Minggu, 1 September 2024

Sapi Perah Berintegrasi dengan Kebun Sawit?

Sapi Perah Berintegrasi dengan Kebun Sawit?

Foto: 


Peternakan sapi perah modern harus mengintegrasikan praktik yang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Dengan memanfaatkan limbah kebun sawit sebagai pakan ternak dapat mengurangi biaya produksi dan dampak lingkungan

 

Integrasi sapi dalam perkebunan kelapa sawit menjadi solusi inovatif untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan di sektor agrikultur. Praktik ini memberikan manfaat ganda dengan meningkatkan produktivitas perkebunan sekaligus mendukung produksi daging dan susu, sehingga mendukung keberlanjutan tanpa merusak lingkungan.

 

Melalui manajemen yang baik, integrasi ini mengoptimalkan penggunaan lahan. Selain itu, sapi-sapi yang merumput membantu membersihkan kebun dan menghasilkan kotoran yang berfungsi sebagai pupuk alami, meningkatkan kesuburan tanah dan produktivitas sawit.

 

Menurut Wahyu Darsono, Direktur PT Simbiosis Karya Agroindustri, salah satu pelaku integrasi sapi dengan kebun sawit di Kalimantan Selatan membuktikan bahwa metode ini tidak hanya meningkatkan pendapatan peternakan, tetapi juga produktivitas kebun sawit. Integrasi ini juga mendukung pertanian berkelanjutan dengan cara ramah lingkungan.

 

Sistem ini membantu mengurangi penggunaan bahan kimia, seperti pupuk dan herbisida, dengan sapi yang berperan dalam pengendalian gulma dan penyuburan tanah secara alami. Manfaat ekologis lainnya termasuk pencegahan hama serta percepatan dekomposisi bahan organik, yang turut menjaga keseimbangan ekosistem.

 

Dengan dampak positif terhadap lingkungan, Wahyu meyakini model integrasi sapi-sawit ini dapat diadopsi lebih luas oleh peternak dan perusahaan sawit di Indonesia. Sistem ini menawarkan solusi berkelanjutan bagi tantangan iklim dan peningkatan permintaan daging sapi di masa depan.

Sapi Perah

Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan susu nasional yang terus meningkat, Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam ketersediaan bakalan sapi perah yang berkualitas. Keterbatasan pasokan bakalan sapi perah berkualitas tinggi menjadi salah satu faktor penghambat utama dalam meningkatkan produksi susu domestik. Untuk mengatasi masalah ini, integrasi antara sektor peternakan sapi perah dengan perkebunan kelapa sawit menawarkan solusi inovatif yang dapat mendukung keberlanjutan produksi susu sekaligus memanfaatkan sumber daya yang ada dengan lebih efisien.

 

Prof Nahrowi Ramli, Dosen Fakultas Peternakan IPB University mengatakan bahwa integrasi sistem peternakan sapi perah dengan kelapa sawit tidak hanya dapat meningkatkan ketersediaan bakalan sapi perah tetapi juga membantu mengoptimalkan penggunaan lahan dan pakan. Dengan memanfaatkan lahan kelapa sawit yang tidak produktif sebagai area penggembalaan, peternak dapat mengurangi biaya pakan dan meningkatkan kesejahteraan sapi perah. Pendekatan ini juga berpotensi mengurangi ketergantungan pada impor bakalan sapi perah, yang saat ini masih menjadi tantangan besar bagi industri susu nasional. “Dengan integrasi yang tepat, diharapkan dapat tercipta sistem produksi susu yang lebih berkelanjutan dan mampu memenuhi kebutuhan domestik secara lebih efektif,” jelasnya.

 

Ia mengutarakan, produksi susu nasional di Indonesia menghadapi tantangan besar yang perlu diatasi segera. Biaya pakan ternak merupakan proporsi terbesar dalam biaya produksi peternakan sapi perah, sementara kebutuhan konsumsi susu nasional mencapai 4,45 juta ton per tahun. Namun, produksi susu segar pada 2021 hanya mencapai 0,8 juta ton, jauh dari kebutuhan yang ada. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor sekitar 80 % dari kebutuhan susunya, dengan peningkatan impor sebesar 11 % pada 2021 dari negara-negara penghasil susu utama seperti Uni Eropa, New Zealand, dan Amerika Serikat.

