Rabu, 1 Nopember 2023

Pujo Setio: Manfaatkan Surplus Produksi untuk Ekspor

Pujo Setio: Manfaatkan Surplus Produksi untuk Ekspor

Foto: Dok. Bella


Ketika berbicara tentang komoditas perunggasan, memang tidak bisa lepas dari hulu sampaihilir.Oleh karena itu, harus ada suatu kesinambungan produksi di hulu hingga hilir.Komoditas perunggasan komersial saat iniyang industrinya cukup berkembangyaitu ayam pedaging(broiler)maupun ayam petelur (layer).

 

Tentunya di hulu ini ada kebijakan terkait dengan pengadaan DOC-nya (ayam umur sehari), yakni untuk GPS (Grand Parent Stock) sebagai indukan dari beberapa turunan berikutnya. Sebab yang dikonsumsi pada prinsipnya adalah Final Stock (FS). Dari kebijakan penetapan GPS tentunya akan menentukan berapa yang dihasilkan PS (Parent Stock), kemudian berapa yang dihasilkan FS-nya.Sehingga harus diatur sedemikian rupa supaya produksi di akhir tercukupi, baik untuk kebutuhan industri maupun kebutuhan konsumsi.

 

Kemudian di tengahnya tentu juga akan mengolah peternakannya, yakni FS-nya, baik ayam untuk produksi daging maupun telur. Ini juga harus diatur berapa supply dan demand-nya. Terakhir di hilir, bagaimana memasarkan atau penyerapan produk tersebut, baik untuk kebutuhanindustri maupun untuk konsumsi. Memang saat ini di Indonesia produksinya cukup tinggi, namun demand-nyamungkin masih lemah sehingga masih terjadi surplus.

 

Tingkatkan Devisa Negara

Indonesia memiliki orientasi secara nasional untuk meningkatkan devisa negara. Salah satunya dengan mengekspor komoditas-komoditas yang memang sudah swasembada atau mengalami surplus. Tentu harapannya dapat memberikan nilai tambah. Oleh sebab itu, khusus untuk ekspor produk perunggasan, mulai dari ayam umur sehari (DOC)-nya sampai dengan produk olahannya ini harus didukung.

 

Indonesia terbukti sudah bisa memproduksi DOC untuk FS, yang berasal dari kelebihan produksi GPS sebelumnya, sehingga bisa dikirim ke negara-negara yang membutuhkan. Contohnya ada beberapa negara ASEAN yang peternakannya membutuhkan DOC dan sudah dilakukan ekspor. Kemudian Indonesia juga telah mengekspor ayam hidup (live bird/LB) beberapa bulan yang lalu. Itupun untuk melihat atau mengantisipasi surplus yang ada di Indonesia.

 

Pelaku industry perunggasan tanah air pun jugasudahmengekspor daging atau karkas ayam ras dan telur ayam ras. Sedangkan untuk produk olahan juga sudah ekspor. Tentunya ini sangat mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, sebab ketika Indonesia tidak bisa menyerap secara total, karena angka kebutuhan sebenarnya sudah dihitung dansudah pas. Hanya memang daya beli masyarakat masih kurang, sehingga surplus ini yang dimanfaatkan.

 

Dengan begitu kegiatan ekspor tidak akan mengganggu supply dan demand produk unggas secara nasional. Tetapi justru meningkatkan potensi produksi untuk Indonesia bisa kembangkan dengan ekspor. Bahkan sekarang ini ekspor produk unggas tidak hanya untuk negara-negara di ASEAN, tetapi juga sudah dicoba untuk ke Timur Tengah. Ini adalah peluang-peluang ekspor yang bagus, karena jelas bahwa untuk produk unggas Indonesia notabene sudah surplus, sehingga tidak membutuhkan lagi impor.

 

Surplus Produksi

Berbicara komoditas unggas, maka produk akhirnya adalah daging ayam ras dan telur ayam ras. Perlu dipisahkan dahulu, sebab polanya mungkin berbeda-beda. Untuk produksi ayam ras (broiler) memang lebih banyak dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar yang terintegrasi atau kemitraan. Walaupun ada juga perusahaan kecil. Tapi kalau telur ayam ras (layer), sebaliknya yakni dikelola oleh peternak mandiri dan untuk perusahaan itu sedikit.Sehingga yang perlu dikuatkan di sini adalah bagaimana segmen pasarnya, kemudian bagaimana membina pelaku usahanya.

 

Jika ditilik dari kebutuhan produksi ayam ras sendiri, dihitung dari DOC FS-nya itu kurang lebih produksinya sebanyak 3,13 miliar ekor. Sementara kebutuhan nasional adalah mungkin 3 miliar ekor. Dari 3 miliar ini nanti akan memproduksi karkas daging ayam ras yang setara dengan 3,66 juta ton. Sedangkan untuk kebutuhan nasional, dihitung dari jumlah penduduk Indonesia yaitu sebesar 278,7 juta jiwa. Untuk kebutuhan atau angka konsumsi daging ayam rasnya, kurang lebih 12,58 kg per kapita per tahun, sehingga kebutuhan daging ayam ras Indonesia diperkirakan sebesar 3,5 juta ton.

 

Tadi ada produksi 3,66 juta ton, sementara kebutuhannya 3,5 juta ton, sehingga Indonesia mengalami surplus. Belum lagi ditambah stok di awal tahun lalu, kurang lebih 150.000 ton, sehingga total stok di akhir 2023 diperkirakan sekitar 300.000 ton untuk daging ayam ras. Inilah yang dicoba dimanfaatkan potensinya. Memang ada neraca bulanan dan neraca akhir tahun.

 

Sementara untuk telur ayam ras, populasi FS layer dengan umur kurang lebih 19-96 minggu, itu kurang lebih 315 juta ekor. Layer tersebut memproduksi kurang lebih sebanyak 6,12 juta tontelurjika disetarakan. Sementara kebutuhan nasional angka konsumsinya dengan jumlah penduduk 278,7 jiwa tadi, adalah 21,1 kg per kapita per tahun, sehingga angka konsumsinya kurang lebih 5,88 juta ton.

 

Sama seperti tadi, Indonesia memiliki stok di awal tahun dari hitungan neracanya, sehingga dari selisih antara produksi dengan konsumsinya masih memiliki kelebihan kurang lebih 279.000 tontelur. Ini yang dimanfaatkan dan dicari solusinya. Memang kalau daging ayam ras bisa disimpan walaupun hanya dalam waktu 1 tahun di pendingin, dan banyak industri pengolahannya. Tetapi telur yang kurang, sehingga kebijakan pemerintah yang sudah dilaksanakan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Ditjen PKH (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan), Kementanyakni membangun pabrik-pabrik tepung telur guna memanfaatkan surplus tersebut.

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 290/ November 2023

 

 

Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Peternakan & Perikanan

Kementerian Koordinator Perekonomian

 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain