Industri Sapi Perah Belum Pulih

Industri Sapi Perah Belum Pulih

Foto: Dok. Kementan


Saat masih kondisi normal kebutuhan susu segar antara suplai dan kebutuhan masih belum tercukupi, kemudian terhantam PMK menjadi lebih jauh gapnya. Sedangkan untuk pengendalian dari sisi program vaksinasi harus berjalan terus
 
Tepat setahun yang lalu, outbreak FMD (foot and mouth disease) atau penyakit mulut dan kuku (PMK) menginfeksi ternak ruminansia di Indonesia, tak terkecuali sapi perah. Diketahui bahwa PMK bersifat airborne disease, sehingga penyakit viral ini dapat menyebar dengan mudah melalui udara yang mencapai 200 kilometer (km). Dengan merebaknya PMK sejak Mei 2022 lalu, tidak hanya mengakibatkan produksi susu sapi perah anjlok hingga 30 – 60 %, tetapi juga menurunkan pendapatan peternak bahkan ada yang terpaksa kehilangan pekerjaannya, sebab sapinya habis.
 
Peternak Sapi Perah sekaligus dokter hewan di Krucil, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Gigih Iman Prasetyo Adi mengisahkan saat PMK pertama kali masuk ke Krucil, di mana mayoritas masyarakat di sana bermata pencaharian peternak sapi perah. “Pertama kali PMK masuk itu pada pertengahan Mei 2022, dan sekarang pertengahan Mei 2023 sehingga sudah setahun. Istilahnya produksi sapi perah yang pasca terkena PMK, memang secara fisik banyak kondisinya yang sudah bagus. Hanya saja masih banyak masalah yang di dalam tubuhnya, misalnya yang paling terlihat yakni masalah di reproduksinya. Di mana banyak sapi perah di wilayah Krucil ini, calving interval-nya (CI) pasti mundur,” sesal Gigih saat diwawancarai oleh redaksi TROBOS Livestock.
 
Calving interval sendiri merupakan jarak beranak dari satu pedet ke pedet selanjutnya. Ia mengaku, mundurnya CI sapi perah ini karena memang ada endometritisnya dan ada pula yang disebabkan oleh gangguan reproduksi akibat PMK. Selain itu, untuk produksi susunya juga banyak sapi yang terkena gejala mastitis, sehingga ambing radang bahkan mati pasca infeksi PMK sampai sekarang. Dengan reproduksi sapi yang bermasalah, sehingga sapi belum bunting lagi dan otomatis ambing tidak bisa berangsur membaik. 
 
“PMK juga mempengaruhi fisik sapi perah, misalnya beberapa sapi yang produksi ada yang kondisinya kurus seperti cacingan. Namun ketika diperiksa secara mikroskopis, tidak ada cacingnya di sana karena memang organ dalamnya sudah rusak. Mau diberi pakan seperti apa, performa sapi tidak bisa optimal lagi,” urai dia.
 
Sementara kematian pedet yang lahir pada saat PMK amat tinggi. Untuk itu, pedet yang lahir saat kondisi PMK dan diberi susu induk atau kolostrum yang terinfeksi PMK sebanyak 90 % pedetnya pasti mati. Sedangkan 10 % pedet yang selamat, sekarang kondisinya mengalami keterlambatan pertumbuhan.
 
Jika kondisinya normal, sapi umur 1 tahunan itu sudah bisa mencapai bobot 200 – 250 kilogram (kg), sementara sekarang sapi umur 1 tahun lahir pasca PMK, ditimbang masih sekitar 150 – 175 kg yang paling berat. “Karena kita kesulitan untuk mencari pengganti susu kolostrum. Bahkan ada juga pedet yang sama sekali tidak mendapat kolostrum sehingga pada umur 9 bulan, berat badannya sama dengan pedet yang umurnya lebih dari 2 bulan. Modelnya seperti stunting atau malnutrisi, karena penyerapan pakannya sudah tidak sempurna, karena antibodi dari kolostrum tidak sempat masuk ke pedet,” jelas Gigih.
 
Populasi & Produksi Susu Anjlok
PMK jelas menurukan produksi susu dan populasi sapi perah. Diinfromasikan oleh Gigih kematian sapi perah, baik potong paksa maupun mati bangkar (dikubur), di Krucil terdata sekitar 600-an ekor. Namun angka tersebut belum mencatat semua, karena ada yang sudah terlanjur menjual sapinya terlebih dahulu. 
“Populasi sapi perah di Krucil (KUD Argopuro) itu 8.000-an ekor, sekarang tinggal kurang lebih 7.400-an ekor. Di kandang saya sendiri alhamdulillah tidak ada kematian sapi, hanya saat itu ada sapi yang mau terkena PMK saat bunting tua. Saat mau melahirkan ambingnya kecil, sampai lahir dan diperah ternyata tidak mengeluarkan susu sama sekali,” keluhnya.
 