 

Ted Wei, Chief Operating Officer (COO), Famsun China, menambahkan perspektif tentang keberlanjutan dan efisiensi dalam peternakan, mempertegas pentingnya konsep rearing yang efisien dan berkelanjutan. Menurutnya, dalam dunia peternakan sapi perah, konsep dasar yang harus dipegang adalah keberlanjutan, efisiensi, dan inovasi teknologi. Keberlanjutan adalah aspek pertama yang harus dipertimbangkan dalam merancang peternakan sapi perah modern. “Pada masa lalu, isu lingkungan sering kali diabaikan, namun saat ini perhatian terhadap dampak lingkungan menjadi semakin penting,” ungkapnya.

 

Peternakan sapi perah modern harus mengintegrasikan praktik yang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, seperti pengelolaan limbah yang efektif dan penggunaan teknologi ramah lingkungan. Peternakan sapi perah harus dirancang untuk menghasilkan hasil yang tinggi dengan efisiensi ekonomi yang maksimal. Untuk mencapai hasil yang tinggi, kesejahteraan ternak harus menjadi prioritas. Ternak yang nyaman akan menghasilkan produktivitas yang lebih baik, ini akan membantu mencapai tingkat hasil yang tinggi dan efisiensi ekonomi dari peternakan.

 

“Pengelolaan limbah adalah aspek penting dalam desain peternakan sapi perah. Sistem harus dirancang untuk memisahkan limbah padat dan cair secara efisien,” tandasnya. Konsep ini mendukung pengelolaan sumber daya secara lebih optimal dan mengurangi ketergantungan pada impor, dengan memanfaatkan limbah kebun sawit sebagai pakan ternak yang dapat mengurangi biaya produksi dan dampak lingkungan.

 

Namun, Prof. Nahrowi juga mencatat perlunya kajian dan uji coba lapangan terkait pengaruh suhu dan lingkungan terhadap performa sapi perah. “Berbagai peluang ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan sistem rearing yang berkelanjutan dan efisien dapat diterapkan secara luas, serta untuk mengatasi masalah ketersediaan bakalan sapi perah dan meningkatkan produksi susu di Indonesia,” sebutnya dalam keterangan tertulisnya.

 

Sementara Nur Sapta Hidayat, Direktur pakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan diakuinya, bahwa Siska (Sistem Integrasi sapi dengan kelapa sawit) dapat menjadi potensi sebagai tempat rearing sapi perah. Untuk jenis pakan yang diberikan kepada sapi perah yaitu complete feed yang berbasis daun dan kelapa sawit serta bungkil inti sawit. “Untuk rearing sapi perah, Siska dapat meminimalisir biaya pakan dengan cara grazing di perkebunan sawit. Namun memang perlu upaya penelitian bahwa pakan dari Siska memenuhi standar kualitas yang diperlukan untuk produksi susu yang optimal dengan dilakukan uji mutu dan kemanan pakan secara berkala terhadap pakan yang diproduksi,” imbaunya.

 

Kebijakan Pakan Nasional Untuk Program MBG

Di sisi lain, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), Agung Suganda, mengungkapkan rencana kebijakan pakan nasional yang mendukung program ‘Makan Bergizi Gratis’. Program ini, yang diinisiasi oleh Presiden terpilih, bertujuan untuk mempercepat peningkatan penyediaan produk peternakan seperti daging, susu, dan telur. “Sementara Indonesia telah mencapai surplus produksi untuk daging dan telur ayam hingga dapat mendorong ekspor, kekurangan pasokan daging sapi dan susu masih menjadi tantangan yang diatasi dengan impor,” lapornya.

