Berharap kedepannya mampu membuat pakan berbentuk pellet
Menggeluti usaha itik petelur sejak 1995, membuatnya kenyang pengalaman. Kendati demikian, tidak mudah untuk bertahan hingga saat ini. Terlebih, berbagai macam rintangan kerap dialaminya. Seperti kata pepatah nahkoda yang tangguh tidak dilahirkan dari laut yang tenang, tetapi lahir di laut yang penuh dengan ombak dan badai.
Ungkapan itu rasanya patut diberikan kepada peternak itik petelur di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara yang bernama Mat Yasin. Pria berumur 65 tahun ini memulai dari 50 ekor. Pada waktu itu, sebelum tahun 2.000, harga itik petelur dikisaran Rp 7.500 per ekor dengan umur 4-5 bulan. “Tidak ada pilihan lain selain beternak itik petelur. Dari pada tidak bekerja alias menganggur kala itu lebih baik fokus beternak itik petelur,” ungkap Yasin kepada TROBOS Livestock baru-baru ini.
Yasin menjelaskan, bahwa dulunya peternakan itik di kampung halamannya masih dilakukan secara ekstensif. Artinya dipelihara dengan digembalakan (angon). Namun lambat laun, pola pemeliharaan tersebut beralih ke intensif.
Dengan kata lain, itik petelur dipelihara menggunakan kandang dengan sistem berbentuk sekatan persegi panjang. Tujuannya agar memudahkan dalam memantau produksi telur yang dihasilkan oleh itik. Adapun itik yang dipelihara ialah itik Indramayu.
Berjalannya waktu, populasi itik petelur milik Yasin semakin bertambah. Sayangnya, waktu itu terjadi wabah flu burung di Tanah Air menjadikan usahanya terhambat. Dikarenakan dari pemerintah setempat mengharuskan adanya pemusnahan unggas guna mengendalikan wabah flu burung. Salah satunya pemusnahan di kandang miliknya. Padahal, kala itu, itik petelur yang dipeliharanya tidak ada satupun yang terindikasi flu burung.
“Setelah dilakukan perundingan dengan pemerintah setempat serta dilakukan sosialisasi berupa tips pengendalian flu burung. Akhirnya pemusnahan tersebut batal dilakukan. Saya pun bersyukur pemusnahan itik-itiknya batal dilakukan,” jabar Yasin.
Manajemen Pemeliharaan
Yasin mengaku tidak mudah untuk menjalankan bisnis usaha itik petelur. Misalnya, ketika musim hujan tiba, produksi telur akan menurun mencapai 50 %. Hal tersebut menjadi hal yang paling dikhawatirkan oleh Yasin karena akan berpengaruh terhadap keuntungan yang didapatkannya.
Selain itu, limbah itik petelur yang konon berbau juga menjadi tantangan tersendiri dalam menjalankan usaha itik petelur. Guna mengakalinya, lanjut Yasin, yakni dengan memberikan pakan yang berkualitas.
Ada dua jenis pakan yang diberikan oleh Yasin kepada itik petelur miliknya. Diantaranya ada roti BS (afkir) dan kepala udang sebagai amisan. “Kepala udang bertujuan untuk mempercepat produksi sekaligus menjaga kestabilan produksi telur,” kata Yasin.
Yasin mengimbuhkan untuk 100 ekor itik petelur kiranya membutuhkan 20 kg (kilogram) kepala udang dan 5-10 kg roti BS. Untuk pakan kepala udang diperoleh dari pemasok (supplier) dari wilayah Muara Angke. Sementara untuk roti BS didapatkan dari wilayah Bekasi dan DKI Jakarta. “Per harinya untuk 100 ekor itik petelur mengeluarkan biaya pakan sebesar Rp 50.000,” ungkap Yasin yang telah memiliki 4 orang anak dan 1 istri ini.
Umumnya, itik yang dibeli berumur 4-6 bulan yang belum berproduksi. Sehingga ketika itik petelur tiba di kandang dilakukan isolasi dengan diberikan pakan sedikit demi sedikit hingga pakan tersebut tak tersisa. Tujuannya ialah mengetahui berapa jumlah pakan yang dikonsumsi sebelum dipindahkan ke kandang yang berbentuk persegi panjang.
Sementara untuk kandang berukuran 15 meter kali 5 meter untuk populasi 50 ekor. Hingga kini, populasi itik petelur milik Yasin sudah menembus 1.000 ekor. Di lain sisi, untuk limbahnya sendiri sudah terurai dengan sekam yang setiap 3 atau 5 hari dilakukan penambahan sekam sebagai alas kandang. “Alhasil, untuk limbahnya tidak pernah saya jual,” ujar Yasin.