Bisnis di industri perunggasan pada semua lini terus tumbuh dan berkembang. Termasuk peluang bisnis RPA, karena pasar produk RPA terus berkembang. Tidak saja di perusahaan integrator, RPA mandiri pun terus tumbuh
Rumah Potong Ayam (RPA) mandiri UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) mulai bermunculan seiring kembali dibukanya restoran/rumah makan dan warung tenda pasca pandemi Covid-19. Namun ketika terjadi kenaikan harga ayam hidup (Live bird), RPA mandiri terjepit di antara pasar tradisional dan RPA perusahaan integrasi. Apalagi RPA perusahaan integrasi juga membuka kios-kios unggas hingga pelosok-pelosok.
Setiono, pelaku usaha RPA di Desa Jati Indah, Kecamatan Tanjungbintang, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung sangat merasakan dampak kenaikan harga bahan baku dan persaingan yang tidak seimbang tersebut.
Ketika disambangi TROBOS Livestock, pekan lalu, Setiono mengatakan, kenaikan harga bahan baku cukup memberatkan. Pasalnya, bagi pelanggan yang sudah terikat kontrak, harga jual karkas atau filet ayam tetap alias tidak bisa dinaikkan meski harga bahan baku naik. Berbeda kalau belum ada kontrak dengan pelanggan maka bisa melakukan penyesuaian harga.
“Jadi ketika harga ayam naik, margin keuntungan tergerus dan berharap harga ayam turun sehingga keuntungan bisa normal kembali. Tapi di sisi lain, untungnya kita masih punya omzet yang tetap sehingga usaha bisa berjalan,” tutur Setiono yang membuka RPA awal April 2022 seiring dengan kembali normalnya iklim bisnis kuliner pasca pandemi Covid-19.
Saat ini rata-rata ia memotong 200 ekor ayam per hari. Ayam tersebut diolah menjadi 13 item, yang dominan berbentuk filet dada/paha guna memenuhi permintaan warung steak dan rumah sakit.
“Bahan baku ayam potong diperoleh dari perusahaan integrasi dengan ukuran berat 2,5 kg ke atas. Lalu pemasaran produknya ke berbagai rumah makan/restoran dan rumah sakit di Bandarlampung,” lanjut Setiono yang sebelum membuka usaha RPA bekerja di perusahaan pabrik pakan dari 2011 hingga 2017.
Muhammad Mansyur, Direktur PT Perkasa Pangan Indo, salah satu Unit Usaha PT Tri Group yang membawahi beberapa bidang yaitu Rumah Potong Ayam (RPA) dan kelompok ternak broiler (ayam pedaging) dan ayam lokal menyebutkan kondisi RPA dengan harga broiler fluktuatif di kandang menjadi masalah untuk semua pelaku usaha perunggasan, baik bagi peternak, bagi pelaku usaha RPA dan pedagang di pasar.
“Kondisinya hampir di semua RPA ketika harga ayam hidup tidak stabil, akan bingung kapan harus memotong dan menjual karena sekarang peran RPA semakin besar. Kita menekankan masalahnya ke tidak stabilan harga, bukan karena tinggi dan rendahnya harga ayam di peternak,” jelasnya.
Terjepit
Pengusaha RPA UMKM lainnya, Gifari Raditya Wahyudi, pelaku usaha RPA di Bandarlampung ini juga merasakan dampak kenaikan harga ayam hidup yang begitu tinggi. “Terjadi kenaikan harga bahan baku mencapai 25 % sehingga HPP ayam hidup menjadi Rp 20 – 25 ribu per kg,” aku Radit, panggilan akrabnya, yang memotong ayam 1.000 hingga 1.500 ekor per hari. Ayam hidup dibeli dari perusahaan peternakan broiler yang berada di sekitar Bandarlampung.
Sebagian besar karkas dijual ke rumah makan/resto dan cafe di Bandarlampung dan sekitarnya. Agar tetap untung ia melakukan penyesuaian harga jual, namun hal itu mengakibatkan omzetnya turun hingga 50 %. “Padahal saat harga bahan baku naik saya tidak langsung menaikkan harga jual, tetapi saya subsidi dulu dengan penjualan aneka makanan ayam olahan di konter yang terletak Perum Way Halim, Bandarlampung,” lanjutnya.
