Kamis, 21 Nopember 2024

Tantangan dan Peluang Peternakan Menyongsong 2025

Cibubur (TROBOSLIVESTOCK.COM). Sektor peternakan di Indonesia memainkan peran besar dalam konsumsi protein masyarakat, mencapai 81 % kontribusi dari hasil produksi ternak. Di dalamnya, unggas menjadi andalan utama dengan kontribusi 60 % dari PDB peternakan. Namun, Achmad Dawami, Ketua Umum GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas), juga menyoroti tantangan utama, termasuk rantai pasok yang panjang dan fluktuasi harga akibat oversupply produk ternak seperti ayam dan telur. “Tahun 2024, kita masih menghadapi gejolak harga akibat suplai karkas unggas yang melimpah. Diperlukan keseimbangan antara supply dan demand agar pasar lebih stabil,” ungkap Dawami dalam kegiatan Seminar Nasional Outlook Bisnis Peternakan 2025 yang diselenggarakan oleh ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia), pada Rabu (20/11), di Cibubur, Jawa Barat. Meski menghadapi tantangan, Dawami mencatat pertumbuhan signifikan di sektor peternakan. Jumlah perusahaan yang mengimpor Grand Parent Stock ayam meningkat dari 12 menjadi 23 dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, jumlah pabrik pakan ternak telah mencapai lebih dari 110 dengan kapasitas produksi hampir 30 juta ton per tahun. “Pertumbuhan industri ini mencerminkan peluang besar bagi pengembangan peternakan nasional, namun harus disertai perencanaan yang matang,” jelasnya. Dalam upaya mendorong konsumsi protein hewani, pemerintah mencanangkan Program Memberi Makan Bergizi (MBG) yang bertujuan meningkatkan akses masyarakat terhadap ayam dan telur. Dawami menilai program ini penting untuk menekan angka kematian ibu hamil dan meningkatkan gizi anak-anak. “Pemerintah merencanakan bantuan ayam dan telur untuk desa-desa, agar masyarakat bisa memproduksi protein sendiri,” kata Dawami. Ia juga berharap asosiasi seperti Pinsar (Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia) dapat mendukung pengadaan ayam dan telur untuk program ini. Di tahun 2025, Dawami memproyeksikan pertumbuhan sektor peternakan sebesar 5,2 %, didukung oleh kenaikan konsumsi per kapita daging hingga 3 % dan telur mencapai 22 kg per kapita. Namun, ia mengingatkan bahwa target ini membutuhkan upaya serius dari semua pihak. “Dengan pertumbuhan ini, kita harus memastikan keseimbangan antara produksi dan konsumsi tetap terjaga,” tegasnya. Sementara itu, Hidayatur Rahman, Wakil Ketua Umum Pinsar, berfokus pada pentingnya regulasi yang lebih baik untuk melindungi peternak lokal, terutama dalam hal pengendalian harga bahan baku seperti jagung. “Harga jagung pernah mencapai Rp 9.000 per kg, sehingga beban biaya produksi melonjak drastis,” ujarnya. Kondisi ini memukul peternak, terutama mereka yang bergerak di sektor broiler, karena sering harus menjual di bawah Harga Acuan Pemerintah (HAP). Menyambut 2025, outlook sektor peternakan menunjukkan potensi positif jika tantangan ini dapat diatasi. Salah satu peluang yang muncul adalah Program MBG yang dicanangkan pemerintah. Hidayatur menilai, program ini tidak hanya akan meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat tetapi juga menjadi motor penggerak untuk stabilisasi harga dan permintaan. "Kebutuhan telur dan daging untuk program ini akan mendongkrak permintaan pasar, yang pada akhirnya menguntungkan peternak," jelasnya. Namun, ia menekankan pentingnya perhitungan yang cermat agar surplus produksi tidak menyebabkan harga anjlok. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Desianto Budi Utomo, menyatakan bahwa kapasitas produksi pakan nasional saat ini mencapai 31 juta ton, tetapi produksi aktual baru sekitar 21,5 juta ton. “Dengan kapasitas yang ada, kita sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan, namun tetap ada tantangan dari sisi bahan baku yang 60-65 % masih bergantung pada impor,” ungkapnya. Kenaikan nilai tukar dolar menjadi perhatian serius karena dapat mempengaruhi biaya produksi. Produksi pakan unggas masih mendominasi hingga 90 % dari total pakan ternak, di mana unggas menjadi kontributor utama daging ayam dan telur sebagai sumber protein nasional. Jagung sebagai bahan baku utama memberikan kontribusi hingga 70 %, namun menghadapi persaingan dengan kebutuhan ruminansia. “Kondisi ini membutuhkan pengelolaan stok jagung yang lebih efisien agar kebutuhan semua sektor dapat terpenuhi,” ujar Desianto. Saat ini, stok jagung aman hingga akhir tahun, namun harga yang fluktuatif tetap menjadi tantangan bagi peternak. Program MBG yang dicanangkan pemerintah hadir sebagai upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas peternakan. Program ini difokuskan pada peningkatan produksi ayam dan telur sebagai bagian dari ketahanan pangan nasional. “Harapannya, melalui MBG, industri peternakan dapat bergerak lebih stabil dengan target pertumbuhan 2-3 % di tahun depan,” jelas Desianto. Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada dukungan regulasi yang pro-industri, termasuk penyesuaian tarif bea masuk bahan baku pakan dan kebijakan antidumping. Industri pakan juga dihadapkan pada tantangan daya beli masyarakat yang menurun, terutama pascapandemi. Penurunan ini memengaruhi permintaan terhadap daging dan telur, yang berimbas langsung pada kebutuhan pakan. “Kami optimistis, dengan membaiknya daya beli dan stabilitas harga bahan baku, pertumbuhan akan kembali positif di tahun 2025,” ungkapnya. Menghadapi Persaingan Impor Di sisi lain, industri peternakan domba dan kambing di Indonesia memiliki karakteristik unik karena sebagian besar pelaku usahanya adalah peternak kecil yang tumbuh dari masyarakat. Menurut Nuryanto, Wakil Sekjen DPP HPDKI (Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia), sektor ini bukan hanya berorientasi pada konsumsi pangan, melainkan juga untuk kebutuhan keagamaan seperti akikah dan kurban. “Basis market kita bukan kebutuhan perut, tapi lebih ke ketahanan ibadah,” ujarnya. Pada 2025, industri ini dihadapkan pada tantangan besar, termasuk persaingan dengan daging impor yang semakin meningkat. Impor daging, terutama dari Australia, menjadi ancaman serius. Harga karkas impor yang hanya Rp12.000 per kilogram jauh di bawah harga lokal, memengaruhi daya saing peternak Indonesia. Nuryanto menyebutkan bahwa pada 2023, volume impor daging kambing mencapai 4.000 ton, dan angka ini diprediksi naik hingga 5.000 ton pada akhir tahun. “Ini berdampak langsung pada sekitar 19.000 peternak di Pulau Jawa, terutama mereka yang bergantung pada pasar lokal,” jelasnya. Di tengah tantangan tersebut, Program MBG pemerintah menjadi sorotan. Sayangnya, Nuryanto menyatakan bahwa sektor domba dan kambing belum terlibat secara signifikan dalam program ini. “Kebijakan pemerintah lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk ayam dan telur, bukan domba dan kambing,” ungkapnya. Padahal, ia menilai potensi produksi susu kambing untuk mendukung kebutuhan gizi masyarakat sangat besar jika dimanfaatkan secara optimal. Selain itu, daya beli masyarakat juga menjadi perhatian. Nuryanto mencatat penurunan pengeluaran untuk kurban di kelas menengah hingga 8 % pada 2023. Untuk menghadapi tantangan tersebut, Nuryanto menggarisbawahi pentingnya inovasi dan kolaborasi antara peternak, pemerintah, dan asosiasi. Salah satu langkah strategis adalah memaksimalkan program restocking bibit kambing dan domba. “Setidaknya 120.000 ekor bibit per tahun dapat diarahkan untuk menciptakan pasar baru dan membantu meningkatkan populasi secara berkelanjutan,” ujarnya. Di samping itu, Ketua Umum PPSKI (Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia), Nanang Purus Subendro, memaparkan tantangan besar yang dihadapi peternakan Indonesia menuju 2025. Data populasi sapi Indonesia menurun drastis dari 18 juta ekor menjadi hanya 11,3 juta ekor menurut BPS pada akhir 2023. “Ada selisih hampir 40 %, ini