Ia pun telah mencoba segala cara untuk mengobatinya, namun tidak ada perkembangan. Dengan pertimbangan tersebut dan biaya operasionalnya yang membengkak karena tidak menghasilkan susu, akhirnya sapi tersebut dijual. Begitu pula dengan pedet, di kandang Gigih sendiri tidak ada kematian, hanya saja pedet-pedet yang lahirnya saat PMK ini mengalami semacam malnutrisi, sehingga pertumbuhan hariannya agak terganggu. 
 
Di samping itu, untuk produksi susu KUD Argopuro saat sebelum terkena PMK telah mencapai 25 ton per hari. Usai PMK, produksi susu paling rendah itu pernah mencapai 18 ton per hari. “Saat PMK menyerang, kita tidak melakukan IB (inseminasi buatan), sebab lockdown mulai Mei sampai Juli, Agustus 2022 baru dibuka kembali. Alhasil, masa laktasi sapi menjadi lebih panjang dan misalnya sapi bisa di-IB pada Agustus lahirnya sekitar Mei 2023, sehingga memang di Maret dan April kita ada penurunan produksi lagi karena sapi-sapi kering,” jelas Gigih.
 
Ia pun tetap optimis di akhir Mei 2023 pasti naik lagi produksi susunya. Sementara rata-rata produksi sapi per ekor per harinya sebelum PMK, bisa sekitar 11 liter dan setelah PMK akhir-akhir ini masih di angka 9,4 liter per ekor per hari.
 
Penurunan populasi sapi perah di daerah lain, yakni Kabupaten Semarang, Jawa Tengah diutarakan Ketua APSPI (Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia), Agus Warsito bahwa peternak di sana terdata mencapai 100 ekor sapi perah yang dipotong paksa, tapi selebihnya masih selamat. “Salah satu dampak kejadian PMK pada sapi yang bunting, rata-rata mengalami kelahiran dini yang pedetnya mati. Artinya sapi-sapi yang terkena PMK itu angka kelahiran pedetnya turun drastis, termasuk pada saat bunting muda,” katanya.
 
Kemudian untuk rata-rata produksi susu sebelum PMK, Agus melaporkan antara 10-11 liter per ekor per hari. Setelah PMK, ia meyakini produksinya turun, karena sapi-sapi penyintas PMK itu rata-rata produksinya efektivitasnya tinggal 80 %. Sapi-sapi penyintas ini jika sudah bunting atau beranak lagi, mungkin baru pulih. Namun jika penyintas pada saat bunting mengalami PMK dari laktasi sebelumnya ke laktasi yang melewati masa PMK, produksinya pasti turun yaknsi menjadi 8-9 liter per ekor per hari.
 
Head of Dairy Farm Development PT Greenfields Indonesia, Heru Prabowo menyebutkan populasi sapi perah di dua farm Greenfield tidak mengalami penurunan sama sekali, yaitu tetap sama totalnya itu sekitar 19.000-an ekor. “Alhamdulillah aman tidak ada pengurangan signifikan dari PMK kemarin, sehingga kita relatif tetap jumlahnya. Malah kita sempat mengalami over populasi pada saat itu, karena tidak mengeluarkan sapi, baru akhir-akhir ini kami baru bisa mengelola populasi agar tidak terlalu banyak,” sambung Heru.
 
Adapun untuk produksi susunya dari farm juga tidak terpengaruh sama sekali, sebab tidak ada yang terinfeksi PMK. Untuk itu, produksi Greengfield tidak ada pengaruhnya, tetap sama sekitar plus minus 260 ton per hari. Berbeda dengan peternak rakyat dibina Greenfields, seperti yang telah Heru sebutkan sebelumnya yakni sebelum ada PMK produksi susunya sekitar 11 ton dan turun menjadi sekitar 500 liter per hari. Kemudian sekarang sudah mulai naik menjadi 15 ton per hari.
 
“Untuk jumlah pasti sapi yang mati di peternakan rakyat tidak ingat, tetapi yang pasti tidak banyak. Jumlahnya mungkin sekitar 20 ekor total yang terpengaruh,” kata Heru.
 
Di sisi lain, berdasarkan data dari GKSI, Ketua Umum GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia), Dedi Setiadi menyebutkan bahwa produksi susu waktu sebelum PMK sudah mencapai 1.780.000 kg per hari. Setelah PMK itu hanya 1.215.000 kg per hari., sehingga kurangnya ini 565 ton per hari. Kemudian jumlah peternak yang aktif, dari 75.000 menjadi 73.000, ini berkurang 2.231 peternak. Peternak yang berkurang tersebut berarti sapinya hanya 1-2 ekor saja dan mati semua, akibatnya tidak lanjut menjadi peternak.
 
Kemudian populasi sapi dari 239.168 ekor, sekarang menjadi 227.615 ekor. “Sapi yang mati kemarin itu 11.581 ekor, ini data dari peternak yang lapor dan tercatat. Fakta lapangannya, saya yakin lebih dari ini, karena ada juga mereka yang tidak lapor. Sementara jumlah koperasi susunya masih tetap 59 koperasi susu di Indonesia. PMK ini bukan main, parah sekali,” ungkap Dedi menyesalkan.
 
Perekonomian Peternak Terganggu
Tidak dipungkiri PMK sangat berdampak signifikan terhadap pendapatan peternak. Selain pendapatan, biaya produksinya pun mengalami kenaikan, sebab ada hal-hal di luar kebiasaan peternak sebelum terserang PMK. Agus menyebutkan perekonomian peternak sapi perah sekarang, jika bisa melewati masa PMK itu masih bisa bertahan. Tetapi margin atau keuntungannya jika dikembalikan pada saat sebelum PMK, maka tidak masuk. Ada faktor harga pakan yang sekarang relatif lebih mahal, dan harga penjualan yang saat ini malah justru makin berat.
 
“Lebih memprihatinkannya, pasca-PMK ini produksi susu turun drastis dan di saat yang bersamaan informasinya hari ini harga susu dunia turun. Harga susu hari ini setara Rp 6.700 per liter dari yang sebelumnya sudah di Rp 7.000-an lebih per liter. Harga susu dunia yang turun ini lebih karena pengaruh konflik Rusia-Ukraina, sehingga berdampak pada supply dan demand, seperti permintaan susu turun padahal produksi di beberapa negara itu berlimpah,” kilah Agus.
 
Heru menambahkan bahwa pasti ada pengaruh PMK terhadap biaya produksi peternak, sebab ada biaya tambahan lain. Namun ia menilai bahwa itu memang risiko yang harus diambil, karena imbangannya terkena PMK atau mengeluarkan biaya untuk biosekuriti. Jauh lebih murah biaya biosekuritinya dari pada biaya kehilangan populasi akibat terkena PMK.
 
Dairy Development Program and FDOV Manager PT Frisian Flag Indonesia (FFI), Akhmad Sawaldi pun membenarkan, bahwasanya biaya produksi naik dari sisi koperasi, sebab ada biaya tambahan seperti disinfektan dan lain-lain. “Peternak mendapatkan support service dari koperasi. Tetapi PMK tidak berdampak kepada konsumsi susu masyarakat. Susu tetap aman untuk dikonsumsi setelah diolah oleh pabrik,” ungkap dia.
 
Gigih menemukakan bahwa dampak PMK terhadap ekonomi peternak ini luar biasa, di mana bisa dilihat dari jumlah penghasilannya. “Dampak PMK ini sangat terasa. Kalau di sini karena memang mayoritas peternak pendapatannya dari hasil susu, sehingga saat awal PMK memang mereka tidak ada pendapatan karena memang susunya tidak bisa keluar. Sebelum PMK produksi susu yang biasanya 15 liter per ekor per hari tidak keluar sama sekali selama beberapa hari,” terangnya.
 
Pasca serangan PMK, Gigih melanjutkan, yang biasanya sapi per ekor per harinya agak banyak, karena memang ada masalah di reproduksi dan mastitis, menjadi tidak banyak juga produksi susunya sampai sekarang. Akhirnya berefek pada ke pendapatan peternak. Rata-rata peternak juga memiliki tanggungan seperti menyekolahkan anaknya, pinjaman dan lain-lain yang mengandalkan susu sebagai pendapatannya. Tetapi jika susunya tiba-tiba berkurang pasti peternak bingung. 
 
Terkait obat sudah ada dukungan dari KUD dan dinas, tapi yang lebih dibutuhkan ialah pakan. “Saat serangan awal PMK, sapi tidak bisa makan rumput biasa, sehingga harus memakan pakan yang lebih halus, dan memang harus keluar uang di sana. Tapi untuk yang obat dan desinfektan normalnya kita memang sudah ada bantuan, namun jika bantuan habis, peternak tetap harus membeli sendiri untuk menjaga biosekuriti di kandangnya masing-masing,” ucap Gigih.
 
 
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 285/ Juni 2023

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain