Revolusi putih adalah upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui konsumsi susu segar. Hanya jangan sampai kebijakan ini salah langkah, kemudian justru mengorbankan peternak serta produsen susu dalam negeri
Industri persusuan di Indonesia mengalami dinamika yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari kebijakan pemerintah, perkembangan teknologi, hingga perubahan perilaku konsumen. Saat ini, Indonesia menghadapi banyak tantangan yang cukup rumit seperti masih bergantungnya pada impor susu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, meskipun upaya untuk meningkatkan produksi susu lokal terus dilakukan.
Prof Ali Agus, Guru Besar Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan bahwa konsumsi susu masyarakat di Indonesia masih tergolong paling rendah di dunia, yakni 14 kg per kapita per tahun. Maka, hal inilah yang mempengaruhi isu-isu stunting, kesehatan, kebugaran, dan kecerdasan anak-anak di Indonesia.
Pemenuhan gizi jelas memiliki korelasi terhadap kecerdasan dan kesehatan seorang anak. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Kamboja, Myanmar, Vietnam, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, bahkan Laos, konsumsi masyarakat di Indonesia masih jauh di bawahnya. Nilai rata-rata IQ anak-anak Indonesia cukup memprihatinkan.
“Jangan sampai kita meninggalkan generasi di belakang kita, generasi yang kecerdasannya rendah, apalagi kebugaran dan kesehatannya pun tidak prima. Saya kira inilah eranya dunia peternakan sebagai penyedia protein hewani,” ucapnya.
Program Minum Susu Gratis
Program minum susu gratis merupakan cita-cita dari calon presiden terpilih sejak lebih dari 25 tahun yang lalu. “Beliau mencanangkan yang namanya ‘Revolusi Putih’. Revolusi putih adalah upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui konsumsi susu segar. Itulah yang terjadi di beberapa negara, terutama di Eropa, Amerika, dan Asia seperti Korea, India, China, dan Jepang. Dengan model seperti itu, maka diharapkan kita pun bisa mencapai peningkatan SDM melalui konsumsi susu segar. Tentu saja itu harus menyesuaikan dengan kondisi lingkungan kita,” jelas Prof Rachmat Pambudy, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB University.
Dengan mengembangkan konsumsi susu untuk meningkatkan kualitas SDM, akan ada dorongan untuk meningkatkan produksi. “Jadi istilahnya demand create supply karena ada big demand akan create big supply. Yang diharapkan dari program ini bukan impor susu, tetapi pengadaan ternak. Ini bisa jadi sebagian harus impor, tapi dalam pengertian sekali impor,” tambahnya.
Misalnya, dalam sekali impor 1 juta ekor, selanjutnya tidak dilakukan impor kembali. Sebab, dari 1 juta ekor ini akan ada peningkatan populasi. Setiap ternak untuk memperoleh masa laktasi harus bunting terlebih dahulu. Dengan proses kebuntingan, proses laktasi, maka bukan hanya ada peningkatan produksi susu, tetapi juga peningkatan jumlah ternak. Ternak nanti akan bertambah dari setiap kelahiran sapi yang laktasi, kambing yang laktasi.
Tri Melasari, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Ditjen PKH, (Kementan), menyebutkan, dalam program ini penerima terdiri dari anak sekolah (Pra-SD, SD, SMP, SMA, dan santri) dan ibu hamil dengan total jumlah penerima 82,9 juta jiwa. Konsumsi susu per hari per orang 0,2 liter di mana 1 liter setara 1,028 kg. Maka kebutuhan susu total per hari adalah 16,58 juta liter. 1 bulan diasumsikan masuk sekolah 20 hari, sehingga 1 tahun masuk sekolah 240 hari, total kebutuhan 4.090.618 ton susu per tahun. Sementara itu, produktivitas sapi perah 12,47 liter per ekor per hari. Maka kebutuhan sapi perah laktasi untuk program minum susu gratis adalah 1.046.236 ekor. Adapun produk susu yaitu susu pasteurisasi dan susu UHT dalam botol atau tetrapack dengan volume sekali minum.
Berdasarkan neraca susu nasional, kebutuhan susu mencapai 8,7 juta ton (reguler 4,6 juta ton, program minum susu gratis 4,1 juta ton). Sementara produksi SSDN hanya 0,9 juta ton, maka kekurangannya 7,8 juta ton atau setara dengan 2 juta ekor sapi perah laktasi. “Rencana penambahan sapi perah (impor) untuk kebutuhan reguler adalah 0,9 juta ekor sapi perah laktasi dan untuk kebutuhan program minum susu gratis adalah 1,1 juta ekor. Sapi perah impor didatangkan dari Australia, New Zealand, Brazil (Sapi Tropis), dan USA. Total kebutuhan impor sapi Rp 90 triliun (dengan harga sapi perah Rp 45 juta per ekor),” jabarnya.
Sementara Agus Warsito, Ketua APSI (Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia) menuturkan program pemberian minum susu gratis sebenarnya merupakan sebuah harapan. Hanya ketika semakin kesini justru yang dijadikan andalan adalah impor susu. “Kami mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak memperdayakan peternak dalam negeri? Kenapa justru orientasinya impor? Sehingga multiplier effect-nya bagi peternak dalam negeri tidak ada. Seharusnya yang diandalkan adalah SSDN, sehingga multiplier effect-nya terasa bagi peternak. Pemberantasan stunting di masyarakat juga tercapai,” tandasnya.
Menghadapi program tersebut juga peternak cenderung khawatir terhadap potensi penurunan harga susu di pasaran akibat pembagian susu gratis. Ketika susu gratis ini sudah banyak digerakkan secara masif, pasarnya pasti akan mengalami stuck. Bahkan akan mengalami penurunan. Target pasarnya sudah diisi dengan program susu gratis. “Makanya, jangan sampai kebijakan ini salah langkah, kemudian justru mengorbankan peternak dalam negeri, produsen susu dalam negeri. Harus hati -hati betul, jangan sampai ada pihak yang kemudian menjadi korban,” sarannya.
Revitalisasi dan Modernisasi
Di sisi lain, Prof Ali kembali mengatakan, ada atau tidak adanya program ini, bahwa pangan menjadi urusan yang sangat primordial, urusan yang sangat penting. Hal ini akan menggeret atau menarik gerbong industri persusuan dan peternakan sapi perah nasional. Oleh itu, sudah saatnya mulai memikirkan bagaimana revitalisasi dan modernisasi.
Revitalisasi di sini diartikan sebagai upaya membangkitkan kembali sapi-sapi perah yang terdampak PMK, produktivitasnya turun, reproduksinya buruk, kesehatannya juga tidak prima, sering terjadinya puting mati pada sapi, akhirnya tidak efektif dan tidak efisien karena hanya separuh dari produksi susu yang dihasilkan. “Ini memerlukan revitalisasi bagaimana mengganti sapi-sapi yang terdampak, meningkatkan jumlah populasinya, menggairahkan petani peternak untuk beternak kembali, serta pengaturan tata niaganya termasuk dukungan-dukungan politik, regulasi, peraturan untuk terjadinya revitalisasi ini,” jelasnya.
Sementara itu, modernisasi diterapkan mulai dari perkandangan, lahan, pun sistemnya. Dan jika bicara modernisasi, tentu tidak lepas dari mekanisasi. Dengan sistem peternakan yang lebih modern, peternakan yang lebih mengedepankan mekanisasi, maka ini akan mendorong generasi penerus untuk memasuki dunia peternakan yakin akan lebih prospektif dan menjanjikan.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan industri hilir pengolahan susu ini. Mulai dari susu pasteurisasi, susu sterilisasi, keju, yoghurt, es krim, dan sebagainya. “Saya kira dukungan untuk research and development memang harus mendedikasikan bagaimana olahan-olahan susu ini terdiversifikasi. Promosi minum susu ini juga perlu didorong supaya anak-anak suka mengonsumsi susu melalui berbagai pendekatan dan cara,” imbuhnya.
Jika poin-poin ini dilakukan maka akan bisa menjadi spirit dan semangat, apalagi seandainya nanti sudah tercipta pasarnya melalui program pembagian susu gratis ini. Namun ada atau tidaknya program ini, pemerintah dan para pelaku stakeholder peternakan memang sudah saatnya harus berjuang dan meyakinkan bahwa peternakan penghasil protein hewani akan menjadi lokomotif untuk ekonomi masyarakat setempat, khususnya melalui pengembangan peternakan sapi perah.
Potensi Kambing Perah
Selain sapi perah, eksistensi kambing perah saat ini menjadi bagian dari penghasil susu di Indonesia, berpotensi untuk dikembangkan. Akan tetapi, diperlukan dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait untuk mengatasi hambatan yang dihadapi, terutama dari pengadaan bibit, pakan, pengolahan susu yang mantap dan lebih bervariasi.
Secara umum, tren populasi kambing meningkat rata-rata 0,65 % per tahun (2016-2022). Populasi kambing tahun 2022 sebanyak 18,56 juta ekor, dan 4-5 juta ekor dimanfaatkan untuk memproduksi susu. “Adapun bangsa kambing yang diperah yaitu Saaneen, Alpine, Nubian, African Dwarf, kambing hasil persilangan (Peranakan Ettawa, Sapera, dan lain-lain),” sebut Prof Yustina Yui Suranindiyah, Guru Besar Fakultas Peternakan, UGM.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 297/ Juni 2024