mengkhawatirkan,” ungkap Nanang. Penurunan ini diperparah oleh wabah PMK dan LSD, yang bukan hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga skala usaha peternakan rakyat. Selain itu, ketidakpastian data menjadi kendala besar yang perlu segera dibenahi untuk perencanaan ke depan. Nanang memperhatikan dampak ekonomi dari penurunan populasi ternak. Banyak peternak gagal membayar kredit, memicu keraguan perbankan dalam menyalurkan pendanaan baru. “Peternak rakyat sangat membutuhkan uluran pemerintah, baik dalam bentuk himbauan maupun kebijakan,” tegasnya. Di sisi lain, program impor sapi perah sebanyak 200 ribu ekor pada 2025 dinilai ambisius. Menurutnya, program semacam itu harus realistis dan berbasis kebutuhan. Industri sapi potong juga menunjukkan tantangan serupa. Kapasitas kandang yang sebelumnya hanya terisi 60 % kini mulai meningkat, dengan impor mencapai 400 ribu ekor pada 2024. Meski demikian, defisit daging nasional masih tinggi, diproyeksikan mencapai 750 ribu ton pada 2030. “Jika tidak ada terobosan signifikan, defisit ini akan semakin besar,” kata Nanang. Dia juga menyoroti pentingnya kebijakan tegas terkait daging kerbau impor dari India, termasuk pelabelan yang jelas agar tidak merugikan peternak lokal. Program MBG yang digagas pemerintah dinilai sebagai langkah strategis untuk mengatasi permasalahan gizi sekaligus mendukung peternak lokal. Nanang mengapresiasi masuknya daging sapi sebagai salah satu menu utama. “Ini menunjukkan pengakuan bahwa daging sapi adalah sumber protein yang optimal,” ucapnya. Namun, program ini memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, asosiasi, dan sektor swasta agar benar-benar memberikan dampak pada masyarakat dan peternak. Di pihak lain, Ketua Umum Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI), Sauland Sinaga, menggarisbawahi tantangan besar di sektor peternakan babi di Indonesia. Dalam pandangannya, negara harus belajar dari Spanyol, di mana subsidi pakan ternak memungkinkan peternak memproduksi daging dengan harga terjangkau, yaitu sekitar 1,57 Euro per kg atau setara Rp 29.000. Bandingkan dengan harga di Indonesia yang mencapai Rp 56.000. "Negara kita harus fokus subsidi pakan agar harga daging menjadi kompetitif," ujar Sauland. Ia menambahkan, pentingnya memperbaiki genetik ternak, seperti bekerja sama dengan Denmark untuk mengimpor bibit babi yang mampu melahirkan 16-17 ekor per kelahiran. Dalam proyeksi 2025, Sauland menekankan perlunya restocking populasi babi yang kini masih jauh dari ideal. Saat ini, populasi nasional hanya 4 juta ekor, sementara kebutuhan mendesak mencapai 8 juta ekor. Selain itu, pengendalian wabah African Swine Fever (ASF) menjadi prioritas melalui biosekuriti dan vaksinasi. "Kita harap vaksin ASF yang sedang diuji bisa segera diresmikan tahun 2025. Program vaksinasi ini akan menyediakan 8 juta dosis untuk melindungi populasi babi," katanya. Program MBG pemerintah dapat menjadi katalis dalam mendukung peternakan babi. Sauland menyarankan agar subsidi tidak hanya diberikan untuk konsumen, tetapi juga peternak. "Jika negara mendukung peternak dengan subsidi pakan, kita bisa menyediakan daging dengan harga terjangkau. Ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan peternak, tapi juga mendukung program MBG secara efektif," jelasnya. Dengan langkah-langkah strategis seperti subsidi pakan, restocking, vaksinasi, dan pengurangan impor, Sauland optimistis sektor peternakan akan lebih berdaya saing di tahun 2025. "Kita ingin daging babi di Indonesia tidak hanya tersedia, tetapi juga terjangkau dan mendukung kesejahteraan peternak," pungkasnya. Di tengah dinamika sektor peternakan Indonesia menjelang 2025, optimisme tetap menjadi kunci, meskipun tantangan besar tetap mengemuka. Menurut Irawati Fari, Ketua Umum ASOHI, meskipun pasar obat hewan di 2024 diproyeksikan akan mengalami penurunan, harapan tetap ada untuk tahun depan. "Kita