Kemungkinan, sambungnya, sebagian pelanggan beralih membeli ayam ke pasar tradisional. Diakuinya, memang biaya produksi penjual ayam potong di pasar tradisional lebih murah karena mereka tidak butuh tenaga kerja, listrik untuk frezer dan ayam yang dipotong dijual sendiri. Kendati begitu ia juga menekan margin agar tidak kehilangan banyak pelanggan.
Harga karkas yang dijualnya hanya lebih tinggi Rp 2 – 3 ribu per ekor dibandingkan di pasar dengan kualitas karkas yang jauh lebih higienis karena langsung masuk frezer setelah proses pemotongan dan pembersihan.
“Guna mempertahankan margin, maka saya melakukan berbagai efisiensi. Di antaranya, penghematan listrik dengan memotong ayam sesuai omzet. Lalu penggunaan es juga dihemat. Kemudian membeli bahan baku dari kandang yang dekat ke RPA guna mengurangi biaya transportasi dan susut berat ayam selama perjalanan. Sebab jika jarak kandang ke RPA lebih dari 40 km maka susutnya sekitar 7 % dan jika jaraknya paling jauh sekitar 30 km maka susutnya 0-3 %,” urai Radit yang mengawali usaha berdagang karkas.
Diungkapkan Radit, untuk menekan harga jual makanan, pelanggannya juga minta ukuran ayam yang lebih kecil karena jika menaikkan harga jual maka omzet mereka turun. Jika sebelumnya dipasok karkas dari ayam hidup ukuran 1 kg setelah harga naik mereka minta diturunkan menjadi Rp 900 gram dan ada yang 800 gram. Kalau sebelumnya berlangganan ayam ukuran 1,2 kg minta diturunkan menjadi ayam 1 kg.
Alasan pelanggannya, daya beli konsumen mereka rendah sehingga jika harga makanan dengan bahan baku ayam yang mereka jual dinaikkan maka konsumen akan beralih ke makanan lainnya yang lebih murah. Karena pangsa pasar makanan yang mereka jual rata-rata segmen Rp 10 – 12 ribu sudah ada nasi plus ayam
Diakui Radit, RPA mandiri ini posisinya terjepit karena ke bawah berhadapan dengan para pemotong/penjual ayam di pasar tradisional dan ke atas berhadapan dengan RPA perusahaan integrasi. Apalagi dengan RPA perusahaan integrasi terjadi persaingan yang tidak seimbang karena mereka punya segalanya, mulai dari bahan baku ayam dari perusahaan sendiri, modal besar, jaringan pemasaran luas sehingga sering harga jual karkas mereka tekan.
“Mereka bisa memotong ayam sebanyak-banyaknya saat harga ayam murah, lalu menyimpannya di cold storage dan baru dijual ketika harga ayam mahal sehingga tetap untung jika dijual di bawah harga karkas dari RPA mandiri. Kalau kita bagaimana mau menjual miring karena harga bahan baku sudah naik, bukan harga beberapa bulan lalu saat ayam hidup murah,” jelas Radit ketika diwawancarai di kantornya di Perum Way Halim, Bandarlampung, pekan lalu.
Ditambahkan alumni Fakultas Pertanian IPB University tersebut, ia yang hanya memotong 1.000 hingga 1.500 ekor per malam saja mempekerjakan 8 orang pekerja. Jika 1 juta ekor ayam saja yang selama ini dikirim ke Jakarta setiap malam dipotong di Lampung tentu akan menyerap sekitar 8 ribu tenaga kerja baru. Angka sebesar itu akan sangat berarti dalam upaya mengurangi pengangguran di daerah ini di saat kegiatan perekonomian lainnya lesu.
Permodalan & Pemasaran
Selain kenaikan harga bahan baku, kendala lain dalam usaha RPA, dituturkan Setiono, yakni dalam hal permodalan dan pemasaran. Terjadi persaingan yang tidak seimbang dengan RPA besar perusahaan integrator yang memiliki modal besar, sarana/prasarana lengkap dan jaringan pemasaran luas yang menguasai dari hulu hinggahilir. Bahkan ada RPA besar di Lampung Selatan yang sudah melakukan ekspor ayam beku ke berbagai negara tetangga.
“Jika tidak ada regulasi dari pemerintah maka nasib RPA mandiri UMKM bakal sulit berkembang. Apalagi perusahaan-perusahaan integrator ini juga membuka kios-kios unggas hingga pelosok-pelosok daerah sehingga mempersempit ruang gerak RPA UMKM,” ungkap Setiono.
