Medan (TROBOSLIVESTOCK.COM). Menyambut Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) pada 15 Oktober nanti, menggugah stakeholder peternakan, khususnya perunggasan, untuk meningkatkan kesadaran konsumsi daging ayam dan telur masyarakat. Konsumsi daging ayam dan telur menjadi penting, sebab merupakan protein hewani yang bermanfaat untuk kesehatan. Terlebih, daging ayam dan telur adalah protein hewani yang harganya terjangkau.
Dalam rangka menuju HATN 2025, diadakan Seminar Nasional secara hybrid di Aula Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) dan melalui aplikasi Zoom Meeting pada Selasa (19/8). Acara ini dibuka oleh Dekan Fakultas Pertanian USU, Prof Tavi Supriana, dan diisi dengan materi bertema “Peningkatan Konsumsi Ayam dan Telur, dan Dampaknya bagi Lulusan Peternakan” oleh Ketua Bidang Usaha, Promosi dan Keja Sosial Pinsar Indonesia, Ricky Bangsaratoe dan Pemimpin Redaksi Infovet, Bambang Suharno. Materi selanjutnya diisi oleh Technical Consultant USSEC Indonesia, Alfred Kompudu dengan topik “Modern Poultry Production in Tropical Country”.
Adapun Bambang menjelaskan, bahwasanya populasi penduduk Indonesia saat ini telah mencapai 285 juta, dan akan terus tumbuh 1 % setiap tahunnya. Di sisi lain, 57 % dari populasi tersebut menempati Pulau Jawa, di mana 10 persennya di Jakarta. “Konsumsi protein hewaninya masih rendah untuk kelas menenang bawah, dan tinggi di kelas menengah atas. Indonesia pun dianggap memiliki ruang untuk tumbuh bagi industri peternakan, khususnya unggas,” ucap dia.
Ia menguraikan, Indonesia sekarang telah swasembada daging ayam dan telur. Namun untuk konsumsinya masih di angka 15 kg per kapita per tahun, sedangkan telur sebanyak 150 butir per kapita per tahun. Pada 2023, dilaporkan bahwa daging ayam diproduksi sebanyak 3,5 juta ton. Angka ini meningkat 100 % daripada 2015 lalu. Sementara untuk pakan mencapai 21,1 juta ton pada 2023, daan angka ini naik lebih dari 100 % sejak 2010 silam.
“Populasi broiler sendiri ada 3 miliar ekor per tahunnya, dengan nilai output daging setara Rp 151 triliun hingga Rp 185 triliun. Sedangkan untuk populasi layer dilaporkan 250 juta ekor, dengan produksi telur sebanyak 5 juta ton pe rtahun. Nilai bisnisnya bisa setara sampai Rp 150-180 triliun. Adapun produksi pakan dilaporkan sebanyak 20 juta ton per tahun, dengan nilai bisnis sebesar Rp 160 triliun. Kemudian untuk obat hewan dan vaksin setara dengan Rp 8-10 triliun. Total nilai perputaran bisnisnya ialah sebesar Rp 450 triliun,” papar Bambang.
Menurutnya, potensi industri perunggasan bagi lulusan peternakan ialah bisa berkarir di bidang breeding dan commercial farm, feedmill, equipment (closed house dan lain-lain), obat hewan, RPHU (rumah potong hewan unggas), dan pengolahan pangan. Selain itu, S.Pt juga bisa menjadi wirausaha broiler, layer, produk olahan (nugget dan telur asin), distribusi, obat hewan, equipment, dan strart–up. Bisa juga menjadi konsultan serta edukator peternakan.
Bambang berpesan kepada mahasiswa peternakan, untuk meng-upgrade skill di bidang nutrisi, manajemen, dan teknologi. Kemudian meningkatkan keterampilan digital di bidang media sosial dan e–commerce, menambah networking dari asosiasi, alumni, dan komunitas. Selanjutnya, menumbuhkan mindset entrepreneur. “Kesimpulannya, kampus/mahasiswa perlu berkontribusi dalam edukasi gizi ayam dan telur supaya konsumsinya terus meningkat. Sebab, jika konsumsinya meningkat maka peluang karir dan usaha bagi lulusan peternakan semakin berkembang. Kuncinya adalah inovasi, teknologi, networking, dan entrepreneurship,” tandasnya.
Broiler & Layer: Dulu vs Sekarang
Dalam penjelasannya tentang perkembangan broiler (ayam pedaging), Alfred mengatakan, bahwa dari 1950 itu untuk menghasilkan berat badan 1,4 kg dengan FCR (feed conversion ratio) 3 saja butuh 11 minggu. Tetapi sekarang hanya 5 minggu, broiler sudah bisa mencapai bobot badan 2,52 kg dengan FCR 1,44.
“Broiler dulu dan kini itu perbedaannya sekarang lebih cepat tumbuh, daging dadanya besar, serta FCR-nya rendah. Namun tantangannya, sekarang bulu ayam lebih sedikit, peka terhadap lingkungan, mudah stres, sensitif terhadap penyakit, serta ukuran organ dalamnya relatif tetap. Untuk target performa broiler, adalah bobot badan, FCR, dan mortalitasnya lebih rendah,” sebutnya.
Sementara itu, ia melanjutkan, untuk layer (ayam petelur) dulu dan sekarang ialah, dahulunya ayam dipelihara secara alami (diumbar) hanya bisa memproduksi 12 telur. Kemudian meningkat lagi pada 1990-an sebanyak 120 telur. Saat ini, layer telah bisa menghasilkan telur sebanyak lebih dari 450 telur dalam satu periode produksi (100 minggu).
Menurutnya, manajemen adalah kunci dalam budidaya unggas. “Manajemen tersebut di antaranya feed (pakan), lighting (cahaya), air (udara), water (air), space (ruang), serta sanitation (sanitasi/kebersihan),” jelas Alfred.bella






