banner1 scaled

Bakteri Snot pada Ayam Tunjukkan Resistensi Antibiotik

Cibinong (TROBOSLIVESTOCK.COM). Avibacterium paragallinarum, yang dahulu dikenal dengan nama Haemophilus paragallinarum, merupakan bakteri penyebab penyakit infectious coryza atau snot pada unggas. Penyakit ini menyerang saluran pernapasan bagian atas dan dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis pada ayam petelur, pedaging, puyuh, ayam mutiara, kalkun, hingga burung merak.

Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Veteriner BRIN, Ima Fauziah, menjelaskan bahwa snot memiliki tingkat morbiditas tinggi, tetapi tingkat mortalitasnya cenderung rendah jika tidak disertai infeksi sekunder. Meski demikian, penyakit ini bisa menyebabkan kerugian ekonomi serius, mulai dari meningkatnya ayam afkir, penurunan bobot badan, turunnya produksi telur, hingga meningkatnya biaya pengobatan.

“Vaksinasi sudah dilakukan di lapangan, namun kasus snot tetap ditemukan,” ungkap Ima. Berbagai metode telah digunakan untuk mengidentifikasi A. paragallinarum, mulai dari isolasi dan uji biokimiawi, uji serologi, hingga pengujian molekuler menggunakan PCR HPG-2. Ima menambahkan, penelitian terhadap faktor virulensi sangat penting untuk memahami karakter bakteri ini.

Menurutnya, hemagglutinin merupakan faktor virulensi utama karena berperan dalam adhesi pada mukosa pernapasan, kolonisasi bakteri, penentuan serotipe, serta menjadi antigen protektif. “Hemagglutinin adalah imunogen yang baik, dan tingginya antibodi terhadap HA menjadi indikator proteksi terhadap snot,” terangnya.

Gen hemagglutinin (hagA) telah diidentifikasi dan disekuens lengkap, menunjukkan adanya variasi sekuen pada beberapa strain. Hal ini menguatkan bahwa hemagglutinin memiliki peran penting dalam penentuan serotipe serta tingkat keparahan penyakit.

WhatsApp Image 2025 09 08 at 05.39.26
By Istimewa

Selain hemagglutinin, Ima juga menyoroti faktor virulensi berupa kapsul yang berfungsi membantu kolonisasi, menimbulkan lesi, serta melindungi bakteri dari sistem imun inang. Ia menambahkan, berbagai antibiotik telah digunakan, tetapi sebagian hanya meredakan gejala tanpa menyembuhkan secara tuntas.

Penelitian menunjukkan adanya resistensi terhadap antibiotik, sehingga uji sensitivitas A. paragallinarum perlu dilakukan secara berkala. Ia mengungkapkan, hal ini menjadi tantangan besar dalam pengendalian penyakit snot di lapangan.

Bakteri A. paragallinarum sendiri merupakan gram negatif berbentuk kokobasil dengan koloni kecil, halus, dan transparan menyerupai tetesan embun. Pertumbuhannya bersifat mikroaerofilik dan optimal pada suasana dengan karbondioksida 5-10 %.

Untuk kultur, bakteri ini biasanya ditumbuhkan pada media agar coklat yang dibuat dengan menambahkan darah domba pada media agar darah bersuhu 80°C. Eritrosit yang lisis menyebabkan media berubah coklat dan menyediakan faktor pertumbuhan yang diperlukan.

A. paragallinarum membutuhkan faktor X (haemin) dan faktor V (NAD) untuk tumbuh. Faktor V bisa diperoleh dari eritrosit yang lisis atau dari bakteri Staphylococcus sp. yang bertindak sebagai feeder. “Beberapa penelitian menyarankan menggunakan Staphylococcus hycus dan Staphylococcus epidermidis karena keduanya flora normal pada kulit ayam,” jelas Ima.

Bakteri ini bisa bersifat NAD-dependent maupun independent. Isolat NAD-dependent membutuhkan faktor V untuk tumbuh dan membentuk koloni satelit, sedangkan isolat NAD-independent tidak memerlukannya dan sering dikaitkan dengan kasus airsacculitis lebih tinggi.

Snot terbukti berdampak serius pada produksi unggas. Ima menyebutkan, penurunan produksi telur dapat mencapai 1-40 %, bahkan di California mortalitas mencapai 48 % dengan penurunan produksi hingga 75 % dalam tiga minggu.

Lanjutnya, ayam petelur pada periode layer memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan grower maupun pre-layer. “Biosecurity, manajemen peternakan, dan vaksinasi menjadi langkah penting untuk mengendalikan penyakit ini,” tegasnya.

Dalam penelitiannya di Yogyakarta, Ima mengambil sampel 30 ekor ayam petelur dari empat kabupaten dan melakukan isolasi, identifikasi, serta uji sensitivitas antibiotik. Hasilnya, 24 sampel teridentifikasi sebagai A. paragallinarum, dengan sebagian besar masih sensitif terhadap amoxicillin, ampicillin, dan ciprofloxacin, meski resistensi tinggi ditemukan pada eritromisin, tetrasiklin, dan streptomisin. “Resistensi ini perlu diwaspadai agar pengobatan di lapangan tetap efektif,” pungkas Ima.shara

Tag:

Bagikan:

Trending

WhatsApp Image 2025-08-15 at 16.24
Kemitraan Peternak & Swasta Dalam Tingkatkan Produksi Sapi Perah
WhatsApp Image 2025-08-15 at 16.24
Pengembangan Ternak Ruminansia Berkelanjutan
TROBOS Goes To Campus UNS
TROBOS Goes to Campus Kolaborasi dengan USSEC & UNS
WhatsApp Image 2025-07-22 at 16.09
Pemanfaatan Spirulina sebagai Pakan Inovatif
WhatsApp Image 2025-07-21 at 14.44
FATS Sebagai Pondasi Pembangunan SDM Unggul
banner2 1
banner6 1
banner1
Scroll to Top

Tingkatkan informasi terkait agribisnis peternakan dan kesehatan hewan. Baca Insight Terbaru di TROBOS Livestock!