Apalagi, persyaratan dan izin-izin berusaha yang harus dikantongi sama dengan RPA besar. Lalu dalam mengurus izin-izin ini tidak ada fasilitas khusus atau kemudahan dari dinas/instansi terkait untuk usaha UMKM seperti dirinya. Kini RPA-nya baru mengantongi sertifikat NKV level 3 dan sertifikat halal dari MUI.
Untuk menyiasatinya, jelas Setiono, ia berusaha melakukan pendekatan emosional kepada konsumen/pelanggan dan menjaga kepercayaan pelanggan. Selain itu ia meyakinkan konsumen./pelanggannya soal kehalalan ayam yang dipotong di RPA UMKM masih manual dan memenuhi persyaratan halal. “Sebab masih ada keraguan di beberapa kalangan pelanggan umat Islam soal kehalalan pemotongan ayam menggunakan mesin,” jelasnya.
RPA mandiri miliknya memiliki frezer berkapasitas sebanyak 10 – 180 ekor ayam per hari dan ayam yang dipotong dibagi ke dalam 13 item yang dikemas dalam kantong-kantong plastik ukuran 2 kg dengan empat karyawan dan satu orang khusus bertugas untuk pengiriman barang.
Ke-13 item yang sudah dipotong tersebut, di antaranya: filet dada/paha, kaki-kaki, ampla/hati, kepala, usus dan tulang. Masing-masing item ini memiliki pasar masing-masing, seperti tulang untuk warung soto, ceker (kaki) untuk warung seblak, ampla/hati untuk rumah makan dan sebagainya.
Untuk pengiriman ayam, Setiono mengaku, belum menggunakan kendaraan yang memiliki mesin pendingin karena keterbatasan modal, tetapi ayam ditaruh dalam kotak streoform. Lalu pembayaran penjualan ayam diberlakukan dua sistem, cash and carry dan sistem tempo 2 minggu setelah dropping barang.
RPA Efisien
Kenaikan harga ayam hidup belakangan ini berdampak terhadap bisnis RPA. Terutama bagi RPA mandiri yang membeli bahan baku dari peternakan broiler. Memang terbuka peluang ekspor ke sejumlah negara, namun prosesnya panjang. Seperti diungkapkan Thomas Kristiyanto, Humas Arphuin yang juga eksekutif PT Sumber Unggas Jaya ini.
Disebutkannya, umumnya RPA mandiri membeli bahan baku berupa ayam hidupnya ke perusahaan lain. Kalau pun ada yang punya kandang hanya sebagian saja. Lalu ada juga yang dikerjasamakan. Kalau RPA di perusahaan integrasi bahan bakunya dari grup perusahaan sendiri sehingga raw material sudah terukur. Jadi pada kelompok RPA mandiri ini masih agak berat karena hampir semua komoditas bahan pangan harganya naik.
“Sementara RPA intergrasi memotong ayam sesuai permintaan pelanggan. Contoh, ada industri food proccesing yang butuh karkas. Lalu dilakukan kontrak 200 ton dalam waktu dua bulan dengan harga tetap. Jika RPA mandiri juga melakukan kontrak yang sama, pada saat harga ayam hidup Rp 22 – 23 ribu/kg, mereka akan sulit memenuhi kontrak tersebut ketika harga raw material naik. Problem-problem seperti itu yang dihadapi RPA mandiri,” ujar Thomas mengawali percakapan.
Kalau di budidaya, pelaku usahanya juga sama, ada integrasi dan mandiri. Kemudian ada peternak yang spot-spot atau tidak memelihara ayam secara berkesinambungan melainkan sewaktu-waktu alias musiman. Itu yang saat ini menghadapi masalah. Karena itu pemerintah menyarankan untuk menjalin kemitraan dengan perusahaan integrasi supaya raw material-nya menjadi terukur.
“Kalau tidak akan berat dengan harga raw material yang fluktuatif. Yang saya maksud saat ini berat itu adalah peternak mandiri murni karena harus beli DOC (ayam umur sehari), pakan dan obat-obatan sendiri tanpa subsidi,” lanjutnya.
Di integrasi saja, sambungnya, yang disebut bisnis unit membeli pakan dari grup perusahaan sendiri di mana harganya juga sudah melonjak karena harga bahan baku pakan sudah naik terlebih dahulu. Kondisi ini yang sekarang cukup memberatkan.
