Sabtu, 1 Pebruari 2025

Industri Sapi Perah Serius Berbenah

Industri Sapi Perah Serius Berbenah

Foto: 


Pelatihan SDM yang efektif merupakan kunci utama dalam meningkatkan produktivitas peternakan sapi perah, seperti melaluiprogram US Indonesia Dairy Partnership (USIDP). Diharapkan dalam dua hingga tiga tahun ke depan, bisa melihat peningkatan yang signifikan dalam populasi dan produksi susu sapi perah nasional

 

Kendati demikian, industri ini masih menghadapi berbagai tantangan yang menghambat perkembangannya. Banyak peternak masih mengandalkan sistem tradisional dalam beternak, tanpa pemanfaatan teknologi yang optimal. Selain itu, keterbatasan akses terhadap bibit unggul, pakan berkualitas, serta peralatan modern menjadi kendala yang perlu segera diatasi agar produktivitas peternakan dapat meningkat secara signifikan.

 

Seperti diutarakan Sumardi, seorang peternak di kawasan peternakan sapi perah Pondok Ranggun, Cipayung, Jakarta Timur, bahwa kondisi peternak sapi perah di Indonesia memerlukan adanya pembinaan dan pendampingan agar semua terarah dari berbagai aspek. Terutama, akses modal dan pasar yang menjadi faktor krusial dalam keberlangsungan usaha peternakan.

 

Tantangan Utama

Salah satu tantangan utama yang dihadapi para peternak, dikemukakan Sumardiadalah kurangnya pengetahuan mengenai teknik pemeliharaan yang benar. “Selama ini, kebanyakan peternakan diwariskan secara turun-temurun. Apa yang dilakukan oleh kakek dan bapak merekabeternak,seperti itu yang mereka lakukan,” katanya. Ia juga mengungkapkan bahwa masih sedikit sarjana peternakan yang benar-benar terjun ke industri ini, sehingga minim inovasi.

 

Kemudian, permasalahan lainnya yang dihadapi peternak adalah pemasaran susu. “Di Indonesia, kebutuhan susu masih sangat tinggi, tetapi peternak lokal kesulitan menjual produknya dengan harga layak. Harga di koperasi terlalu rendah, sehingga banyak peternak yang akhirnya membatasi produksinya,” keluhnya.

 

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu solusi, tetapi menurutnya masih ada kendala. “Selain harga susu yang terbilang murah, untuk masuk ke program ini harus melalui Industri Pengolahan Susu (IPS), yang memiliki banyak persyaratan. Tidak mudah bagi peternak untuk langsung menjual susu ke program MBG,” jelasnya.

 

Ia berharap ada jembatan yang dapat menghubungkan peternak dengan pasar yang lebih luas. Peternak membutuhkan wadah yang dapat menampung susu dengan harga layak. Bisa dari pemerintah atau swasta, yang terpenting ada kejelasan serapan pasarnya.

 

Argi Argiris, selaku Pengawas Bibit Ternak Madya dan Ketua Kelompok Ruminansia Prabit Pro PKH di Kementerian Pertanian, turut mengulas tantangan dalam pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia. “Saat ini, kita mengalami surplus pada beberapa produk peternakan seperti daging ayam dan telur, tetapi masih bergantung pada impor untuk daging sapi dan susu,” ujarnya.

 

Menurut data Kementerian Pertanian, Indonesia hanya mampu memenuhi 48 % kebutuhan nasional untuk daging sapi dan 21 % untuk susu. “Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar, terutama dengan meningkatnya kebutuhan susu untuk program MBG. Jika ditambahkan, kontribusi dalam negeri hanya sekitar 16 %,” jelasnya.Dari aspek populasi, Indonesia memiliki sekitar 540 ribu ekor sapi perah. “Struktur populasinya cukup ideal, dengan 79 % di antaranya merupakan betina produktif. Namun, tantangan utama adalah bagaimana kita mengarahkan perkembangan sapi perah ini ke depan,” tambahnya.

 

Kualitas SDM Peternak

Septiyani, Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Padjajaran, Bandung,Jawa Barat mengatakan bahwa peternakan sapi perah di Bandung memiliki potensi besar untuk berkembang. “Di Bandung, peternakan berada di dataran tinggi, sehingga udaranya sejuk dan cocok bagi sapi. Ini sangat mendukung produksi susu yang lebih baik,” ujarnya. Selain faktor geografis, peternakan di Bandung juga mendapat keuntungan dari tingginya kunjungan wisata, yang membantu meningkatkan akses informasi bagi para peternak.

 

Namun, di balik keunggulan tersebut, terdapat berbagai tantangan yang dihadapi peternak lokal. “Mayoritas peternak di Bandung berusia di atas 50 tahun, dan banyak generasi muda yang enggan melanjutkan usaha ini. Selain itu, tingkat pendidikan peternak sebagian besar hanya Sekolah Dasar (SD)atau Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang membuat mereka lebih mengandalkan pengalaman turun-temurun daripada teori ilmiah,” terangnya.

 

Selain faktor usia dan pendidikan, lahan untuk peternakan semakin berkurang akibat alih fungsi menjadi kawasan wisata. “Pakan hijauan menjadi lebih sulit didapatkan karena lahan makin menyempit,” tambahnya. Faktor lain seperti akses terhadap pelatihan, keterampilan manajemen, serta penerapan teknologi modern juga masih menjadi tantangan bagi peternak.

 

Di sisi lain, Krido Bahmo Putro, Dosen Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB) IPB University, mengungkapkan bahwa meskipun memiliki keunggulan geografis, peternak di Bogor masih harus menghadapi berbagai tantangan. “Meskipun banyak peternak yang terampil, masih perlu dilakukan peningkatan keterampilan dalam aspek keilmuan dan teknis agar praktik beternak semakin efisien,” sebutnya.

 

Masih banyak peternak yang menggunakan metode tradisional dan turun-temurun, yang terkadang belum sesuai dengan kaidah beternak yang benar. “Seperti, banyak peternak yang belum memahami pentingnya ketersediaan air bagi ternak atau manajemen nutrisi yang baik,” tambahnya.

 

Selain kualitas SDM peternak, akses teknologi menjadi tantangan lain. Juga merebaknya kembali Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). “Morbiditasnya bisa mencapai 100 %, dengan mortalitas 1-5 % pada ternak dewasa dan 20 % pada ternak muda. Ini menyebabkan kerugian besar bagi peternak,” paparnya.

 

Sumardi juga menyoroti tantangan dalam mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) di peternakan. “Anak Buah Kandang (ABK) kebanyakan berpendidikan rendah. Lulusan SMA(Sekolah Menengah Atas)pun jarang yang mau bekerja di kandang. Padahal, untuk mengelola peternakan, perlu keterampilan dan seni tersendiri dalam memimpin mereka,” ungkapnya.

 

Ditambahkan Agri, tantangan yang mencolok adalah rendahnya minat generasi muda dalam usaha peternakan. “Mayoritas peternak sapi perah saat ini berusia di atas 41-56 tahun. Ini menunjukkan bahwa sektor ini kurang menarik bagi generasi muda. Sementara itu, kepemilikan sapi perah masih didominasi oleh peternak kecil. Sebanyak 80 % peternak hanya memiliki 2-3 ekor sapi,” bubuhnya.

 

Manajemen Reproduksi

Langgeng Priyanto, seorang Praktisi Ahli Reproduksi Sapi, mencermati kejadian stagnasi populasi sapi perah di Indonesia. Ia kemukakan berdasarkan databahwajumlah sapi perah di Indonesia tetap berkisar di angka 500.000 ekor. Dari jumlah tersebut, hanya bisa memenuhi 20 % kebutuhan susu nasional, sedangkan 80 % lainnya harus diimpor.

 

“Hal ini disebabkan berbagai penyakit yang menyerang, termasuk Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)serta gangguan reproduksi. Tantangan ini semakin berat dengan keterbatasan kebijakan pemerintah yang masih bergantung pada impor sapi perah,” tandasnya.

 

Sambungnya, impor bukanlah solusi utama, tetapi lebih sebagai langkah darurat. Ia menekankan bahwa peningkatan populasi harus didukung oleh teknologi dan kebijakan yang mendukung peternak lokal.

 

Permasalahan reproduksi tidak luput menjadi salah satu hambatan utama dalam meningkatkan populasi dan produksi susu. Lebih dari 50 % sapi perah mengalami gangguan reproduksi. “Seharusnya sapi melahirkan satu anak per tahun, tetapi kenyataannya, banyak sapi yang baru melahirkan setiap dua tahun,” jelasnya.

 

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama rendahnya tingkat reproduksi adalah kurangnya penerapan manajemen reproduksi yang baik. “Saat ini, banyak sapi yang dikawinkan secara berulang tanpa diagnosis yang tepat. Padahal, jika dilakukan pemeriksaan USG, kita bisa mengetahui apakah sapi tersebut mengalami gangguan reproduksi atau tidak,” sesalnya.

 

Menurut, lelaki lulusan Doktor di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini masalah utama yang dihadapi peternak adalah estrus berkepanjangan. “Sapi yang mengalami estrus berkepanjangan biasanya memiliki siklus birahi yang lebih dari 21 hari, bahkan ada yang mencapai tiga bulan sebelum akhirnya menunjukkan tanda-tanda ingin kawin kembali. Hal ini dapat menyebabkan penurunan efisiensi reproduksi dan memperlambat peningkatan populasi sapi,” jabarnya.

 

Kesalahan dalam waktu inseminasi juga menjadi penyebab utama kegagalan kebuntingan. Peternak sering kali langsung mengawinkan sapi begitu terlihat tanda estrus, padahal puncak ovulasi biasanya terjadi di hari keempat. Jika inseminasi dilakukan terlalu cepat, sperma tidak akan bertemu dengan sel telur yang siap dibuahi.

 

Langgeng menekankan bahwa inbreeding atau perkawinan sedarah menjadi penyebab utama dari kerusakan DNA sperma. “Sering kali peternak tidak menyadari bahwa mereka mengawinkan sapi dengan keturunannya sendiri. Akibatnya, terjadi penurunan kualitas genetik yang berujung pada gangguan fertilitas dan pubertas tertunda,” katanya.

 

Gangguan pubertas tertunda merupakan salah satu dampak dari inbreeding. Sapi yang seharusnya mulai birahi di usia 1,5 tahun justru baru menunjukkan tanda-tanda birahi di usia 3 tahun atau lebih. Hal ini menyebabkan perpanjangan interval kelahiran dan menurunkan tingkat produktivitas peternakan.Abortus atau keguguran juga sering terjadi akibat gangguan reproduksi dan kerusakan DNA sperma. Kerusakan DNA sperma menjadi salah satu faktor yang jarang diperhatikan tetapi memiliki dampak besar pada keberhasilan reproduksi.

 

Meskipun beberapa kasus kerusakan DNA sperma sulit diobati, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya. “Jika penyebabnya adalah defisiensi nutrisi, maka pemberian suplemen yang kaya arginin dan sistin dapat membantu memperbaiki kualitas sperma,” ujarnya.Namun, jika kerusakan DNA sperma terjadi akibat faktor genetik, maka sulit untuk diperbaiki. “Dalam kasus seperti ini, solusi terbaik adalah mengganti pejantan dengan individu yang memiliki kualitas sperma lebih baik,” sarannya.

 

Ia menegaskan bahwa peningkatan kesadaran peternak mengenai pentingnya kualitas sperma dan manajemen reproduksi sangat diperlukan. Selama ini, peternak hanya melihat mobilitas, viabilitas, dan konsentrasi sperma, padahal faktor DNA juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan inseminasi.

 

“Banyak Balai Inseminasi Buatan (BIB) di seluruh Indonesia yang tidak memeriksa kualitas DNA sperma sebelum digunakan dalam inseminasi. Hal ini mengakibatkan banyaknya kasus inseminasi yang gagal karena sperma yang digunakan memiliki kualitas genetik buruk,” ungkapnya.

 

Ia menambahkan bahwa faktor lingkungan juga berperan dalam rendahnya tingkat reproduksi sapi perah. “Banyak sapi yang mengalami stres akibat perubahan suhu yang ekstrem. Hal ini berdampak pada siklus reproduksi mereka,” jelasnya.

 

Salah satu solusi yangditawarkanpria yang menjabat sebagai Dosen Program Studi S1 Peternakan, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan,adalah perbaikan manajemen pakan. Pakan yang berkualitas sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan produktivitas sapi. Jika pakan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi sapi, maka siklus reproduksi mereka akan terganggu.

 

Langgengjuga mengajak peternak untuk lebih memperhatikan aspek sanitasi dan kesehatan kandang. “Kandang yang tidak higienis dapat menjadi sumber penyakit bagi sapi, yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas dan tingkat reproduksi mereka,” ujarnya.

 

Inovasi dalam manajemen reproduksi sapi menjadi perhatian penting. “Sebab, penerapan teknologi seperti deteksi estrus berbasis sensor dan sistem pemantauan kesehatan sapi secara digital dapat meningkatkan efisiensi reproduksi,” terangnya.

 

Peningkatan Keterampilan Peternak

Robert Hagevoort, Associate Professor and Extension Dairy Specialist, Extension Animal Sciences and Natural Resources Departement, College of Agricultural, Consumer, and Environmental Sciences, New Mexico State University, membagikan pandangannya mengenai perubahan yang diperlukan dalam industri sapi perah agar lebih progresif dan efektif. Ia menegaskan bahwa pelatihan yang efektif merupakan kunci utama dalam meningkatkan produktivitas peternakan sapi perah.

 

Robert memulai pembicaraan dengan menekankan bahwa keberhasilan peternakan tidak hanya bergantung pada sapi itu sendiri, tetapi lebih kepada bagaimana para peternak dan pekerja menjalankan tugas mereka. “Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang sapi, tetapi tentang peternak yang melakukan segalanya dengan benar,” katanya.

 

Ia menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun, sistem pendidikan dan pelatihan di bidang peternakan terlalu berfokus pada sapi itu sendiri, tanpa memperhatikan pelatihan dan kesejahteraan peternak. “Kami berbicara tentang nutrisi, reproduksi, dan kesehatan hewan, tetapi bagaimana dengan peternak? Bagaimana dengan kesejahteraan mereka? Bagaimana kita menyampaikan informasi yang benar kepada mereka?” ujarnya.

 

Robert juga menyoroti aspek kesehatan dalam peternakan sapi perah. “Konsep 'One Health' sangat penting. Kesehatan manusia dan hewan saling berkaitan. Jika kita tidak menjaga kebersihan dan kesejahteraan sapi, maka hasil produksi akan terganggu,” ucapnya.

 

Ia percaya bahwa membangun budaya yang benar sejak awal sangat penting dalam peternakan. Jika tidak memulai dengan benar sejak sapi lahir, maka tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga budaya kerja.

 

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Robert dan timnya mulai mengembangkan metode pelatihan berbasis audio-visual. “Kami menerjemahkan prosedur operasional standar ke dalam format video. Dengan cara ini, pekerja tidak perlu membaca teks yang panjang, tetapi cukup menonton video instruksional. Mereka bisa melihat dan mendengar apa yang harus dilakukan, yang jauh lebih efektif,” terangnya.

 

Lanjut Robert,metode ini sangat efektif karena banyak pekerja peternakan adalah pembelajar visual. “Saya sendiri bukan koki yang handal, tetapi dengan menonton video resep di YouTube, saya bisa memasak hidangan yang layak. Prinsip yang sama berlaku dalam pelatihan peternakan. Dengan melihat, mendengar, dan mempraktikkan, mereka bisa lebih memahami tugas mereka,” jelasnya.

 

Selain pelatihan berbasis video, Robert juga menekankan pentingnya pengakuan bagi para pekerja. “Kami pernah memiliki seorang pekerja yang tidak bisa membaca dan menulis, sehingga ia selalu gagal dalam tes tertulis. Namun, setelah menggunakan metode video, ia bisa menunjukkan kemampuannya dan akhirnya mendapatkan sertifikat pelatihan. Wajahnya berubah dari pesimis menjadi bangga. Jangan pernah meremehkan kekuatan pengakuan bagi pekerja,” kisahnya.

 

Saat ini, Robert dan timnya tengah mengembangkan program pelatihan berbasis video di Indonesia. “Kami ingin memberikan akses ke informasi tepat dalam format yang bisa dipahami oleh para peternak dan pekerja. Dengan pendekatan yang tepat, mereka bisa meningkatkan cara mereka memberi makan, merawat, dan mengelola sapi,” imbuhnya.

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 305/ Februari 2025

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain