Tangerang (TROBOSLIVESTOCK.COM). Menjadi subsektor yang strategis, peternakan berkontribusi sebagai penyedia protein hewani bagi masyarakat. Sebagai negara berkembang, Indonesia terus berbenah, terutama dalam menata industri peternakan seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu global, seperti lingkungan, keberlanjutan, serta kesejahteraan hewan. Tren cage-free system, praktik pakan berkelanjutan, serta penerapan teknologi modern berbasis efisiensi energi dan ramah lingkungan menjadi standar baru yang harus dipertimbangkan oleh para pelaku usaha peternakan.
Ikut bertanggung jawab dalam keberlanjutan industri peternakan dan kesehatan hewan, Majalah TROBOS Livestock menggelar TLS atau TROBOS Livestock Seminar 2025 secara hybrid melalui aplikasi Zoom Meeting. Adapun secara luring, TLS 2025 digelar bersamaan dengan gelaran NLP (Nusantara Livestock & Poultry) 2025 di ICE BSD, Tangerang, Banten pada Jumat (7/11). Acara ini didukung oleh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk, Hydra Group, serta NusaQu.
Membuka acara ini, Pimpinan TROBOS Media Group, Fitri Nursanti, mengungkapkan bahwa TROBOS berkomitmen untuk selalu mengangkat isu keberlanjutan dan daya saing untuk subsektor peternakan nasional. “Kami meyakini, masa depan peternakan Indonesia harus dibangun di atas fondasi inovasi, efisiensi, dan tanggung jawab kepada lingkungan. Subsektor peternakan juga memiliki peran yang sangat tinggi dalam membangun ketahanan pangan nasional, utamanya dalam penyediaan protein hewani,” ungkapnya.
Memasuki acara inti, seminar para narasumber dimoderatori oleh Pemimpin Redaksi Majalah TROBOS Livestock, Rakhmat Ramdan. Narasumber pertama yakni Ketua Tim Kerja Bibit Unggas Dirbitpro Ditjen PKH Kementan, Ahmad Bestari. Ia menerangkan, bahwasanya regulasi pengembangan peternakan cage-free saat ini adalah Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kemudian UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perlindungan Kesejahteraan Hewan (Kesrawan) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, serta ada standar pedoman teknis SNI ISO 34700:2016 tentang Manajemen Kesrawan—Persyaratan Umum dan Pedoman untuk Organisasi dalam Rantai Pasok Pangan.

“Tantangan ketika peternak mulai beternak dengan sistem cage-free, yaitu pertama, biaya investasinya tinggi. Bayangan kami kalau yang sudah berjalan, seperti Widodo Makmur Perkasa (WMP), cage-free kurang lebih seperti closed house (kandang tertutup) parent stock (PS) bibitnya adalah final stock (FS). Kedua, pasar yang sangat terbatas, karena harganya mahal. Ketiga, sertifikasi dan regulasi masih kami kaji. Keempat, produktivitas ayam dan risiko penyakit. Kelima, rantai pasok dan distribusi yang belum terbangun. Keenam, sosialisasi dan edukasi,” sebut pria yang karib disapa Abe ini.
Ia menambahkan, sertifikasi saat ini yang sudah berjalan ada NGO (non-government organization) seperti Humane. Adapun biayanya luar biasa mahal, di mana satu kali kunjungan setara dengan kebutuhan pokok populasi yakni Rp 40 juta untuk sertifikasi, di luar tiket dan akomodasi. Dihitung oleh WMP, satu butir telur setahun itu setara dengan Rp 4 untuk membiayai sertifikasi. Atas dasar itu, Ditjen PKH Kementan juga tengah menyusun, dan semoga dua tahun ke dapan bisa mensertifikasi untuk bisa menilai cage-free di Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Pemerhati Kesrawan, Sri Mukartini, menjelaskan bahwa mungkin Indonesia sudah memiliki regulasi tentang cage-free yang sangat lengkap tetapi ternyata antara aturan yang terkait dengan budidaya dengan kesrawan itu berbeda sudut pandang atau fokusnya. Oleh sebab itu, ada UU Cipta Kerja, yang di sana ada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 15 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pertanian, yang akan mengatur peternak yang mengklaim bahwa mereka akan mensertifikasi atau wajib menggunakan sistem cage-free akan diatur. Namun sifatnya tidak wajib, maka menganut regulasi yang terkait budidaya.
“Sekarang sudah ada pedoman tentang kesrawan pada budidaya unggas petelur. Namun sifatnya hanya pedoman, kalau berdasarkan aturan tentang peraturan perundangan, legitimasinya sangat rendah. Tetapi kami sangat berharap dari pemerhati kesrawan, bahwa teman-teman dari Direktorat Perbibitan akan menyusun aturan-aturan tentang bagaimana cara budidaya yang baik, agar mengacu pada pedoman tersebut, sehingga kalau nanti akan mengekspor telur cage-free, ketika dievaluasi bisa in line dengan aturan yang ada di negera yang yang diekspor,” saran wanita yang akrab disapa Tini tersebut.
