Foto:
Dengan semakin mengenal proses transfer embrio ini, diharapkan cara-cara beternak seperti ini semakin familiar dan membantu meningkatkan kesejahteraan peternak
Akhir Oktober 2023 lalu, Desa Karoya Kecamatan Tegalwaru dianugerahi kembali pedet hasil transfer embrio (TE). Transfer embrio (transfer sel telur yang sudah dibuahi) adalah suatu bioteknologi reproduksi yang merekayasa fungsi alat reproduksi betina. Embrio dikoleksi dari saluran reproduksi hewan betina (donor), kemudian dipindahkan ke saluran reproduksi betina lain (resipien) untuk menyelesaikan proses kebuntingan, hingga kelahiran. Teknik ini di Indonesia belakangan ini sempat booming berkat Belgian Blue, tetapi sesungguhnya teknik ini sudah berkembang jauh sebelum itu, seperti didemonstrasikan oleh Desa Karoya.
Proses Transfer Embrio
Adapun proses transfer embrio pertama dimulai dari seleksi donor dan resipien. Menurut sudut pandang ekonomi, idealnya transfer embrio dilakukan dari sapi unggul (mahal) ke resipien yang tidak mahal. Semakin besar perbedaan antara harga donor dengan resipien, maka semakin besar keuntungan ekonomis dari transfer yang dilakukan.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan ketika memilih donor di antaranya adalah pertama siklus birahi normal, yang mana donor harus menunjukkan siklus birahi yang teratur sejak masih dara. Kedua, subur atau tidaknya sapi. Ketiga, kelahiran sukses di mana donor telah melahirkan pedet pertamanya dalam dua tahun terakhir dengan produksi di atas rata-rata. Keempat sehat, sebaiknya donor tidak menderita penyakit infeksius ataupun memiliki sejarah kesulitan melahirkan atau bunting. Kelima, kualitas di mana donor memiliki genetik unggul, bentuk badan yang diinginkan, bentuk badan yang kokoh, dan tidak ada kekurangan herediter.
Proses kedua ialah superovulasi. Aplikasi yang efektif dari teknologi transfer embrio adalah menginduksi produksi telur (ovulasi) majemuk, sehingga transfer embrio menghasilkan banyak pedet. Penggunaan berbagai macam hormon gonadotrofik (GHS) terhadap donor, dilakukan untuk menginduksi produksi telur dalam jumlah banyak demi mencapai tujuan dari transfer embrio tersebut. Perlakuan ini disebut induksi superovulasi atau induksi ovulasi majemuk.
Ketiga ialah proses sinkronisasi estrus. Transfer embrio tidak bisa berhasil kecuali jika lingkungan rahim dari donor dan resipien hampir mirip. Inilah alasan mengapa siklus birahi harus disinkronisasi. Tentu saja, hal ini tidak diperlukan jika embrio dikoleksi untuk disimpan.
Pada proses keempat yaitu inseminasi buatan (IB), periode terbaik untuk melakukan inseminasi secara umum adalah 10-24 jam setelah birahi. Birahi yang diinduksi superovulasi juga mengikuti metode ini. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pandeglang (2015) menyatakan bahwa pada program transfer embrio, inseminasi buatan dilakukan dengan dosis ganda, yaitu satu straw mengandung 30 juta spermatozoa unggul.
Berikutnya, pemanenan dan evaluasi embrio, di mana sel telur hasil produksi yang telah dibuahi dan berkembang menjadi embrio kemudian dipanen dan diperiksa untuk melihat apakah mereka sesuai untuk transfer embrio. Jika iya, seberapa tinggikah kemungkinan bertahan hidupnya. Sel telur diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 200 kali untuk setiap embrionya. Kualitas embrio diputuskan berdasarkan morfologinya, seperti bentuk, warna, dan apakah ada area yang mengalami degenerasi.
Peneliti Ahli Pertama pada Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 299/ Agustus 2024