Penyakit Viral pada Ayam Petelur

Penyakit Viral pada Ayam Petelur

Foto: Dok. TROBOS, Shara


Jakarta (TROBOSLIVESTOCK.COM) Pada pemeliharaan layer (ayam petelur) terdapat faktor-faktor yang akan mempengaruhi produksi. Seperti faktor materi yaitu penyakti dan faktor metode yaitu program kesehatan. Selain 2 faktor ini tentu banyak sekali faktor yang memang mempengaruhi produksi, mulai dari sisi manusia, mesin dan lingkungan yang juga sangat berpengaruh.
 
Fakhri Husain, Technical Education and Consultation PT Medion menyebutkan beberapa penyakit viral yang masih sering dijumpai menginfeksi layer fase produksi. Berdasarkan data yag telah dikumpulkan sejak tahun 2009, ranking 1 masih dipegang oleh AI (Avian Influenza atau flu burung), diikuti ND (Newcatle Disease), IB (Infectious Bronchitis), dan EDS (Egg Drop Syndrome).
 
“Penyakit-penyakit viral yang disebutkan tadi memang dapat langsung menyerang ke saluran reproduksi. Seperti AI, ND, dan IB organ targetnya adalah ovarium. Tentu saja kalau ovarium yang diserang, maka akan mengalam kerusakan dan berdampak pada penurunan produksi,” ungkapnya.
 
Kemudian penyakit IB juga menyerang oviduk, utamanya di bagian magnum dan uterus. Ini akan menyebabkan telur yang dihasilkan mengalami penurunan kualitas. Sedangkan EDS biasanya menyerang oviduk utamanya bagian uterus. Hal ini akan berdampak pada penurunan kualitas kerabang dari telur yang dihasilkan.
 
Sementara itu, Fakhri menuturkan bahwa penurunan produksi atau performa ayam petelur bisa dinilai dari 2 sisi, yaitu dari sisi kuantitas atau jumlah telur yang dihasilkan dan juga dari sisi kualitas telur yang dihasilkan. Pada virus AI atau Flu Burung penyebabnya adalah virus influenza tipe A dari famili orthomyxoviridae. 
 
Virus AI merupakan RNA single stranded (ss) yang beramplop, dimana amplop ini terbentuk dari lapisan lipid atau lemak. Sehingga sensitif atau mudah dimusnahkan dengan semua jenis desinfektan. Uniknya virus AI ini tidak memiliki sistem proof reading yang menyebabkan virus ini mudah bermutasi. 
 
Ada 2 macam subtipe virus AI yang dominan bersikulasi di Indonesia, yaitu H5N1 yang menyebabkan penyakit High Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan subtipe H9N2 penyebab penyakit Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Beberapa kerugian yang disebabkan AI diantaranya mortalitas dan morbiditas yang tinggi bahkan mencapai 100 %. 
 
“Kalau dari pengalaman kami, produksi turun 20-50 %. AI khususnya LPAI sifatnya immunosupresif atau mampu menekan sistem kekebalan sehingga menjadi pintu masuk untuk penyakit lain menyerang. Kemudian tentu kalau ayam sakit harus mengeluarkan biaya untuk penanganannya, sehingga akan ada peningkatan biaya produksi,” jelasnya.
 
Beberapa kasus yang ditangani di lapangan, gejala klinis penyakit AI yang akan timbul ayam lemas dan pucat, di bagian jengger dan ceker ada kebiruan. Karena meyerang sistem pernafasan, maka ayam akan susah bernafas dan keluar lendir dari hidung maupun dari mulut. Khusus HPAI atau yang patogenisitasnya tinggi, kematian tinggi dan mendadak. Pada LPAI, dapat dijumpai perubahan ukuran dan bentuk telur hingga tekstur kerabangnya.
 
“Ketika kita bedah bangkai, ada perubahan khas yang menjadi ciri penyakit AI. Yang pertama, ada bercak darah titik di lemak jantungnya atau kita sebut ptechie hemoragi di lemak jantung. Kemudian akan muncul ptechie di lemak abdomennya, dan yang paling khas adanya dilatasi pembuluh darah di otak. Kalau menyerang ke sistem reproduksi, ovarium bisa meradang hingga membubur. Juga dijumpai adanya kista oviduk atau timbunan cairan di oviduk,” terangnya.
 
Selanjutnya dari famili Paramyxoviridae, yaitu virus ND. Merupakan jenis virus yang juga sehingga sensitif terhadap semua jenis desinfektan. Ia mengatakan, kerugian ketika ayam terkena ND utamanya adalah kematian. Untuk ND mesogenik atau keparahan tingkat sedang kematian bisa mecapai 10 %, sementara ND velogenik atau keparahan tingkat tinggi bisa mencapai 100 %.
 
