Halal atau haramnya produk daging atau turunannya, tentu saja tidak hanya tergantung pada jenis hewannya, tetapi juga pada cara penyembelihannya, sehingga RPH menjadi mata rantai pertama dalam rantai pasok halal
Tahun lalu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, pemerintah mendorong pelaku usaha yang bergerak di bidang produk makanan, minuman, obat, kosmetik, bahan kimia, produk biologi, produk rekayasa genetika, bahan gunaan termasuk jasa, untuk wajib disertifikasi halal. Jasa di sini termasuk jasa RPH (rumah potong hewan), pergudangan, penjualan, dan restoran yang produknya diperdagangkan di Indonesia. Namun pemerintah telah resmi menunda kewajiban sertifikasi halal hingga Oktober 2026.
Guna mempersiapkan proses sertifkasi halal para pelaku usaha di bidang jasa RPH, Halal Science Center (HSC) atau Pusat Sains Halal IPB University bekerja sama dengan Meat and Livestock Australia (MLA), mengadakan webinar dengan topik “Sosialisasi Teknis Persiapan dan Registrasi Sertifikasi Halal Rumah Potong Hewan Rumiansia”. Membuka agenda ini, Kepala Pusat HSC, Prof Khaswar Syamsu, mengungkapkan bahwa dalam konteks halal, produk daging dan olahannya merupakan bahan atau produk yang paling kritis.
“RPH merupakan mata rantai pertama dalam rantai pasok halal untuk produk daging dan olahannya. Ketika daging yang keluar dari RPH tidak halal, baik karena hewannya tidak halal atau karena pemotongannya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka produk turunan daging di hilirnya sampai ke meja makan untuk siap dikonsumsi menjadi tidak halal. Halal atau haramnya produk daging atau turunannya, tentu saja tidak hanya tergantung pada jenis hewannya, tetapi juga pada cara penyembelihannya,” ungkap dia.
Dilaporkannya, bahwa menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), baru 26 % RPH yang telah memiliki NKV dan sudah tersertifikasi halal. Artinya, sekitar 74 % RPH dari sekitar 1.333 RPH di Indonesia, belum bersertifikat halal. Bahkan data dari Komite Nasional Ekonomi Keuangan Syariah (KNEKS), menyebutkan bahwa hanya 13 % RPH yang telah memiliki NKV dan sertifikat halal. “Terlepas mana data yang benar, yang jelas sebagian besar RPH di Indonesia belum bersertifikasi NKV dan halal. Ini merupakan perosalan besar dalam pengimplementasian UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang perlu dicarikan solusinya,” tegas Khaswar.
Peran Penting RPH
Memasuki acara utama, Research Associate Halal Science Center, Agy Wirabudi Pranata, menerangkan ada penahapan sertifikasi halal yang sudah ditetapkan di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Penahapan pertama adalah produk makanan dan minuman, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman, serta hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. RPH atau usaha yang memproduksi daging atau usaha jasa penyembelihan, itu masuk ke penahapan pertama.
“Produksi daging RPH memegang peranan penting. Misalnya untuk pengusaha katering, warung, atau bakso, tentu mereka menggunakan daging. Selain itu, terkadang kita tidak langsung menggunakan dagingnya, tetapi olahannya, seperti sosis, nugget atau kulit, dan gelatin, sehingga bahan hewaninya harus disertifikasi halal terlebih dahulu. Oleh sebab itu, kalau produk olahan daging tersebut ingin mengurus sertifikasi halal, maka dagingnya sendiri harus bersertifikat halal,” terang Agy.
Menurutnya, RPH adalah hulu atau ujung pertama dari rantai pasok produk pangan asal hewan. Sehingga dengan mensertifikasi halal produk daging atau jasa RPH, akan sangat membantu usaha-usaha lainnya yang menggunakan produk daging dan produk pangan asal hewan.
Persiapan Sertifikasi Halal
Dalam mendapatkan sertifikasi halal, ada beberapa tahapan yang harus dilalui dan dipenuhi oleh pengusaha RPH. Agy menjelaskan, bahwa langkah pertama adalah persiapan sertifikasi halal. RPH itu termasuk kategori jasa yang risikonya tinggi, sehingga RPH harus dilakukan sertifikasi dan sertifikasinya harus melalui jalur reguler tidak bisa self-declare, lantaran banyak titik kritisnya, sehingga pengusaha harus menyiapkan banyak hal, termasuk dokumen.
Agy menyarankan, langkah paling awal dalam mengurus sertifikasi halal adalah mempersiapkan sumber daya manusia (SDM). “Pertama, pengusaha perlu membuat tim halal yang terdiri dari penyelia halal, juru sembelih halal (juleha) atau siapa saja yang memang bekerja di RPH tersebut. Tim halal ini perlu sekali, karena nanti yang bertugas untuk mempersiapkan pendaftaran sertifikasi halal,” ungkapnya.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 311/ Agustus 2025




