Upaya peningkatan produksi SSDN terus dilakukan diantaranya melalui akselerasi peningkatan populasi sapi perah dan produktivitasnya
Industri persusuan di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Dari masa ke masa, sektor ini mengalami berbagai dinamika yang mencerminkan perubahan ekonomi, sosial, dan teknologi di tanah air. Pujo Setio, Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Peternakan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Perekonomian, menyebutkan,jumlah penduduk Indonesia pada 2023 sebagaimana laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia disebutkan sebanyak 278,7 juta jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 1,13 %.
Apabila diperkirakan angka konsumsi susu pada 2024 sebesar 16,9 kg/kapita/tahun, maka kebutuhan susu di tahun ini diperkirakan sebesar 4,7 juta ton. Tentunya, konsumsi ini sudah dalam bentuk susu segar dan produk susu, serta produk turunannya. Sayangnya, kebutuhan SSDN (Susu Segar Dalam Negeri) baru bisa dipasok dari peternakan sapi perah dalam negeri hanya sekitar 0,84 juta ton pada 2023.
Data Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) menyebutkan bahwa angka konsumsi susu Indonesia masih kecil dibandingkan Vietnam (20,1 kg/kapita/tahun), Singapura (46,1 kg/kapita/tahun), Malaysia (50,9 kg/kapita/tahun), bahkan lebih tinggi lagi Brunei (129,1 kg/kapita/tahun). Sementara itu, kebutuhan susu sebagai bahan baku IPS (Industri Pengolahan Susu) ataupun industri makanan dan minuman yang datanya bersumber dari Kementerian Perindustrian untuk 2023 sebesar 4,1 juta ton setara susu segar.
Sementara itu, Tri Melasari, Direkur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Kementerian Pertanian (Kementan), mengungkapkan bahwa sampai saat ini produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) hanya sekitar 20 %, sehingga 80 % masih harus impor. Di Indonesia sendiri, terdapat 84 IPS sebagai produsen susu UHT, di mana 14 IPS telah bermitra dengan peternak dan menyerap susu segar dalam negeri (SSDN).
Pada 2021, kebutuhan susu IPS sebesar 4,2 juta ton, sedangkan produksi SSDN hanya 0,9 juta ton (21 %), dan harus melakukan impor sebanyak 3,3 juta ton (79 %). Sedangkan Kebutuhan susu tersebar mulai dari Pulau Jawa 2.288.503 ton (55,95 %), Pulau Sumatera dengan kebutuhan susu 889.657 ton (21,75 %), Pulau Sulawesi 301.180 (7,36 %), Pulau Kalimantan 252.939 (6,18 %), Pulau Bali, NTB dan NTT 227.766 (5,57 %), serta di Maluku, Maluku Utara, dan Papua 130.572 (3,19 %).
Peternak Sapi Perah Terpuruk
Rendahnya tingkat konsumsi susu ini berdampak langsung pada permintaan pasar domestik yang tidak cukup kuat untuk mendukung industri peternakan sapi perah. Ketika permintaan rendah, harga susu di tingkat peternak juga cenderung stagnan atau bahkan menurun, sehingga banyak peternak sapi perah yang kesulitan untuk menutupi biaya produksi.
Peternak saat ini dapat dikatakan sedang terpuruk karena dampak dari berbagai faktor seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Lumpy Skin Disease (LSD), jumlah populasi yang terdampak, produksi susu juga masih belum besar, akhirnya produksi susu nasional berkurang lebih dari 30 % dibandingkan sebelum PMK. Belum lagi persoalan harga pakan, ancaman penyakit lainya, dan harga jual susu.
Dedi Setiadi, Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), melaporkan bahwa GKSI kehilangan keanggotaan sebanyak 2.231 peternak akibat PMK. Jumlah populasi juga sekarang berjumlah 226.829 ekor dan kehilangan populasi pada saat PMK sebanyak 12.367 ekor, sangat besar. Lalu produksi susu kehilangan 30 %, dan produksi sekarang ini 1,3 juta liter per hari.
“Untuk kembali pada awal produksi dan populasi perlu kerja keras dari semua pihak, karena bagaimanapun juga dampak PMK sampai sekarang masih terasa. Ketika sapi produksinya di awal 20 liter per hari, kemudian karena PMK menjadi 8 liter per hari, recovery-nya akan cukup lama,” bubuhnya.
Sejalan dengan itu, Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) merasa prihatin karena jumlah peternak sekarang semakin berkurang. Agus Warsito, Ketua APSI, mengungkapkan bahwa harga susu yang diterima peternak hanya dipaksa untuk mengikuti harga pasar. Sehingga jika harga pasar lesu, mau tidak mau harga di peternak ikut turun dan tidak mampu menutup biaya produksi.
“Untuk mendapatkan keuntungan semestinya harus dihitung, berapa biaya produksi untuk 1 liter susu, apa saja komponen yang akhirnya berimplikasi pada biaya. Yang terjadi adalah peternak dihadapkan satu-satunya pilihan harga yang diberi oleh koperasi atau vendor supplier pabrikan. Daya tawar atau possession bargaining koperasi itu lemah. Padahal, kita hanya 15 %-nya dari kebutuhan nasional,” sesalnya.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 297/ Juni 2024