Morbiditasnya sangat tinggi hingga 80-100 %. Dampak dari virus ND juga menyebabkan penurunan produksi 9-60 % disertai dengan penurunan kualitas telurnya. Tentu juga ini akan mengakibatkan tingginya angka culling dan termasuk penyakit immunosupresif, sehingga menjadi predeposisi infeksi penyakit yang lain.
 
“Kalau kita bedah bangkai, di sistem pencernaan yang menjadi ciri khas ND adanya peradangan pada proventrikulus utamanya di puncak-puncak papilanya, juga menyerang sistem limfoid yang ada di saluran pencernaan yaitu terjadi peradangan di seka tonsil. Serta ada pembengkakan dan peradangan di peyer patches dimana kedua organ ini adalah organ limfoid yang menginervasi atau melindungi saluran pencernaan. Kalau terserang di organ reproduksinya, kita bisa jumpai ada peradangan di folikel, bahkan bisa sampai membubur atau pecah di rongga perut,” tandasnya.
 
Virus lain yang tak kalah berbahaya ialah IB. Disebabkan oleh Coronavirus, termasuk virus RNA ss yang beramplop. Sama seperti virus AI dan ND, IB sensitif terhadap berbagai jenis desinfektan yang sifatnya politik atau menghancurkan lemak. Tidak memiliki proof reading membuatnya mudah bermutasi. Variasi S dan N terkenal dalam menentukan pemunculan virus IB varian baru.
 
IB dapat menyerang di semua umur, bisa di umur muda maupun di umur produksi. Kalau ayam-ayam di umur muda ini terserang IB, akan muncul gejala pernafasan seperti sulit bernafas dan keluar lendir dari hidung.Ketika ayam dapat bertahan hidup, maka pada usia produksi akan mengalami false layer syndrome. Jika menginfeksi ayam di umur produksi, maka akan menyebabkan gejala pernafasan dan penurunan produksi telur 10-50 %. Kemudian di bagian saluran reproduksinya ini kadang juga kita jumpai adanya kista oviduk dimana ketika timbunan cairnya terlalu banyak, ayam akan berdiri seperti penguin dengan perut yang menggantung.
 
Lebih lanjut, virus Avian adenovirus, penyebab EDS dengan double stranded DNA yang tidak beramplop. Jenis virus ini tidak memiliki lapisan lipid, ketika ingin membasmi maka harus menggunakan desinfektan dari golongan oxidizing agent atau golongan di atasnya yaitu aldehid.
 
Ayam yang terinfeksi EDS ini pada umumnya terlihat sehat. Tapi juga beberapa kasus ditemukan ayamnya lesu dan muncul diare yang tidak spesifik. Yang sangat menciri adalah telur-telur yang tidak terbentuk kerabangnya yang akhirnya jatuh di bawah kandang. Pada EDS bisa menyerang di awal masa produksi sehingga tidak akan mencapai puncak produksi atau menyerang setelah puncak produksi, sehingga penurunan produksi akan cepat secara drastis.
 
Gejala klinis yang spesifik ini 7-9 hari setelah infeksi virus, sesuai dengan masa inkubasinya. Penurunan produksi telur drastis 10-40 %. Oviduk kendur dan terdapat oedema, dijumpai juga eksudat berwarna buram, perkapuran berwarna kekuningan. Kemudian juga dapat dilihat warna telur pucat, telur dengan kerabang tipis atau kerabang lunak, dan telur tanpa kerabang.
 
AI, ND, IB, ataupun EDS merupakan penyakit viral yang sampai saat ini belum ada obat yang efektif untuk menangani. Jika terlanjur terpapar infeksi virus-virus tersebut, maka langkah revaksinasi darurat dapat dijadikan pilihan pada kandang sakit, tetapi sifatnya gambling, keberhasilannya akan bergantung pada tingkat keparahan suatu penyakit. 
 
Sementara itu, pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi sekunder bisa menggunakan antibiotik injeksi yang kerjanya cepat. Desifeksi kandang dan evaluasi baik manajemen maupun vaksinasi yang telah dilaksanakan disini menjadi penting. Dengan begitu, pemeliharaan akan menjadi lebih baik, ayam nyaman, produktivitas juga akan meningkat. “Kita perlu sepakat bahwa gangguan produksi telur akibat AI, ND, IB, maupun EDS dapat dicegah dengan penerapan biosecurity ketat, vaksinasi, dan melakukan manajemen pemeliharaan yang baik,” tutupnya. shara
 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain