Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada Maret lalu memberikan prediksi tentang adanya ancaman El Nino di Tanah Air. Seiringnya waktu BMKG menginformasikan bahwa EL Nino akan memberikan dampak jelasnya mulai Juli – Desember 2023. El Nino sendiri merupakan fenomena perubahan cuaca dan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian tengah dan timur sepanjang garis ekuator yang terjadi setiap 3 – 5 tahun sekali.
Fenomena alami yang terjadi ketika suhu permukaan air di Samudra Pasifik Tengah dan Timur menjadi lebih hangat dari biasanya, akibatnya musim kemarau lebih panjang daripada musim hujan. Lahan pertanian menjadi yang paling berisiko terdampak kekeringan akibat El Nino, tidak terkecuali peternakan.
Ternak unggas yang merupakan salah satu komoditas ternak utama sebagai sumber protein hewani tentunya akan terkena dampaknya juga. Dampak yang akan dialami industri perunggasan ada yang langsung dan tidak langsung. Dampak langsung terkait dengan pengaruh kenaikan suhu lingkungan terhadap kondisi fisiologis. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan thermal stress pada unggas yang berakibat pada penurunan konsumsi pakan dan penurunan produksi dalam hal pertambahan berat badan harian atau produksi telur. Unggas lebih peka terhadap stres suhu tinggi dibanding suhu rendah. Suhu tinggi dan kelembaban yang rendah juga dapat menurunkan imunitas unggas terhadap sejumlah penyakit.
Sedangkan dampak tidak langsung El Nino yang paling utama terkait dengan pasokan pakan unggas. Jagung sebagai komponen utama pakan unggas berpotensi mengalami gangguan dalam hal kuantitas dan kualitas. Hal ini karena pertanaman dan budidaya jagung juga berpotensi menerima dampak dari El Nino.
Gangguan pada produksi jagung akan menyebabkan fluktuasi harga jagung. Akibatnya, terjadi kenaikan biaya produksi perunggasan karena biaya pakan merupakan cost terbesar dalam proses produksi. Tentunya ini harus menjadi perhatian besar, terutama permasalahan ketersediaan jagung lokal dari tahun ke tahun masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Musim panen jagung di tanah air terjadi dua kali setahun. Puncaknya terjadi pada Februari dan Maret serta panen kedua di Juli dan Agustus, namun jumlahnya lebih sedikit. Pada saat, peak production (puncak produksi) memang dirasa cukup, tidak perlu impor.
Di saat sekarang, dengan adanya El Nino dan panen kedua yang jumlahnya sedikit, maka kebutuhan jagung akan tidak tercukupi. Sehingga, perlu ada pengganti jagung dari sumber bahan baku lain yang merupakan sumber energi.
Dengan kondisi ketersediaan jagung yang kurang dipasaran, tentunya akan saling berebut antara peternak self mixing dengan pabrikan pakan. Jagung yang berada di daerah – daerah sentra peternak layer seperti Kediri dan Blitar, Jawa Timur akan diserap peternak daerah tersebut. Pabrikan pakan akhirnya, akan membeli gandum impor, sedangkan jagung lokal akan habis oleh peternak – peternak layer self mixing skala rakyat. Kalau pabrik pakan membeli habis jagung lokal, harganya akan melonjak.
Saat ini, harga jagung di pabrikan pakan senilai Rp 5.800 – 6.250 per kg. Jika dikonversikan ke dollar sebesar 410 dolar per ton, sedangkan harga jagung di dunia hanya 300 dolar per ton. Harga harga jagung dunia sedang dibawah harga jagung lokal.
Selain itu, sebagai salah satu langkah antisipasi datangnya El Nino maupun switching tanaman pangan, Pemerintah sebaiknya memiliki program “buffer stock” nasional untuk jagung serta agar menjaga kestabilan harga. Misalnya dengan membuka kran impor jagung dahulu, baru setelah menjelang panen raya ditutup. Kebijakan kran buka dan tutup impor jagung ini, harus dilakukan secepatnya, karena prosesnya butuh waktu. Tentunya untuk jumlah impornya pun harus dengan penghitungan yang akurat.
Kedepan semua stakeholder harus waspada dengan menyiapkan beberapa antisipasi. Contohnya dengan efisiensi produksi, karena kemungkinan harga input produksi akan meningkat disebabkan suplai bahan baku pakan yang akan terganggu. Kemudian pabrikan pakan pun, mau tidak mau akan melakukan penyesuaian harga pakan dengan kondisi tersebut. Sedangkan peternak harus bersiap – siap dengan manajemen pemeliharaan yang efektif dan efisien. TROBOS