Cibinong (TROBOSLIVESTOCK.COM). Perubahan iklim menjadi tantangan global dengan dampak luas, tidak terkecuali sektor peternakan. Oleh karena itu, BRIN melalui Pusat Riset Peternakan memperkenalkan model Global Livestock Environmental Assessment Model–Interactive (GLEM-i) untuk mendukung praktik peternakan ramah lingkungan sebagai upaya mitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Langkah ini dinilai penting guna menjaga keberlanjutan usaha peternakan di tengah ancaman perubahan iklim global.
Sektor peternakan menyumbang sekitar 14,5 % dari total emisi GRK global yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia. Emisi ini berupa gas metana, dinitrogen oksida, dan karbon dioksida (CO₂). Oleh karena itu, pendekatan inovatif dan berkelanjutan dalam pengelolaan peternakan sangat diperlukan untuk mengurangi dampak lingkungan.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar Webinar Risnov Ternak #3 bertajuk “Peternakan Ramah Lingkungan dalam Upaya Mitigasi Gas Rumah Kaca dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim”. Acara yang diselenggarakan secara daring (dalam jaringan) melalui Zoom Meeting dan Streaming YouTube beberapa waktu yang lalu. Narasumber dalam webinar ini adalah Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Peternakan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) BRIN, Yeni Widiawati.
Pada kesempatan tersebut, Yeni menjelaskan, bahwa seiring meningkatnya populasi manusia, kebutuhan protein hewani juga ikut meningkat. Hal ini memberi tekanan tambahan pada sumber daya alam dan lahan, karena peternakan memerlukan pakan hijauan dan ruang berkembang biak. Tanpa pengelolaan yang baik, limbah ternak dapat mencemari udara, air, dan tanah, serta menambah emisi GRK dari aktivitas produksi, transportasi, hingga pengolahan hasil peternakan.
“Oleh karena itu, mitigasi terhadap kontribusi emisi dari peternakan sangat penting. Kita perlu mengubah cara beternak dengan pendekatan yang lebih ramah lingkungan guna menjaga keseimbangan alam dan keberlanjutan usaha peternakan,” ujar Yeni.
Menurutnya, tujuan utama peternakan ramah lingkungan adalah mengurangi dampak ekologis dari produksi ternak, meningkatkan efisiensi dan ketahanan pangan jangka panjang, serta menjamin kesejahteraan dan kesehatan ternak tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.
Lebih lanjut, ia menjabarkan, beberapa praktik peternakan ramah lingkungan yang dapat dilakukan antara lain pemberian pakan efisien dan penambahan zat aditif, pengelolaan limbah ternak menjadi biogas atau kompos, pemanfaatan energi terbarukan, serta konservasi lahan melalui penanaman tanaman pakan. “Intinya, mitigasi gas rumah kaca harus dibarengi dengan peningkatan produktivitas. Jika hanya menekan metana tanpa meningkatkan hasil ternak, itu tidak efisien,” tambah dia.
Yeni menekankan, kaitan antara kesehatan ternak dan emisi GRK. Perubahan iklim yang ekstrem dapat memicu penyakit ternak, yang berdampak pada peningkatan emisi metana dan penurunan hasil produksi. Beberapa aksi mitigasi yang dapat dilakukan salah satunya adalah penggunaan bahan lokal sebagai agen penurun gas metana, yaitu ekstrak daun keramunting yang bisa menurunkan hingga 20 %.
“Kemudian ada ekstrak jeruk purut yang bisa menurunkan hingga 73 %, ekstrak daun binahong dapat menurunkan hingga 27 %, sambiloto (Andrographis paniculate) yang dapat menurunkan hingga 39 %, dan Eucaema Cottonii yang dapat menurunkan hingga 52 %,” sebut Yeni.
Untuk menguji efektivitas berbagai tindakan tersebut, ia menggunakan aplikasi GLEM-i yang dikembangkan FAO. GLEM-i adalah model yang mengintegrasikan unsur produktivitas ternak (herd), formulasi pakan (feed), dan pengolahan kotoran (manure) dalam satu sistem analisis untuk mengukur efisiensi dan dampak lingkungan dari aktivitas peternakan.
“Dalam simulasi GLEM-i, saya memasukkan tiga unsur utama yaitu pertama produktivitas ternak dengan menekan angka kematian dan meningkatkan kesehatan serta reproduksi. Kedua pakan seimbang dengan tambahan bahan aditif. Ketiga pengelolaan kotoran menjadi biogas dan kompos. Sementara, hasil simulasi menunjukkan bahwa perbaikan pakan tidak hanya mengurangi konsumsi yang berlebihan, tetapi juga meningkatkan produksi protein daging dan menurunkan intensitas emisi GRK,” papar dia.
Di akhir paparan, Yeni menegaskan, penerapan peternakan ramah lingkungan membutuhkan pendekatan multidisipliner yang mencakup reproduksi, pemuliaan, nutrisi, hingga kesehatan ternak. “Peternakan ramah lingkungan adalah kunci keberlanjutan sektor pangan. Dengan produktivitas yang meningkat, kita bisa mendukung kebutuhan pangan dunia. Kolaborasi antara peternak, pemerintah, dan masyarakat sangat penting. Investasi hari ini adalah ketahanan untuk masa depan,” pungkas Yeni.roid







