Industri sapi potong sedang tidak baik – baik saja dengan permasalahan yang semakin banyak. Bahkan selama beberapa tahun terakhir tidak ada perubahan yang signifikan. Diantaranya yang utama adalah memenuhi kebutuhan daging sapi, pemerintah terpaksa masih melakukan impor baik berupa daging sapi dan daging kerbau dengan jumlah yang terus meningkat. Sehingga membuat para peternak rakyat tidak bersemangat untuk beternak sapi potong lagi. Mereka hanya berharap pada momen Idul Adha, dimana harga ternak sapinya mendapat keuntungan yang lebih baik dibandingkan biasanya.
Peternak rakyat sebagai produsen daging sapi terbesar tidak mampu bersaing dengan gempuran daging impor. Hal ini dikonfirmasi oleh data yang melaporkan turunnya jumlah rumah tangga peternak sapi potong secara nasional pada periode 2013-2018 sebesar 19,1 %. Jika situasi seperti sekarang terus tanpa ada upaya dari semua stakeholder dan terutama pemerintah, bukan tidak mungkin kedepan tidak akan ada yang tertarik menjadi pelaku usaha peternakan sapi, sebab usahanya tidak untung.
Masuknya daging kerbau India yang secara nyata menggusur dan menggeser pasarnya para peternak lokal. Dengan biaya operasional beternak sapi di Indonesia yang semakin hari semakin naik terus, harus bersaing dengan daging kerbau India yang notabene berbiaya sangat murah, maka peternak tidak akan mampu bersaing. Walaupun disatu sisi pendapatan masyarakat berkurang, hampir di semua sektor mengalami penurunan volume transaksi. Terutama untuk yang memiliki usaha, sepertinya semua mengalami penurunan pendapatan. Ditambah lagi bahwa keterangan dari pelaku usaha feedlot, bahwa mereka sedang menghadapi daya beli yang begitu rendah.
Sementara pemerintah ingin harga daging sapi murah yakni Rp 80.000 per kg. Namun kenyataannya harga tetap tinggi di konsumen. Alhasil berimbas pada peningkatan importasi daging sapi dari 89.687 ton (2016) menjadi 284.566 ton (2022). Sedangkan impor daging beku kerbau India meroket dari 45.192 ton (2016), menjadi 77.515,6 ton (2022).
Kemudian impor sapi bakalan turun dari 581.925 ekor pada 2016, menjadi 190.687 ekor per Agustus 2023. Sementara harga daging sapi terus merangkak, dari Rp 65.902 per kg pada 2011 menjadi Rp 120.797 per kg pada 2023. Adapun kontribusi produksi dalam negeri terhadap konsumsi daging nasional turun dari 68 % pada 2022. Pun partisipasi konsumsi masyarakat akan daging sapi ikut turun drastis dari 14,92 % pada 2017 menjadi 7,76 % pada 2022.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengkaji tujuan dari impor itu seperti apa. Apakah untuk menambah populasi, stabilisasi harga, atau untuk mengganti sapi-sapi yang kemarin terkena LSD maupun PMK. Jika memang itu, maka akan didistribusikan kepada siapa dan akan dikelola oleh siapa. Apakah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) seperti Berdikari, Bulog (Badan Urusan Logistik) atau bekerja sama dengan asosiasi peternakan, atau masuk ke perusahaan. Hal tersebut perlu diluruskan dulu dan tujuannya untuk apa. Terlebih dahulu perlu mengoptimalisasi yang ada di dalam negeri. Perlu dilacak, diverifikasi, dan dideteksi apa yang terjadi dengan industri peternakan rakyat saat ini.
Ditambah dengan menyusun perencanaan menggunakan data dan angka populasi yang harus valid dan akurat. Kedua, menggunakan asumsi yang nalar seperti angka produksi daging per ekor sapi. Karena, tidak disadari bahwa mekanisme pasar akan mengkoreksi angka tersebut.
Selain itu, seharusnya ada evaluasi tentang program – program pemerintah yang terkait pengembangan industri sapi potong, jangan hanya jargon saja. Jargon seperti Upsus Siwab, Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting bagaimana hasilnya. Realitanya saat ini impor daging masih terus meningkat. Sebenarnya masih banyak upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mengembangkan usaha peternakan sapi untuk memenuhi kebutuhan nasional dengan tetap mengedepankan kepentingan peternak rakyat dan sapi lokal. Semoga industri persapian cepat bangkit kembali. TROBOS