 

Agung menerangkan, sebagai bagian dari upaya mengurangi ketergantungan impor, Kementan akan bermitra dengan perusahaan swasta untuk mendatangkan 1,5 juta sapi perah dan 1,5 juta sapi pedaging dari negara-negara penghasil ternak selama periode 2025 hingga 2029. Target ini diharapkan dapat meningkatkan populasi sapi nasional secara signifikan, baik untuk kebutuhan daging maupun susu. Selain itu, Kementan telah menyiapkan rencana untuk penyediaan 1,5 juta ha lahan baru sebagai dukungan bagi peternakan nasional.

 

Adanya Siska, menawarkan peluang besar untuk meningkatkan produksi sapi tanpa memerlukan lahan baru, dengan memanfaatkan lahan perkebunan kelapa sawit yang ada. Nur Sapta memprediksi dari total 16 juta ha lahan sawit di Indonesia, jika 50 % digunakan untuk integrasi sapi, diperkirakan 2 juta ekor sapi tambahan dapat dipelihara, yang akan membantu mengurangi ketergantungan pada impor sapi bakalan. Selain itu, biomassa dari sawit, seperti pelepah dan daun, dapat diolah menjadi pakan berkualitas untuk ternak, yang menambah efisiensi sistem ini.

 

Sistem Siska tidak hanya bermanfaat bagi peternak, tetapi juga menguntungkan perusahaan perkebunan sawit. Penggembalaan sapi di lahan sawit membantu mengurangi biaya produksi, termasuk biaya pupuk dan penyiangan gulma. Studi menunjukkan bahwa produktivitas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dapat meningkat hingga 4 % dengan adanya integrasi sapi. Di sisi lain, biaya pupuk dapat ditekan hingga Rp 22.000 per ha per tahun, serta penghematan herbisida mencapai 47 %, yang berarti pengurangan dampak lingkungan dari penggunaan bahan kimia,” jelasnya.

 

Agung juga kembali menjelaskan bahwa program ini akan diintegrasikan dengan mitra yang akan memasukkan sapi perah maupun sapi potong. Dengan lahan sawit yang mencapai lebih dari 14 juta ha, sebagian kecil lahan tersebut akan dimanfaatkan untuk penggembalaan sapi potong. “Selain itu, Kementan juga menyiapkan 1,5 juta ha lahan baru di luar lahan sawit untuk mendukung program MBG. Program ini dinilai strategis untuk pengembangan peternakan nasional dan diharapkan dapat berjalan dengan baik di masa depan,” tekannya.

 

 

Pemerintah Gencarkan Siska

Pemerintah memiliki peran krusial dalam memastikan keberhasilan implementasi Siska. Selain menyusun regulasi yang mendukung, pemerintah juga aktif dalam sosialisasi dan promosi sistem ini kepada berbagai pemangku kepentingan, termasuk pengusaha sawit, investor, dan akademisi. Nur Sapta berharap, pemerintah daerah juga dapat memberikan insentif kepada perusahaan yang terlibat dalam integrasi ini, seperti kemudahan dalam perizinan dan dukungan teknis.

 

“Untuk memastikan keberhasilan implementasi Siska, pemerintah dan berbagai institusi telah menyediakan pelatihan bagi peternak dan perusahaan perkebunan. Salah satu pusat pelatihan adalah Bhakti Surya Training Center (BSTC) di Kalimantan Selatan, yang memberikan pelatihan teknis langsung kepada peternak, serta sertifikasi yang diakui secara nasional,” jelasnya.

 

Dengan potensi meningkatkan populasi sapi hingga 2 juta ekor, Siska memainkan peran penting dalam mendukung swasembada daging nasional. Selain itu, sistem ini juga dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan sapi perah, yang berpotensi mengurangi biaya pakan bagi peternak sapi perah dengan memanfaatkan lahan sawit.

 

Seiring dengan itu, Tenaga Ahli Menteri Pertanian Bidang Hilirisasi Produk Peternakan, sekaligus Ketua Dewan Pakar Gapensiska, Prof Ali Agus, mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit dapat menjadi penggerak dalam mendukung ketahanan pangan. Luas perkebunan kelapa sawit yang mencapai 14 juta ha mempunyai potensi besar dalam menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia berupa daging sapi.

 

“Perkebunan sawit berpotensi menjadi lokomotif penyediaan pangan bagi masyarakat luas. Dengan luas 14 juta ha, perkebunan sawit bisa diintetegrasikan dengan peternakan sapi dan tanaman pangan untuk mendukung swasembada daging dan pangan,” katanya.

 

Ia menambahkan, pemenuhan pangan hingga saat ini masih menghadapi berbagai kendala, termasuk sulitnya perolehan lahan. Keberadaan lahan kelapa sawit dengan kepadatan tanaman yang relatif tinggi dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan lahan penggembalaan yang baik untuk berbagai tanaman. “Perkebunan sawit dengan jarak tanam yang luas bisa menjadi altenatif lahan untuk pemenuhan pakan ternak dan tanaman pangan,” pungkasnya mengakhiri.

 

 

Penghematan Herbisida dan Peningkatan Produktivitas

Wahyu menjelaskan bahwa integrasi sapi dalam kebun sawit tidak merugikan jika dilakukan dengan sistem penggembalaan yang terkontrol, seperti lokasional grazing. Sistem ini mencegah sapi berkeliaran bebas dan justru menghemat penggunaan herbisida hingga Rp 120.000 per hektar (ha) per tahun, yang signifikan untuk lahan seluas 6.000 ha.

 

Ia juga menambahkan bahwa penggunaan pupuk kimia slow-release, tanpa tambahan pupuk organik, meningkatkan produktivitas sawit hingga 5 %. “Metode ini lebih efektif dibandingkan kebun sawit yang tidak digembalakan, terutama pada kondisi musim kemarau panjang akibat El Nino, di mana produksi sawit yang digembalakan sapi menurun hanya 7 %, jauh lebih rendah dibandingkan kebun sawit lainnya,” ungkap Sekretaris Jendral Gabungan Pelaku dan Pemerhati Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit (Gapensiska) ini.

 

Dalam manajemen penggembalaan, Wahyu menitikberatkan pentingnya mencegah overgrazing dengan menerapkan metode pasture condition score block. Sapi hanya digembalakan di area tertentu jika kondisi rumputnya memenuhi standar, yang menjaga distribusi hijauan merata dan mencegah kerusakan lahan.

 

Ia juga menepis kekhawatiran bahwa rumput di bawah sawit akan bersaing dengan tanaman sawit. Sebaliknya, kotoran sapi membantu mempercepat dekomposisi bahan organik seperti pelepah sawit, yang mencegah penumpukan bahan dan bisa menjadi sarang hama seperti kumbang tanduk.

 

“Integrasi sapi juga mengurangi penggunaan herbisida karena sapi secara alami mengendalikan rumput di sekitar sawit. Kotoran sapi berfungsi sebagai pupuk alami yang menyuburkan tanah dan tanaman penutup, menjaga kelembaban tanah dan meningkatkan daya tahan sawit terhadap iklim ekstrem,” paparnya.

 

Biaya Awal dan Profit Keberlanjutan

Inntegrasi sapi-sawit bukan tanpa tantangan. Salah satu kendala utama yang dihadapi adalah tingginya biaya awal, terutama untuk investasi sapi indukan dan infrastruktur pendukung seperti pompa air. Namun, dengan perencanaan yang matang dan penggunaan teknologi yang tepat, integrasi ini dapat menjadi model yang sukses untuk diterapkan di wilayah lain.

 

Dari perspektif finansial, integrasi sapi-sawit memerlukan perencanaan yang matang, terutama dalam hal biaya awal. “Lahan kebun sawit yang sudah ada dapat dimanfaatkan, sehingga topografi lahan menjadi faktor yang perlu diperhatikan, apakah lahan tersebut basah atau kering. Namun, tantangan terbesar adalah menyediakan indukan sapi yang memadai,” terang team leader untuk Siska Collaboration Research and Dissemination (SCRD) di Bogor, Jawa Barat ini.

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 300/ September 2024

 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain