Dengan bekerja bersama, peternak dapat mengatasi hambatan yang lebih besar, memperkuat daya saing serta menciptakan dampak positif yang lebih besar bagi masyarakat dan lingkungan
Kisah yang menginspirasi ketika seseorang menemukan kebahagiaannya dengan melakukan apa yang disukainya. Demikian pula dalam dunia peternakan, ada sekelompok individu yang memilih menjadikan hobi mereka sebagai profesi yang menghidupkan semangat. Mereka adalah orang-orang yang berani memulai perjalanan baru, meninggalkan zona nyaman, dan menghadapi tantangan baru.
Salah satunya ialah Wahyu Widyatmoko, seorang peternak sapi potong di daerah Cariu, Bogor, Jawa Barat. Ditemui di Depok yang merupakan daerah tinggalnya, ia mengisahkan awal mula beralih profesi menjadi seorang peternak. Berawal dari 2007, Wahyu bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Namun karena keadaan keuangan dari perusahaan memburuk, ia memutuskan untuk mengakhiri karirnya pada 2016 di perusahaan tersebut.
Di akhir 2017, ia mulai membantu sebuah pesantren untuk mendirikan usaha peternakan sapi potong yang tidak memiliki modal banyak. “Lalu beberapa waktu setelahnya, ternyata terjadi masalah yang membuat saya harus meneruskan peternakan ini,” kisah pria kelahiran 1981, di Jakarta ini.
Seiring berjalannya waktu, Wahyu merasa peternakan ini membuahkan hasil yang lumayan. Sehingga melanjutkan usaha penggemukan sapi potong ini hingga sekarang. Sapi-sapi yang digemukkannya didatangkan dari beberapa daerah seperti Bali, Jawa Timur, Lampung, hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).
Awal beternak, ia memelihara 50-150 ekor sapi. Sampai saat ini, kandangnya mampu menampung sekitar 500 ekor sapi potong. “Namun volume penjualan kami per tahun dari awalnya 500 ekor, kini mampu menjual 2.400 ekor per tahunnya. Ada kenaikan populasi sekitar 20-50 % per tahun” sebut Wahyu.
Ayah dengan 4 oranganak ini mengaku bahwa ia merasa lebih nyaman ketika beternak. Sebab, bisa membantu orang-orang yang juga ingin berkurban. Selain itu, ia juga mengatakan pekerjaan ini lebih cocoknya dengannya karena berhadapan langsung dengan hewan ternak.
Pemeliharaan dan Penjualan
Lama pemeliharaan sapi yang dilakukanWahyu bergantung pada bobot sapi yang ditargetkan. Biasanya untuk kurban membutuhkan waktu kurang lebih 6 bulan pemeliharaan penggemukanuntuk mencapai bobot 300 - 400 kg per ekor, namun untuk sapi dengan bobot 900 - 1.000 kg bisa memakan waktu pemeliharaan penggemukan selama1-2 tahun. “Bakalanyang digunakan lebih dari 1 tahun dengan bobot antara 200-250 kg,” ujarnya.
Harga sapi yang dijualnya untuk kurban berkisar Rp 21 juta pada bobot 300 kg. Ia menekankan bahwa seluruh sapi yang dijualnya memiliki bukti video ketika ditimbang. Sehingga bobot sapi yang dijual 95 % adalah benar. Maka ia percaya diri ketika dibandingkan dengan penjual kurban lainnya, dengan bobot sapi yang sama,memiliki ukuran ternak yang lebih besar.
“Kalau pemasaran kurban, sebenarnya kami sudah mulai berjualan dari 2001. Jadi kami sudah punya database pelanggan. Kami juga menjual ke teman-teman pedagangdan lumayan aktif di media sosial,” ucapnya.
Sementara itu, tantangan yang dihadapinya sebagai peternak adalah penyakit seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Lumpy Skin Disease (LSD). Pada saat PMK mewabah, memang peternakannya terdampak, namun tidak menyebabkan kerugian yang besar.
Pada saat wabah Covid-19 pun ia mengatakan bahwa jumlah ternak yang dikurbankan tidak berkurang. Meskipun adanya peraturan pemerintah mengenai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menyebabkan kurban hanya dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH), tidak di masjid-masijd, namun penjualan tidak begitu terpengaruh. Hanya ukurannya saja yang berkurang, yang tadinya berkurban sapi ukuran Rp 35 juta menjadi Rp 30 juta, atau yang semula Rp 25 juta menjadi Rp 24 juta.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 296/ Mei 2024