Bogor (TROBOSLIVESTOCK.COM). Pelaku usaha unggas rakyat menghadapi tekanan berat akibat ketidakseimbangan harga antara input produksi (DOC dan pakan) dengan harga output (ayam hidup/LB). Dimana, harga LB dibawah Harga Pokok Produksi (HPP) seperti yang diutarakan Komunitas Peternak Rakyat Mandiri Indonesia (PERMINDO) kepada TROBOS Livestock melalui press release yang dikirim pada (22/10).
Situasi tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan peternak mandiri di berbagai daerah. Saat ini, harga DOC (Day Old Chick) di tingkat peternak Jawa Tengah telah mencapai Rp 8.500 – 9.000 per ekor, sementara harga pakan ayam menembus Rp 8.500 per kilogram, setelah mengalami kenaikan tiga kali dalam beberapa bulan terakhir. Namun, harga jual ayam hidup (live bird) justru mengalami tekanan hebat. Harga ayam di Jawa Tengah: Rp 20.500 – 21.000/kg, Jawa Barat: Rp 21.000 – 21.500/kg dan Banten: Rp 21.500/kg. Padahal, Harga Pokok Produksi (HPP) di tingkat peternak telah mencapai Rp21.000/kg, yang berarti peternak saat ini berada dalam posisi nyaris tanpa margin, bahkan berpotensi merugi.
Kondisi ini dikeluhkan oleh para peternak rakyat yang tergabung dalam komunitas Peternak Rakyat Mandiri Indonesia (PERMINDO). Diantaranya, dikemukakan Beri peternak broiler di Jawa Tengah bahwa kelangkaan DOC dan lonjakan harganya membuat peternak kesulitan melakukan pengisian kandang secara berkelanjutan. Di Banten, Asep Saepudin menyoroti bahwa kenaikan biaya pakan dan DOC tidak diimbangi harga jual yang layak. “Harga terus turun, sementara biaya terus naik. Peternak semakin tidak punya daya tahan,” ujarnya.
Sementara di wilayah Jawa Barat, Heri dan Kusnan menilai struktur industri unggas nasional sudah tidak sehat. “Perusahaan besar bermain di semua lini — dari DOC, pakan, hingga live bird. Peternak kecil tidak punya ruang hidup,” ungkap mereka. Menurut Kusnan, akar permasalahan bukan sekadar fluktuasi harga, tetapi ketimpangan struktur industri yang sudah berlangsung lama. “Pemerintah tampak tidak jeli melihat dampak dari regulasi yang membiarkan perusahaan integrase menguasai semua rantai nilai unggas dari hulu ke hilir. Di sektor pertanian lain, produsen fokus menjual sarana produksi tanpa ikut budidaya. Tapi di bisnis perunggasan, perusahaan besar sekaligus produsen, pembudi daya, dan pengendali harga. Ini tidak sehat dan sangat berisiko bagi keberlanjutan peternak rakyat,” tegas Kusnan.
Ia menambahkan bahwa pemerintah perlu menata ulang sistem tata niaga unggas nasional melalui langkah-langkah nyata, seperti mengendalikan harga dan distribusi DOC agar tidak terjadi kelangkaan buatan. Mengawasi rantai pasok bahan baku pakan berbasis impor yang rawan spekulasi. Membangun lembaga penyangga harga (buffer stock) untuk menjaga stabilitas harga ayam hidup. Serta menerapkan sistem kemitraan yang berkeadilan dan transparan. ramdan





