Arbila ini bisa menjadi sumber protein bagi ternak, tetapi tidak bisa menjadi pakan tunggal. Bagaimanapun sumber protein harus digabung dengan pakan sumber energi
Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu pemasok ternak sapi potong di Indonesia, memiliki target pengiriman sapi sebesar 74.941 ekor pada 2023 (Dinas Peternakan Provinsi NTT). Sementara realisasinya baru mencapai 66.163 ekor. Dari data tersebut menunjukkan bahwa NTT memiliki potensi memasok sapi potong ke pulau-pulau lain yang masih minor penyediaan sapi potongnya.
Peluang penyediaan sapi potong tersebut harus selaras dengan suplai hijauan pakan ternak (HPT) yang ada di NTT. Terlebih NTT didominasi oleh lahan kering, namun sebagian tanahnya memiliki karakteristik yang baik untuk pengembangan pertanian, dalam hal ini bisa juga HPT. Dikatakan oleh Guru Besar Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Prof Bernadete Barek Koten bahwa potensi peternakan NTT perlu ditunjang oleh HPT yang maksimal.
“Hijauan adalah bentuk atau simbol kemakmuran dari ternak rumiansia. Saya ingat NTT pernah mengalami kekurangan pakan terutama di musim kemarau. Ternak yang sudah bunting atau melahirkan atau produksinya tinggi pada musim hujan, itu kemudian mengalami produktivitas yang sangat rendah bahkan kematian. Terutama kematian anak-anak sapi yang baru dilahirkan akibat pakan ternak yang sangat rendah produktivitasnya pada musim kemarau. Untuk itu, perlu kita cari alternatif dan solusinya dengan menyediakan pakan ternak yang bertahan pada musim kemarau. Salah satu tanaman yang dapat bertahan pada musim kemarau adalah tanaman arbila,” sebut Bernadete.
Ia menjelaskan, arbila nama latin Phaseolus lunatus L. yang merupakan tanaman natif di daerah NTT. Setiap sudut di daerah NTT, pasti akan ditemukan tanaman natif ini. Arbila merupakan leguminosa merambat dengan panjang rambatan 1-4 m dalam berbagai aksesi. Pada aksesi lainnya bisa mencapai 25 m, bahkan Bernadete menemukan pada daerah-daerah tertentu jika sudah merambat pada tanaman seperti nangka atau mangga, maka arbila akan mendominasi daerah tersebut.
Fungsi Arbila
Tanaman arbila memiliki beberapa fungsi, di antaranya dikenal sebagai tanaman pangan, di mana ada aksesi tertentu yang bijinya langsung bisa dimanfaatkan sebagai pangan tanpa pengolahan. Tapi ada aksesi tertentu yang perlu diolah terlebih dahulu untuk menjadi pangan. Adapun selain pemanfaatannya sebagai pangan, juga sebagai pakan serta sebagai penyubur tanah.
Dari hasil penelitiannya, Bernadete menjelaskan bahwa akar daripada arbila ini 90 %, atau bahkan ada aksesi tertentu 100 % bintil akarnya efektif. “Ketika kami bedah, bintil akarnya yang efektif itu warna merahnya sama seperti darah. Itu menunjukkan bahwa bintil akar tersebut hidup bakteri penghambat nitrogen dan menjadikannya sebagai penyubur tanah di tempat arbila itu hidup,” jelas dia.
Fungsi yang lain, ia melanjutkan, adalah sebagai tanaman obat, namun ini belum sempat dikaji. Masih pada hasil penelitian Bernadete beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa hijauan arbila mengandung banyak saponin. Saponin sendiri bermanfaat sebagai antiprotozoal, bijinya juga mengandung tanin yang sangat baik untuk antiparasit. Kemudian juga sebagai pelindung bahan pakan di dalam degradasi mikroorganisme di rumen.
“Pengelompokan pemanfaatan arbila ada yang langsung dikonsumsi oleh manusia sebagai koto aem. Ada pula yang tidak bisa langsung dikonsumsi dan harus melewati pengolahan-pengolahan lanjutan. Pada hasil wawancara kami, bahwa untuk koto fui atau tanaman arbila yang tidak dibudidayakan biasanya tumbuh liar. Untuk menjadi pangan, perlu direbus berulang kali minimal 17 kali,” terangnya.
Ternyata, Bernadete mengatakan, umur responden menentukan pengetahuan masyarakat terhadap jenis dan minat pengembangan arbila. Pada usia responden di atas 50 tahun, ternyata mereka mengenal dengan baik mana arbila yang mengandung racun dan tidak, sehingga mereka tidak pernah keliru dalam memanfaatkan arbila. Tetapi pada responden yang usianya kurang dari 50 tahun, mereka tidak begitu familiar mana arbila yang mengandung racun dan tidak. Risiko ini membuat mereka mengambil titik aman, yaitu mereka tidak mengembangkan arbila.
Pergeseran Pengembangan
Menurut Bernadete, perkembangan pertanian, perekonomian dan pemanfaatan arbila di NTT sudah mengalami pergeseran. Ia melihat bahwa penggunaan pestisida, herbisida dan teknologi pertanian lainnya itu mematikan arbila yang berkembang. Apalagi bagi masyarakat yang tidak lagi mengenal arbila yang langsung bisa dikonsumsi atau perlu pengolahan lanjutan, itu menambah daftar arbila yang makin berkurang di NTT.
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa aksesi arbila ini berbeda jumlahnya pada dataran rendah dan tinggi. Pada dataran rendah dilaporkan ada 19 aksesi. Kemudian pada dataran tinggi ditemukan sebanyak 49 aksesi. Adapun total aksesi yang ada di Pulau Timor itu terdapat 49 aksesi.
Dari aksesi yang kami temukan, ternyata ukuran bijinya paling tinggi itu hampir 2 cm dengan pemanfaatannya sebagai pangan, kemudian dengan berat mencapai lebih dari 100 g per 100 biji setelah dioven,” timpalnya.
Sementara itu, ia menggarisbawahi, ternyata ketinggian tempat suatu wilayah mempengaruhi perkembangan arbila. Ia melihat bahwa di dataran tinggi dan rendah itu bentuk arbila pada aksesi yang sama mempunyai bentuk fisik yang berbeda, baik panjang, lebar, diameter maupun beratnya. Usai diamati, diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi ialah suhu, ketersediaan jumlah air, kelembapan, naungan, pencahayaan, tingkat pemanfaatan, penggunaan bahan kimia, serta penggembalaan liar.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 300/ September 2024