Inovasi pada Produk Komoditi
Pembicara selanjutnya, yakni Head Commercial Production PT Ciomas Adisatwa, Slamet Widodo, menguraikan bahwa tren pasar bisa berubah setiap saat, sebab ayam ataupun telur, merupakan produk komoditi. Tantangannya sangat besar dari sisi harga, karena ayam dan telur masih masuk ke dalam zona komoditi. Belajar sales dan marketing, apapun produknya, kalau masih mengikuti produk komoditi, maka mau tidak mau harus tunduk kepada hukum supplydan demand.
“Kita harus keluar dari zona itu, sehingga harus banyak inovasi. Contohnya telur, di fresh market telur satu pak harganya Rp 30.000 – Rp 34.000. satu pak isinya hanya 10 butir telur, bukan 1 kg. kalau 1 kg equal (setara) dengan 16 butir, kurang lebih 1,5. Kalau Rp 30.000 kali 1,5 itu Rp 40.000. Lebih tinggi, karena kita sudah pindah dari komoditi ke produk. Dengan adanya produk, maka pelanggan akan yakin kualitasnya,” terangnya.
Berkaitan dengan sustainability, Slamet melanjutkan, bagaimana farm itu mengelola saving energy, menghindari potential loss pada akhirnya. Untuk peternak yang memiliki farm closed hosue, itu ada hembusan angin, itu bisa diputar menjadi energi, seperti mikro turbin yang dapat menyalakan lampu di dalam kandang. Akhirnya, peternak bisa hemat energi dan inovasi ini di Japfa terus dikembangkan dari waktu ke waktu untuk meningkatkan efisiensi dan kesrawan tetap diperhatikan.
Panduan Beternak yang Baik
Lebih lanjut, Technical Director (Expert Animal Nutritionist) Hydra Group, Antimon Ilyas, memaparkan bahwa SOP (standar operasional prosedur) yang dijalankan kepada peternak, supaya bisa melakukan budidaya yang efisien. Di antaranya adalah, sterilisasi kandang, tabur sekam, serta Hydra Clean bisa membantu memperbaiki higienitas untuk mematikan jamur, cacing, oosit protozoa dan mematikan larva serangga.
Berikutnya, ia menyambung, disediakan pemanas, dan sterilisasi air minum. “Sterilisasi air minum ini wajib dilakukan. Saya ajarkan peternak menggunakan kaporit 7 gram per kubik atau menggunakan pemutih 80 ml per kubik. Kita juga membuat produk yang memperbaiki redehidrasi daripada unggas setelah perjalanan jauh. Kemudian pemberian antibiotik 5-7 hari,” tuturnya.
Ilyas juga menyediakan premiks untuk memperbaiki pakan. ia juga menemukan asam sitrat yang bisa digunakan dalam pakan 1-2 kg per ton untuk mereduksi bau amonia. Pakan yang diberi asam sitrat akan jauh mengurangi bau amonia yang dilepaskan dari manur.
Transformasi Peternakan Lokal
Pada sesi terakhir, Founder sekaligus CEO NusaQu, Nanang Sugiarto, memaparkan bahwa di tengah gempuran poultry, NusaQu tetap istiqomah untuk mencapai cita-citanya, yaitu mengembangkan transformasi peternakan lokal masa depan. Menurutnya, ternak lokal masih kalah saing dengan sapi impor. Mudah-mudahan, dengan program yang ada di NusaQu, sapi-sapi lokal bisa memiliki kesejahteraan, keberlanjutan, dan daya saing disbanding sapi-sapi impor.
“Kita ketahui bahwa sapi lokal itu memiliki banyak sekali masalah, tapi kita mencoba tetap berusaha mencari beberapa solusi. Pun market hewan di Indonesia ada dua, mungkin kalau di luar hanya untuk pedaging, tetapi di Indonesia alhamdulillah kita mayoritas muslim, bisa untuk kurban juga. NusaQu mengambil market kurban karena hingga saat ini, sapi-sapi lokal kita masih kalah bersaing dengan sapi-sapi pedaging dari luar. Maka dari itu, kami mencoba mengambil peluang di market kurban,” jelasnya.
Nanang berpendapat, Indonesia membutuhkan lebih dari 1,5 juta ekor ternak untuk menjadi hewan kurban setiap tahun. Di Pulau Jawa sendiri membutuhkan sekitar 1 juta ekor, di Jabodetabek membutuhkan sekitar 300.000 ekor. Diketahui bahwa setiap peternak rakyat di Indonesia, hanya mampu memenuhi 50-100 ekor, dan paling besar 500 ekor saja.
Menurutnya, sapi lokal kurang dilirik, sebab banyak kendala karena mereka memilih yang pasti-pasti saja. Namun NusaQu mencoba mencari tantangan, bagaimana caranya sapi lokal bisa bersaing. Ini butuh usaha yang luar biasanya. “Guna mengatasi masalah di sapi lokal, NusaQu memiliki vermikompos, kami mencoba mengelola limbah dengan media cacing, kita mengurai kotoran sapi itu menjadi vermikompos. Kemudian nitrifikasi, di mana limbah urin diolah menjadi biourin. Itu yang bisa kita gunakan ke ladang untuk penanaman rumput,” kata Nanang.bella