harus optimis, tahun depan bisa lebih menggairahkan," ujar Irawati dalam sebuah kesempatan. Meskipun begitu, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah ketergantungan sektor ini pada produk impor, baik bahan baku maupun produk akhir, yang rawan terpengaruh situasi geopolitik dan fluktuasi nilai tukar. ASOHI, sebagai salah satu asosiasi penting dalam sektor peternakan, terus berperan dalam mendukung keberlanjutan sektor ini, terutama dalam menghadapi isu-isu seperti Anti-Microbial Resistance (AMR) dan penggunaan antibiotik yang semakin ketat. "Dengan meningkatnya aturan penggunaan antibiotik, termasuk yang harus menggunakan resep dokter hewan, peternak harus lebih selektif dalam pemakaian obat-obatan," jelas Irawati. Tantangan ini semakin berat dengan adanya peraturan baru yang melarang penggunaan antibiotik tertentu mulai Januari 2025, yang diharapkan dapat mengurangi risiko resistensi mikroba. Sektor peternakan juga dihadapkan pada kondisi daya beli yang menurun, yang berdampak pada penurunan permintaan akan produk hewan. Irawati mencatat bahwa meskipun ada sedikit peningkatan pada industri obat hewan, secara keseluruhan pasar ini masih mengalami kesulitan. Ia menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri ini harus mampu bertahan dengan pengelolaan yang lebih efisien. Pemerintah Ajak Asosiasi Terlibat Outlook peternakan Indonesia pada 2025 diprediksi akan mendapatkan dorongan signifikan melalui program MBG yang dicanangkan pemerintah. Tigor Pangaribuan, Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola Badan Gizi Nasional (BGN), menyampaikan bahwa program ini bertujuan memberikan makanan bergizi kepada 82 juta anak dan individu rentan hingga tahun 2027. “Kami menargetkan mencakup anak-anak dari tingkat sekolah dasar hingga SMA, termasuk ibu hamil dan balita,” ujar Tigor. Langkah ini tidak hanya mendukung ketahanan gizi, tetapi juga berpotensi meningkatkan produktivitas sektor peternakan. Peningkatan konsumsi protein dari produk unggas menjadi salah satu fokus utama. Setiap hari, program ini memerlukan pasokan ayam dalam jumlah besar, yang diproyeksikan akan mendorong produksi unggas nasional secara masif. “Jika 82 juta penerima manfaat diberikan ayam setiap hari, maka kebutuhan akan mencapai jutaan ekor per hari,” jelasnya. Tantangan logistik dan keberlanjutan pasokan menjadi isu strategis, yang melibatkan kontribusi peternak lokal dan asosiasi peternakan. Di sisi lain, program ini memberikan dampak positif pada ekonomi lokal. Seluruh bahan pangan, mulai dari ayam, ikan, hingga sayuran, akan dipasok dari petani dan peternak lokal. "Program ini mengintegrasikan berbagai sektor, termasuk pertanian dan perikanan, sehingga dapat menggerakkan roda ekonomi rakyat,” ujar Tigor. Ia juga mengundang asosiasi peternakan dan pertanian untuk turut berkontribusi dalam mendukung infrastruktur pelayanan makanan bergizi. Sebagai langkah awal, pada Januari 2025, sebanyak 927 dapur akan melayani sekitar 3 juta penerima manfaat. “Kami memulai dari dapur-dapur di lahan milik TNI dan akan berkembang hingga ke seluruh kabupaten. Jika asosiasi ingin ikut mendirikan satuan pelayanan, kami sangat terbuka,” tambahnya. Dengan pendekatan ini, pemerintah berharap menciptakan sistem pelayanan yang merata di seluruh Indonesia, sehingga distribusi makanan bergizi dapat dilakukan secara efisien. Tigor menegaskan bahwa program MBG adalah bagian dari upaya menciptakan generasi emas Indonesia pada 2045. Intervensi gizi yang dimulai dari ibu hamil hingga anak usia sekolah diharapkan memutus siklus kemiskinan. “Rakyat yang lapar adalah rakyat yang marah,” ujarnya, mempertegas pentingnya ketahanan pangan sebagai dasar ketahanan nasional. Ia juga mengutamakan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, termasuk asosiasi peternakan, akan menjadi kunci keberhasilan program ini. shara

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain