjadi mitra sangat berkaitan dengan mental. Kalau saya lebih baik berganti profesi tidak menjadi peternak lagi dibandingkan harus bermitra dan menjadi plasma,” tegasnya.
Menurut Pardjuni, melonjaknya jumlah karkas dan LB menjadikan kondisi bisnis broiler tidak baik. Kemudian, cold storage yang sebelumnya merupakan sebuah solusi kini menjadi sebuah permasalahan baru sebab melebihi kapasitas yang semestinya.
“Idealnya, kalau pemerintah hanya mencadangkan 15 % stok penyimpanan, maka jumlah karkas yang disimpan sebaiknya maksimal 15 % pada cold storage. Selain itu, kasus berbeda antara ayam dengan jagung. Mungkin jagung bisa disiapkan cold storage minimal 50 % atau bahkan 100 % karena ada musim panen dan kosong, sama halnya pula dengan beras. Tetapi kalau ayam, panennya setiap hari. Kalau penyimpanan melebihi 50 % dari supply yang ada, maka sudah harus dihentikan secepatnya,” ungkapnya.
Makna Eksistensi
Meskipun kondisi tidak kunjung membaik, namun nyatanya masih banyak peternak yang tetap mempertahankan eksistensinya di industri perunggasan ini. “Menjadi peternak sudah menjadi mata pencaharian utama, kami bertahan karena memang berharap beternak broiler jangan sampai berhenti bagi peternak mandiri. Kalau semua beternak broiler masuk ke perusahaan, rakyat seperti kami tidak mempunyai mata pencaharian lagi. Memang diperlukan efiensi dengan memanfaatkan teknologi dan sebagainya, tapi jangan sampai orang-orang yang membutuhkan kehidupan dari usaha produksi protein hewani ini tidak dapat bagian,” sesal Pardjuni.
Ia mengutarakan, harapan peternak yang paling utama adanya perbaikan dengan porsi hak rakyat kecil untuk berusaha diperhatikan. “Saya bukan semata-mata hanya ingin mendapatkan insentif dari beternak broiler ini, namun bagaimana sesama rakyat kecil dapat sama-sama hidup. Walaupun terkadang logika sudah tidak jalan, hanya punya keyakinan bahwa rezeki sudah ada yang mengatur,” kisahnya.
Bagi Fathoni, eksistensi berkaitan erat dengan progres perkembangan usaha peternak mandiri dan keberlanjutan dari usahanya tersebut. Kedua hal itu merupakan prasyarat mutlak untuk menghadirkan eksistensi bagi peternak mandiri. “Permasalahannya sekarang, untuk sustain saja peternak sulit sehingga bagaimana mau berkembang. Untuk sekedar bertahan hidup saja sulit, tidak ada keberpihakan dari pemerintah, sehingga upaya perlindungan bagi peternak mandiri harus terus diperjuangkan. Kita tidak boleh menyerah dan tidak mau kalah di tanah kelahiran,” tegasnya.
Lanjutnya, dapat dikatakan kondisi ideal apabila harga jual ayam di atas Harga Pokok Produksi (HPP), kendati pun hanya Rp 500 atau Rp 1.000 per kg. Kondisi tersebut bisa tercipta dengan adanya supply yang seimbang. Oleh itu, perlunya komitmen dan didukung data produksi DOC yang benar dan jujur.
Budiyanto mengaku peternak hanya menginginkan usaha beternak ayam berjalan semestinya. “Satu-satunya yang mendorong peternak mandiri untuk bertahan adalah harapan dimana terjadi mekanisme yang sewajarnya,” ucapnya.
Langkah – Langkah untuk Bertahan
Secara umum, semua peternak ingin bertahan dengan beragam cara. Seperti yang dilakukan Fathoni, yang tetap berusaha sampai titik penghabisan. Misalnya dengan lebih efisien dan berdaya saing melalui berbagai hal seperti mulai dari teknis, pemasaran, ataupun dengan teknologinya. “Poinnya adalah bagaimana menggunakan sumber dana yang sudah semakin terbatas untuk bisa tetap bertahan hidup. Kita tidak hanya diam menunggu habis, tetapi akan tetap aktif dan berusaha,” tandasnya.
Dia utarakan tidak semua teknologi dapat diterima peternak, contohnya pada penggunaan closed house. Untuk biaya operasional closed house tidak sedikit. Sebenarnya jika dengan penggunaan kandang terbuka dengan baik hasilnya bisa berimbang dengan closed house, sehingga nilai efisiensinya akan terlihat.
“Saat ini dalam beternak broiler, manajemennya semua harus diperhitungkan dan diukur serta setelah diaplikasikan harus dievaluasi apakah signifikan atau tidak. Berapa nilainya, tolak ukur dan parameternya pun harus jelas. Bicara tentang efisiensi, yang sebenarnya kualitatif coba ditarik ke ranah kuantitatif. Efektivitas itu tentang kualitatif, tapi dicoba untuk membuat tolak ukurnya agar muncul angkanya secara kuantitatif, yang kemudian kita kontrol dan evaluasi,” jabarnya.
Senada dengan Pardjuni yang beternak broiler lebih ke manajemen efisiensi. Efisiensi menurutnya menyangkut performance, juga hasil dari sarana dan prasarana peternakan (sapronak) yang digunakan. Kalau terjadi kesalahan dalam menghitung, dengan tingkat efisiensi yang sama mungkin cost yang dikeluarkan masih tinggi, artinya bebannya masih tinggi.
Kemudian untuk biaya operasional memang relatif, arti kata lebih rendah bukan supaya terjangkau, melainkan harus seimbang dengan hasil yang didapat. Adapun biaya operasional yang dapat diefisiensikan mencangkup penggunaan kendaraan dan bahan bakarnya, listrik, peralatan, dan yang lainnya.
“Sementara hanya itu yang bisa kita lakukan, disamping bahan baku yang tidak bisa diutak-atik. Mereka (perusahaan integrasi)memiliki kondisi dimana hanya perusahaan yang handle. Kita sebagai peternak mandiri hanya bisa mengakalinya seperti misalnya dengan membayar sapronak secara cash. Ini juga termasuk efisiensi karena biasanya dengan membayar cash diberikan potongan harga,” pungkasnya.
Sambungnya, hal yang sama ketika memilih DOC, peternak bisa memilih kualitas dan harga pada grade DOC. Setiap grade tentunya akan menghasilkan kualitas tertentu yang pada akhirnya memunculkan angka sewaktu panen berbeda juga. Akan tetapi, harga DOC yang lebih mahal belum tentu efisiensi lebih terjamin. Pasalnya, efisiensi akan lebih ditentukan dari bibit atau indukannya. Induk pada puncak produksi dengan umur yang tua dengan umur muda akan memberikan hasil dengan kualitas yang berbeda.
Pardjuni kemukakan HPP menjadi kunci utama untuk bertahan pada kondisi sekarang ini. Peternak yang bisa menciptakan HPP terendah maka akan menjadi pemenangnya, akan habis paling akhir. Semakin rendah HPP yang dikeluarkan semakin tinggi keuntungannya, dan sebaliknya apabila sedang rugi maka ruginya lebih rendah.
Selain itu, ia menyarankan kepada peternak untuk membuat suatu terobosan seperti menjual daging atau karkas, sehingga tidak hanya dijual dalam bentuk LB. “Memang nantinya kita harus menciptakan outlet-outlet sendiri. Ketika saya memiki Rumah Potong Ayam (RPA), risiko kerugian pada budi daya dapat dikurangi dengan adanya profit dari penjualan karkas. Kemudian menjual langsung ke pengecer,” urainya.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 283/ April 2023