“Ketika harga jual ayam Rp 21 – 23 ribu per kg, ada margin yang diterima peternak mandiri tetapi tidak banyak. Apalagi harga DOC sempat mahal Rp 7.500 per ekor. Meskipun dari Bapanas ada batas atas yakni Rp 6.500 per ekor. Kalau breeding besar integrasi pasti patuh dengan kebijakan pemerintah. Kalau kita jual Rp 7.000 per ekor saja, mereka akan komplain ke Komisi Bibit. Tetapi breeding kecil tentu menjual DOC lebih mahal dari itu. Bahkan bisa jual Rp 8.000 per ekor. Kondisi ini tentu berat bagi peternak mandiri. Jadi perlunya integrasi itu supaya sama-sama hidup. Artinya perlu aliansi agar tidak berat,” urainya.
Dijelaskan Thomas, saat ini baik peternak maupun RPA dalam kondisi recovery, tapi muncul tantangan baru karena harga sapronaknya naik. Jika sebelumnya HPP ayam Rp 18 ribu per ekor, kini naik karena harga pakannya sudah naik, seperti bekatul, jagung dan lain-lain. Akibatnya harga pakan sudah tidak bisa diharmonisasi lagi.
Memang, terangnya, dari sisi pasar, ketika harga ayam hidup naik, harga jual karkas ikut naik. Namun dengan daya beli masyarakat yang terbatas, maka kenaikan harga jual karkas juga ada batasan. Misalnya, indeksnya 2,2 dari harga ayam hidup (live bird).
“Jadi berdasarkan kemampuan daya beli masyarakat ini maka RPA terpaksa mengurangi margin dan omzet. Misalnya, ketika karkas naik tajam maka pengusaha rumah makan/restoran tidak bisa serta merta menaikkan harga jual makanan karena akan turun omzetnya dan akan berimbas kepada omzet RPA,” urai Humas ARPHUIN ini menggambarkan.
Diakuinya, memang terdapat berbagai segmen pasar dari karkas, seperti restoran/rumah makan/hotel, pasar modern, trader, fast food (fried chicken) dan food proccesing. Pada pasar yang berbeda-beda ini ada kuota untuk masing-masing segmen tersebut. Namun ketika harga karkas sudah mencapai Rp 36 ribu maka permintaan dari sejumlah segmen juga menurun karena dipengaruhi daya beli konsumennya.
Dalam kondisi harga ayam hidup tinggi, RPA integrasi agak terbantu karena ayam hidupnya dari grup perusahaannya sendiri. Berbeda dengan RPA mandiri yang membeli ayam hidup dari peternakan broiler komersial.
Lalu ketika harga karkas tinggi, terdapat pelanggan RPA yang beralih membeli karkas ke pasar yang harganya lebih rendah karena biaya operasional mereka rendah. Meskipun sebetulnya pemotong ayam di pasar-pasar tradisional masih banyak yang belum memiliki NKV. “Lalu idealnya di pasar itu yang diperdagangkan daging ayam, bukan ayam hidup. Pemerintah sudah lama mendorong agar yang diperdagangkan di pasar daging ayam,” jelasnya.
Titik Efisiensi
Menghadapi harga raw material yang mahal maka RPA menjalankan bisnis dengan memperhatikan titik efisiensi dari utility yang dipakai. Kalau di sebuah RPA kecepatan potong 4 ribu ekor per jam maka angka itu mengikuti berapa jumlah karyawan yang bekerja, sampai berapa produksi yang tepat. Sebab kontribusi raw material sebesar 80 % dari komponen biaya produksi RPA. Jadi pengaruhnya besar sekali.
“Titik efisiensi ini yang menentukan kita harus memotong ayam berapa. Kita tetap produksi dalam kondisi apapun, karena sudah invetasi dan karyawan yang harus digaji. Dengan kecepatan potong 4 ribu ekor/jam maka biasanya minimal sebanyak 22 ribu ekor dipotong sehari,” ungkap Thomas.
Artinya, terang Thomas, RPA harus bekerja pada titik itu. Jika potong lebih rendah maka pasti biaya operasionalnya menjadi lebih mahal. Ketika biaya operasi mahal dan harga jual tidak.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 287/ Agustus 2023